Sebagai peneliti, feminis di Indonesia perlu mengupayakan kerja sama dengan para pemangku kepentingan untuk mengkaji dan memahami perempuan muda. Namun, untuk melakukan hal ini, diperlukan strategi yang baik. Kami menawarkan kerangka berpikir baru yang kami sebut sebagai “knowing responsibly”, atau mengetahui dengan penuh tanggung jawab bagi sesama peneliti feminis di Indonesia.
Kerangka berpikir knowing responsibly merupakan langkah awal proses dekolonisasi produksi ilmu pengetahuan tentang perempuan muda Indonesia. Kerangka ini mengkritik kajian perempuan muda (girls’ studies) yang cenderung berpusat pada dunia Barat dan menganggap kalau kini kita sudah masuk masa posfeminisme. Pada saat bersamaan, kajian feminis Indonesia sering menyamaratakan pengalaman perempuan walau usianya berbeda.
Baca juga: Semangat Aktivisme Sita Aripurnami, Meneliti untuk Berdayakan Perempuan
Kami telah melakukan penelitian mengenai perempuan muda dengan fokus yang diarahkan pada media, khususnya media sosial Instagram sebagai salah satu alat penting dalam pembentukan pengetahuan dan partisipasi perempuan muda. Lebih lanjut, studi kami berpusat pada wacana perempuan muda Indonesia, khususnya bagaimana pengetahuan seputar mereka diproduksi, diatur, dan diedarkan. Kami melihat bagaimana mereka mengambil peran aktif untuk menginterpretasikan apa arti menjadi perempuan muda Indonesia.
Bias Barat dan stereotip gender
Kami memilih tiga studi kasus, Awkarin, Voice of Baceprot, dan Peduli Jilbab, sebagai contoh bagaimana dinamika masyarakat pasca-Soeharto dan politik posfeminisme tercermin dalam narasi seputar perempuan Indonesia.
Awkarin adalah seorang influencer ternama dengan jumlah pengikut lebih dari lima juta dan dia merepresentasikan gaya hidup anak muda masa kini yang bebas. Voice of Baceprot adalah grup musik metal berhijab asal Garut, Jawa Barat, yang banyak menarik perhatian media internasional. Sedangkan Peduli Jilbab adalah komunitas perempuan muda Muslim dengan puluhan cabang di seluruh Indonesia.
Ketiga kasus ini memperlihatkan adanya usaha untuk mengatur perempuan muda sebagai simbol ideal masa depan Indonesia, sekaligus mempertahankan pembangunan berbasis neoliberalisme yang bergantung pada aktualisasi diri dan kemandirian individual. Kami menggunakan kasus-kasus ini sebagai contoh dari dasar kerangka knowing responsibly atau mengetahui dengan penuh tanggung jawab.
Voice of Baceprot diliput oleh koran internasional New York Times pada tahun 2017. Dalam artikel tersebut, fokus pembahasan justru tertuju pada fakta bahwa semua anggotanya berhijab dan berasal dari kota kecil di negara Muslim terbesar di dunia, bukannya pada kemampuan mereka bermain musik.
Kasus ini memperlihatkan adanya gagasan bahwa perempuan muda Indonesia adalah subjek program pembangunan (subjects of development) yang hanya dapat dianggap “berhasil” jika mereka dapat mengubah stereotip gender dan agama sesuai ekspektasi dan konsumsi media Barat. Fokus pembahasan seperti inilah yang membuat perempuan muda Indonesia tampak selalu “kurang” dan harus mengejar standar dari Barat.
Baca juga: Voice of Baceprot Layangkan Tinju untuk Pendidikan
Sementara itu, Awkarin menunjukkan bagaimana perempuan muda Indonesia tertentu ditampilkan sebagai sosok yang dibenci dan dicinta pada saat bersamaan. Walau banyak anak muda yang mengidolakannya, dia justru dipanggil Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) karena konten media sosialnya dianggap tidak sesuai dengan norma masyarakat. Meskipun Awkarin adalah individu sukses yang mandiri dan mampu mengaktualisasikan dirinya sesuai cita-cita neoliberal, tetap saja dia berada dalam pengawasan moral dan dituntut untuk menjadi perempuan muda Indonesia yang sempurna.
