Setelah berpulangnya ayah, ibu saya resmi menjadi janda. Ibu berusia 50 tahun ketika ayah pergi meninggalkan kami. Di hari pertama kami berduka, seorang kerabat jauh melayat dan menyisipkan pesan yang agaknya kurang tepat di momen duka cita, “Nduk, kalau nanti ketemu orang yang tepat, nikah lagi aja enggak apa-apa. Kali aja bisa menghibur”.
Saya heran sekaligus kecewa dengan pernyataan kerabat saya. Kalaupun ingin menyampaikan masukan seperti itu, agaknya harus menunggu waktu yang tepat untuk mengatakannya. Biarlah ibu saya mengenang almarhum ayah dan menuntaskan kesedihan.
Saya percaya ibu saya tidak seorang diri. Sebagian perempuan menikah pernah mengalami kehilangan pasangan, entah karena bercerai hidup maupun ditinggal mati. Saya cukup yakin, ketika memutuskan menikah, hampir seluruh pasangan berkeinginan untuk terus bersama hingga akhir hayat. Bahkan bagi banyak dari mereka, ikrar pernikahan itu selayaknya janji kita kepada Tuhan. Harus dijaga dengan baik dan dipertahankan.
Namun, takdir Tuhan tidak ada yang tahu karena problematika pernikahan tidak pernah mudah dituntaskan, mulai dari finansial hingga kesetiaan. Melihat ibu dan ayah menjalani pernikahan membuat saya tersadar bahwa mereka hanya bertahan untuk berbagai pertimbangan. Saya tidak melihat ayah dan ibu sebagai dua insan yang saling cinta.
Baca juga: Bibit-bibit Kekerasan dalam Olok-olok Status Janda
Mungkin saya bisa mengatakan bahwa ibu telah menjadi janda secara tidak resmi sejak belasan tahun lalu, dan ibu saya tidak pernah kehilangan harga diri apa pun di mata saya sebagai anaknya. Sejak usia belia, saya mencoba paham bahwa orang dewasa memiliki permasalahan khusus yang hanya bisa dimengerti ketika saya dewasa pula.
Beruntungnya, ibu termasuk kategori setengah baya dan ditinggalkan karena takdir kematian. Pada bulan-bulan pertama setelah menjadi janda, dia tidak mendapat anggapan miring sebagai individu yang sebegitu butuhnya kasih sayang dari lawan jenis. Setidaknya, tidak ada hal-hal negatif yang mampir di telinga saya. Beberapa tetangga dan keluarga besar hanya memastikan bagaimana ibu bertahan secara finansial setelah menjadi ibu tunggal mengingat ibu tidak bekerja. Jawabannya mudah, ayah meninggalkan sejumlah aset dan keluarga kami menggantungkan hidup dari sana.
Beda ceritanya jika seseorang menjanda pada usia lebih muda dan berstatus cerai hidup. Dalam menjalani kehidupan bermasyarakat, saya kerap menemui selentingan soal janda yang berusia muda. Sering kali mereka disebut-sebut dalam lelucon diikuti sejumlah stigma negatif.
Baca juga: Memang Kenapa Kalau Janda?
Padahal, kehilangan pasangan itu sendiri bukanlah satu hal yang mudah. Belum lagi paket permasalahan yang membungkusnya. Bayangkan menjadi janda tanpa penghasilan, memiliki anak, dan masih juga mendapat sejumlah anggapan negatif. Mereka butuh waras dalam menjalani kehidupan baru di keluarganya dan waras sebagai makhluk sosial.
Dua pertanyaan sederhana yang mampir di kepala saya, apa bedanya janda dengan perempuan yang belum menikah? Secara status, mereka sama-sama tidak memiliki pasangan, tetapi kenapa janda mendapatkan porsi yang lebih besar untuk menjadi sebuah lelucon? Selain itu, kenapa duda jarang sekali mendapat anggapan serupa?
Dari hal ini, kita dapat menyimpulkan bahwa perempuan di masyarakat mendapat diskriminasi hanya karena status pernikahannya yang tidak berumur lama. Tidak heran jika kita pernah menemui istilah duda keren dan janda gatal. Dua hal yang sangat bertolak belakang. Seharusnya juga ada kesempatan bagi janda untuk mendapatkan sebutan sebagai janda keren.
Mari kita sedikit menengok. Di luar sana, ada perempuan yang mapan secara finansial, tetap berpenampilan menarik, mampu membantu keluarga dan menyekolahkan anak-anak mereka hingga perguruan tinggi dan mereka ternyata janda. Kalaupun memang ada seseorang yang kebetulan janda dan melakukan pelanggaran sosial, seharusnya hal tersebut tidak menjadi generalisasi bahwa semua janda berperilaku sama.
Baca juga: Reggy Lawalata dan Stigma Sebagai Janda
Ini yang sering kali terjadi dalam representasi janda di media-media. Tidak mengagetkan juga apabila kita menemukan judul berita yang sengaja dibuat untuk menarik perhatian pembaca seperti “Seorang Janda Kepergok Menjajakan Jasa di Hotel”. Judul dan sudut pandang macam itu membuat status janda menjadi momok bagi banyak perempuan.
Di sebuah forum yang dikhususkan untuk pasangan menikah dan orang tua, saya kerap mendapati curhatan perempuan yang di ambang kegalauan karena enggan bertahan dalam pernikahan, tetapi juga tidak mampu untuk terus melanjutkan hubungan yang suda tidak sehat. Alasan mereka sebagian besar karena takut pandangan masyarakat terhadap mereka bergeser. Belum lagi mereka mesti berhadapan dengan komentar keluarga besar sekaligus masa depan yang ambigu.
Percayalah, mengubah status kita yang menjadi janda tidak akan menurunkan martabat kita. Tidak ada yang salah dengan menjadi janda, layaknya tidak salah untuk memutuskan tidak menikah. Kita hanya perlu menjalani porsi peran kita di dunia dengan sebaik-baiknya. Tidak ada jaminan bahwa berpasangan akan lebih membahagiakan dibandingkan melajang atau tetap menjanda dan menduda, begitu juga sebaliknya. Manusia di dunia ini hanya menjalani skenario yang semesta tentukan.
Untuk ibu saya dan seluruh janda di luar sana, kalian terhormat!
Comments