Saya beruntung tumbuh besar dengan dukungan tak terbatas dari para perempuan di sekitar saya. Saya anak ketiga dari lima bersaudara, dan tumbuh bersama tiga saudara perempuan dan satu saudara laki-laki. Persaingan antar-saudara bukanlah masalah di keluarga kami.
Dari semua kakak perempuan saya, saya adalah yang paling akademis. Saya sangat suka sekolah dan suka ditegur karena membaca buku di meja makan. Waktu saya berumur 12 tahun, saya mendapatkan beasiswa ke sebuah sekolah yang orang tua saya tidak akan pernah mampu membayarnya, yang kemudian membuka jalan untuk saya kuliah di Yale University, AS.
Saya dikaruniai kesempatan-kesempatan yang tidak didapatkan saudara-saudara perempuan saya, tetapi tak pernah sekali pun saya merasa mereka membenci saya karena itu. Dan saya juga tidak iri pada pencapaian-pencapaian mereka dalam olahraga, tari, dan seni. Keberhasilan saya adalah berkat dukungan mereka, karena kami memberi ruang bagi satu sama lain untuk bersinar. Kami saling membantu dan mendampingi. Pengalaman itu membuat saya mencari jenis pertemanan serupa, yang didasari pada dukungan dan kesetiaan.
Saya dan sahabat saya selama lebih dari 17 tahun tanpa henti saling mendukung satu sama lain sejak SMP. Dia sekarang bekerja untuk Facebook, setelah memulai karirnya di Google, dan saya sangat bangga padanya. Waktu kuliah, saya dan ketiga teman sekamar saya tidak pernah kompetitif. Malah, sepertinya kami terlalu menyombongkan pencapaian satu sama lain dan merayakan semua hal, mulai dari buku baru teman sekamar saya, sampai keberhasilan masuk kelas setelah mabuk-mabukan (lebih banyak perayaan soal itu daripada untuk penerbitan buku). Kami lulus tanpa mengetahui IPK satu sama lain.
Kami sering bilang, “Untung kita enggak kayak cewek-cewek lain ya, kita enggak drama.” Atau “Kita kayak cowok-cowok ya!” Tetapi baru-baru ini saja saya sadar bahwa pemikiran seperti itu berbahaya. Seharusnya tidak ada yang aneh dari perempuan mendukung perempuan lain.
Baca juga: ‘SKAM’ dan Mitos Teman Cewek Terlalu Drama
Tidak ada dalam DNA kita?
Perilaku perempuan yang suka saling membenci dan sangat kompetitif adalah mitos. Secara genetik atau biologis, perempuan tidak punya kecenderungan yang lebih untuk merendahkan satu sama lain daripada laki-laki. Marianne Cooper, sosiolog di Clayman Institute for Gender Research menulis sebuah artikel di The Atlantic tentang mengapa perempuan saling menjatuhkan satu sama lain. Studi-studi menunjukkan bahwa kecenderungan perempuan untuk saling membenci ditumbulkan oleh dua faktor: Lingkungan tempat perempuan didiskriminasi, dan kurangnya solidaritas gender.
Cooper menjelaskan bahwa perempuan tidak saling membantu ketika mereka merasa bahwa ada konotasi negatif dari menjadi seorang perempuan. Misalnya, katakanlah saya salah satu dari jumlah kecil perempuan di tempat kerja yang mayoritasnya laki-laki, dengan stereotip terhadap perempuan (dramatis, tidak kompeten, emosional, dll) merajalela. Hal ini benar terutama saat tempat untuk perempuan dalam posisi tinggi tidak cukup. Jika kesempatan untuk perempuan terbatas, maka perempuan lebih cenderung tidak membantu satu sama lain.
Kelakuan suka membenci ini terlihat lebih pada perempuan yang tidak beridentifikasi kuat dengan gender mereka. Contohnya, jika saya tidak peduli soal hubungan dengan perempuan lain, atau jika saya berpikir gender saya tidak terlalu penting, maka saya akan cenderung memisahkan diri dari perempuan lain dan tidak membantu mereka.
Namun “pembatasan sosial” ini tidak eksklusif terjadi pada perempuan. Hal ini umum terjadi pada kelompok-kelompok marginal, di mana individu-individu akan menjauhkan diri, untuk menghindari stereotip negatif tentang kelompok mereka. Perilaku yang sama didapati dalam kelompok minoritas ras, kelas sosial, dan sebagainya.
Jadi meskipun memang ada perempuan yang kejam (sama seperti ada juga laki-laki yang kejam), suka membenci tidak ada dalam DNA perempuan. Jadi mengapa kita tidak lebih membantu satu sama lain?
Semakin kita tidak saling membantu, akan semakin buruk keadaannya untuk perempuan, dan semakin lama kita mencapai kesetaraan yang diinginkan.
