Seiring semakin banyaknya perempuan yang mengenakan hijab atau jilbab, muncul pembedaan kelas sosial berdasarkan cara berhijab satu perempuan dengan perempuan lainnya.
Hal ini saya alami sendiri. Saya pernah dipandang sebelah mata hanya karena cara berhijab saya dianggap tidak selayaknya muslimah lainnya. Mulai dari hijab yang tidak menutupi dada, baju dan celana yang pas di badan, hingga pilihan warna pakaian pun tidak lepas dari komentar orang-orang. Selain dilihat dengan pandangan sinis, ada juga yang melabeli saya liberal, terlalu mengikuti budaya barat, dan sangat jauh dari adat timur. Label ini makin jadi ketika mereka tahu saya memiliki ketertarikan terhadap kesetaraan gender dan feminisme yang lekat dengan kalimat, “tubuhku adalah otoritasku”.
Saya sendiri mengenakan hijab atau lebih tepatnya memakai kerudung (istilah berkerudung lebih dulu dikenal dan umum dipakai di daerah saya, Madura) sejak lulus sekolah dasar dan ketika masuk pesantren yaitu sekitar tahun 2004. Kala itu, perempuan berkerudung setara, tidak ada tingkatan sosial lagi. Saya sebut setara karena antara cara berkerudung santri dengan ibu nyai pemimpin pesantren, atau antara rakyat jelata dengan orang kaya, adalah sama. Tidak ada pembeda antara satu perempuan berkerudung dengan perempuan berkerudung lainnya, kecuali akhlak, amal dan ibadahnya, tentunya.
Dulu, tidak ada istilah jilboob, hijab syar’i, hijab punuk unta, dan sebutan lain soal cara perempuan mengenakan kerudung. Padahal saat itu ada cukup banyak model perempuan mengenakan kerudung. Di era saya mondok saat itu, berkerudung belum menjadi tren busana apalagi model kerudungnya pun masih itu-itu saja. Di lingkungan pesantren putri, cara kami berkerudung sangat sederhana. Cukup mengenakan kerudung CTS yang mirip taplak meja kecil itu, yang kemudian dilipat berbentuk segitiga, kemudian disampirkan di atas kepala atau ujungnya diikat di bawah dagu.
Sekali pun ada yang berbeda, kami masih bisa saling menerima, menghormati dan tidak pernah melihat dengan sebelah mata. Perdebatan di antara kami bukan soal label syar’i pada pakaian tetapi pada kajian ilmu agama. Kami sudah tidak sempat memikirkan model kerudung karena terlalu banyak hafalan.
Setelah lulus pesantren dan kembali pada kehidupan bermasyarakat, realitas pertama yang saya temui adalah cara saya berkerudung dengan ibu dan nenek sangat berbeda. Ibu mengenakan kerudung dengan ujung yang diikat ke belakang leher sehingga dadanya agak terbuka. Tak jarang pula Ibu berkerudung ala almarhumah penyanyi Titi Qadarsih, yakni hanya menggulung menutupi rambut dan lehernya terbuka. Sementara itu, Nenek memakai choko’ (bahasa Madura yang berarti dalaman kerudung) yang kemudian dililit kerudung panjang (mirip gaya khas pahlawan nasional Tuanku Imam Bonjol).
Cara berkerudung Ibu dan Nenek ini umum diikuti oleh sebagian perempuan di kampung kami. Jika ada salah seorang yang lulus dari pesantren lalu memilih melepas kerudungnya, tidak ada yang terlalu ambil pusing. Tidak ada kehebohan kecuali tetangganya punya tambahan emas sekilo.
Saya menghargai cara mereka memilih berkerudung dan memahami betapa zaman kita berbeda sehingga berbeda pula cara mereka mengejawantahkan iman mereka. Saya meyakini mereka berdua punya cara sendiri mengimani Tuhannya. Dan Tuhan tidak se-baperan itu hanya karena gaya hijab yang berbeda.
Saling menerima perbedaan berkerudung ini terus berjalan sampai saya merantau ke Jakarta. Di ibukota ini saya lebih memahami keberagaman orang-orangnya dan bagaimana mereka berpakaian. Namun di sini pula saya berhadapan dengan kelas-kelas dalam berhijab, dan saya dimasukkan ke dalam salah satu golongan yang tidak memenuhi standar. Tidak menjadi masalah buat saya. Yang saya sesalkan adalah mengapa saya dan mereka yang tidak memenuhi standar itu seperti diposisikan sebagai perempuan kelas dua. Tidakkah lebih menyenangkan jika tidak ada kelas, tanpa sekat, dan tidak menempatkan kami sebagai perempuan yang sedang tersesat dan harus bertobat.
Ilustrasi oleh Adhitya Pattisahusiwa
Comments