Kajian kami mengenai komunitas Peduli Jilbab memperlihatkan bahwa bahkan ketika perempuan muda mengikuti aturan pun, pengaruh mereka dalam perubahan sosial politik tetap saja diremehkan. Sebagai contoh, pada tahun 2018, ketika terjadi insiden pembakaran bendera yang sering diasosiasikan dengan Hizbut Tahrir Indonesia, Peduli Jilbab membuat konten di Instagram untuk mengutuk pembakaran bendera tersebut.
Komunitas ini sebenarnya sudah beberapa kali mengekspresikan respons dan ketidakpuasan akan situasi sosial dan politik. Tetapi, partisipasi mereka sebagai komunitas perempuan muda masih saja diukur dengan standar konvensional. Konten media sosial dianggap tidak cukup serius ataupun layak dipertimbangkan sebagai ekspresi opini politik. Kompleksitas perempuan muda Indonesia terlihat jelas dalam kasus Peduli Jilbab.
Maka, produksi pengetahuan seputar perempuan muda Indonesia pun harus dilakukan dengan lebih hati-hati, khususnya terkait dengan keterlibatan mereka di ranah publik, untuk menghindari penyamarataan pengalaman perempuan muda.
Mawas relasi kuasa
Kami percaya bahwa kerangka knowing responsibly dapat membantu para peneliti feminis lebih bijak menyikapi hidup dan kisah perempuan muda. Bagaimana caranya?
Ada tiga hal yang perlu dipertimbangkan ketika mengkaji perempuan muda.
Pertama, kita harus sadar dengan kondisi pengetahuan yang kita miliki (conditions of knowing). Kesadaran ini datang dari pemahaman akan posisi sosial yang kita miliki sebagai peneliti dan dinamika relasi kuasa yang sudah pasti terlibat dalam setiap langkah penelitian. Apalagi dalam literatur penelitian tentang perempuan muda di negara berkembang, ada kecenderungan untuk melihat mereka sebagai korban. Maka, diperlukan kesadaran penuh untuk tidak mengulang kebiasaan lama tersebut.
Baca juga: Para Perempuan Mosintuwu: Pemimpin Perlawanan dan Agen Perubahan
Kedua, kita harus memeriksa kembali niat (intentions) yang melandasi penelitian. Walau peneliti feminis berniat baik, terkadang keinginan untuk “membantu” justru menjadikan perempuan muda tampak lemah dan tidak jarang justru mengaburkan agensi yang mereka miliki sehari-hari. Niat baik perlu dibedakan dari rasa kasihan.
Ketiga, penting diingat kalau pengetahuan memiliki efek materiil (material effects of knowing). Ilmu pengetahuan tidaklah abstrak. Sejarah penjajahan dan masa kolonial yang dijalani masyarakat Indonesia selama beratus-ratus tahun telah memperlihatkan bahwa ketidaksetaraan sosial dan ekonomi berakar dari anggapan bahwa ilmu pengetahuan yang dimiliki penjajah lebih valid daripada masyarakat yang terjajah. Kesadaran akan efek dari praktik produksi ilmu pengetahuan dapat membantu kita mengurangi efek samping penelitian bagi perempuan muda.
Kami berharap, kajian feminis tentang perempuan muda Indonesia ke depannya semakin mawas akan relasi kuasa dan tidak memperlakukan mereka sebagai kelompok yang perlu dilindungi atau diatur orang dewasa. Menurut kami, penting sekali untuk memperlakukan dan mengkaji perempuan muda Indonesia sebagai aktor sosio-politik yang kontradiktif sekaligus berpengaruh.
Comments