Banyak ruang
Membantu perempuan lain juga menguntungkan bukan hanya orang yang dibantu, namun juga yang membantu.
Di lingkungan pekerjaan, saya juga beruntung dikelilingi oleh perempuan-perempuan yang suportif. Saya menemukan bahwa memiliki mentor-mentor perempuan yang menyemangati, percaya diri, dan dermawan menghasilkan perbedaan yang besar. Saya berutang karier dan kemajuan saya kepada mereka.
Melihat perempuan dalam posisi berkuasa tidak hanya inspiratif, tapi juga penting karena saya lebih punya koneksi dengan mereka dalam berbagai isu yang tidak saya dapatkan dalam mentor laki-laki. Misalnya bagaimana menghadapi misogini saat meniti karier, menyeimbangkan karier dan hubungan asmara, dan ya, juga tentang permpuan lain yang menjatuhkan mereka selagi berjuang di tangga karier. Ada ikatan spesial ketika perempuan menjadi mentor bagi perempuan lain.
Dan hal-hal baik terjadi ketika perempuan saling melakukan itu untuk satu sama lain. Sheryl Sandberg, dalam artikelnya di New York Times tentang mitos perempuan yang suka membenci, mengutip sebuah studi soal perempuan yang membantu negosiasi gaji perempuan lain dalam tim mereka juga mendapatkan kenaikan gaji. Survei lain menunjukkan bahwa perempuan lebih terlibat secara sosial dengan mentor perempuan, dan melihat mereka sebagai sosok panutan.
Di zaman dan era sekarang ini, ada lebih banyak peluang yang terbuka untuk perempuan–berkat para pendahulu kita—dan semakin sedikit alasan untuk saling merendahkan, terutama untuk para milenial. Ada cukup tempat di posisi atas.
Mengubah mentalitas
Bohong kalau saya bilang tidak pernah iri, tidak percaya diri, atau mengatakan hal-hal negatif tentang perempuan lain untuk membuat saya kelihatan lebih baik. Tentu saja pernah. Ini pertempuran yang kita hadapi sehari-hari.
Tetapi semakin kita tidak saling membantu, akan semakin buruk keadaannya untuk perempuan, dan semakin lama kita mencapai kesetaraan yang kita inginkan. Hal ini berlaku di tempat kerja, dan di mana pun juga—termasuk di media sosial—di mana kita mudah tergoda dan dengan sangat gampang saling menjatuhkan.
Baca juga: Ketika Perempuan yang Lebih Berdaya Sudutkan Sesama Perempuan
Pergeseran pemikiran membutuhkan pola pikir yang baru dan penghapusan stereotip-stereotip dalam kepala kita. Ini harus dimulai dari diri sendiri. Misalnya, ketika seorang perempuan mengencani banyak laki-laki, atau mengenakan pakaian terbuka, sangat mudah bagi kita untuk memanggilnya dengan nama-nama yang merendahkan. Jangan lakukan itu. Ketika seorang perempuan murung dan emosional, jangan meremehkan perasaannya dan menyebutnya sedang PMS. Itu meremehkan kita semua. Dan hentikanlah standar-standar ganda. Ketika kita menggunakannya, kita memberi kekuatan pada mereka yang seksis dan menjustifikasi misogini mereka, terutama di media sosial.
Studi-studi ini memberitahu kita sesuatu yang penting. Masyarakat selalu mengadu domba perempuan. Jangan jatuh ke dalam jebakan itu. Tantangan untuk kita perempuan adalah agar sadar dengan perilaku kita, agar kita dapat menghindari hal itu, terutama dalam lingkungan yang didominasi laki-laki, dan saat stereotip terhadap perempuan menyebar luas.
Kita juga perlu memahami betapa penting dan menguntungkan bagi kita untuk mengidentifikasi sebagai perempuan, serta memegang identitas itu dengan bangga. Dan untuk membantu dan melindungi satu sama lain, baik di dunia maya maupun nyata.
Lain kali, saat kita melakukan sesuatu yang “keren” atau “tangguh”, jangan samakan diri kita dengan laki-laki dan menjauhkan diri dari perempuan lain. Ada kutipan yang dikirimkan teman saya pagi ini, yang sangat saya suka: “Di balik setiap perempuan yang sukses ada sekelompok perempuan sukses lain yang mendukungnya.”
Jadi daripada bilang, “Kita enggak seperti perempuan lain karena kita saling mendukung,” seharusnya, “Kita perempuan, maka kita saling mendukung.”
Artikel ini diterjemahkan dari versi bahasa Inggris yang pertama kali diterbitkan oleh Rappler.com, jaringan berita sosial berbasis Manila yang artikel-artikelnya menginspirasi keterlibatan komunitas dan mendorong aksi untuk perubahan sosial.
Comments