Saya pribadi turut berduka sangat mendalam, dan dengan tulus mendoakan semoga semua korban ledakan bom di gereja Surabaya mendapatkan cinta dan kasih sayang Tuhan Yang Maha Pengasih. Mereka adalah orang-orang yang dikasihi Tuhan untuk menjadi peringatan bagi kita yang hidup bahwa betapa bejatnya perilaku teror. Sebab itu, tidak boleh ada pembenaran sedikit pun untuk semua aksi terorisme. Demikian juga keluarga yang ditinggalkan semoga dikuatkan imannya dan diringankan penderitaannya dan berharap negara selalu melindungi mereka.
Kepada institusi kepolisian, saya mendesak agar polisi segera menangkap para pelaku bom dan menghancurkan jaringan terorisme sampai ke akarnya. Polisi perlu lebih meningkatkan kualitas kerja dan profesionalitasnya agar gerakan terorisme di negeri ini dapat dilumpuhkan.
Mengapa muncul terorisme? Berbagai penelitian menyimpulkan bahwa akar dari terorisme adalah “perasaan ditinggalkan atau perasaan kalah dan tak berdaya akibat kehidupan modern”. Terorisme muncul karena manusia tidak berdaya atas “prestasi peradaban” yang ironisnya telah diciptakan oleh dirinya sendiri. Manusia tergerus oleh arus kuat modernisasi dan globalisasi yang kemudian menghapus cara-cara hidup tradisional, adat istiadat, kebiasaan, dan institusi yang mereka warisi turun temurun. Perasaan “kalah” membawa kepada keterasingan atau alienasi dan perasaan tersingkirkan.
Mereka yang terasing tersebut lalu keluar mencari perlindungan dari komunitas primordial seperti agama. Mengapa agama? Karena agama menawarkan penghiburan dan ketetapan hati. Namun, karena ketiadaan kontrol dan adanya fanatisme buta, orang-orang yang kalah dari peradaban tersebut kehilangan sikap kritis dan rasionalitasnya. Tidak heran jika kemudian mereka mudah diarahkan berontak kepada peradaban modern yang mereka klaim sebagai sumber segala kejahatan.
Bagaimana dengan keterlibatan perempuan dan anak-anak? Sejumlah penelitian mengungkapkan, para perempuan tersebut mengalami kekecewaan yang amat dalam, putus asa, mengalami gangguan jiwa, atau dibelenggu oleh laki-laki atas nama agama. Sebagian mereka frustrasi dengan kondisi ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender, serta ketimpangan sosial di lingkungan mereka, dan lain sebagainya.
Faktor lain menyebutkan karena perempuan dan anak-anak kurang dicurigai petugas keamanan. Lazimnya, perempuan menjalani proses pemeriksaan tidak lebih ketat daripada laki-laki saat berhadapan dengan petugas keamanan. Mereka sering kali dianggap tidak membahayakan sehingga petugas keamanan lengah, dan insiden pengeboman yang dilakukan perempuan pun tidak terelakkan.
Misalnya, aksi pengeboman di Turki yang sukses dilakukan seorang perempuan yang membawa anak-anak kecil untuk mengelabui petugas keamanan. Anak-anak kecil tersebut tampak malnutrisi sehingga petugas tidak merasa curiga terhadap perempuan yang membawa mereka. Setelah anak-anak tersebut dibawa ke dalam ambulans, sang perempuan teroris meledakkan diri dan mencederai lusinan orang.
Sejumlah penelitian mengungkapkan secara jelas bentuk-bentuk jaringan terorisme dan hubungan antara satu tokoh dengan lainnya, dan tempat mereka membangun kekuatan begitu kasat mata. Bahkan, jaringan itu bisa ditelusuri sejak Indonesia merdeka.
Pertanyaannya, mengapa begitu sulit menghadapi mereka? Jangankan menghadapi jaringan terorisme, membuat Undang-undang Anti-Terorisme saja sulitnya luar biasa. Sampai sekarang rancangan UU tersebut tak kunjung selesai diperdebatkan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Ada apa di balik hal itu?
Aksi-aksi teror semakin nyata di depan mata. Kita semua, warga negara, jangan tinggal diam. Kebisuan kita selama ini adalah amunisi berharga bagi mereka. Diam dan bisunya sebagian besar warga bangsa menjadikan mereka semakin semangat dan berani.
Mulai detik ini kita tidak bisa lagi hanya mengimbau, mendoakan, dan menyampaikan rasa duka dan prihatin. Mari bersama bangkit dengan aksi-aksi konkret. Kita harus melakukan penyisiran terhadap bibit-bibit terorisme dalam bentuk ajaran radikalisme agama. Tapi ingat, selalu kedepankan cara-cara yang santun dan beradab. Kekerasan tidak pernah menyelesaikan masalah.
Mulai sekarang, jangan biarkan sikap intoleran, ujaran kebencian, dan permusuhan menghiasi media sosial kita. Jangan biarkan para guru, khususnya guru agama, mengotori hati dan pikiran anak-anak dengan sikap intoleran, ajaran kebencian, dan permusuhan. Jangan biarkan para pemuka agama menyampaikan dakwah yang mengandung konten horor dan sikap menyalahkan orang lain yang berbeda pandangan. Jangan memilih partai politik dan politisi yang menggunakan isu SARA (suku, agama, ras, antargolongan) dalam kampanye dan aktivitas lain di publik. Jangan biarkan media menyuarakan aroma kebencian dan permusuhan terhadap Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jangan biarkan institusi publik, seperti rumah ibadah, kantor negara, dan tempat-tempat lainnya dicemari dengan ajakan untuk menghapus demokrasi dan ideologi Pancasila.
Mulai sekarang, jangan diam dan membisu! Mari bersama mendesak pemerintah mengatasi ketidakadilan sosial yang menjadi narasi para teroris. Berteriaklah jika agama, negara dan bangsamu diinjak-injak oleh mereka yang tidak punya nurani kemanusiaan. Mari bersatu melawan terorisme. Dengan bersatu kita pasti menang!
Siti Musdah Mulia adalah aktivis hak perempuan, feminis, dan profesor yurisprudensi Islam. Ia mengajar di program pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dan merupakan ketua umum Indonesian Conference on Religion for Peace (ICRP). Ia telah mendapat penghargaan nasional dan internasional untuk hak asasi manusia, termasuk Yap Thiam Hien Award pada 2009.
Comments