Belum lama ini beredar berita viral tentang seorang karyawan di tempat latihan golf di Kelapa Gading, Jakarta, yang ditangkap karena mengintip toilet perempuan. Hal ini diketahui dari cerita seorang perempuan korban yang mendapati sebuah kamera ponsel yang dipasang di plafon toilet ketika ia hendak buang air kecil. Cerita korban tersebut disebarkan melalui akun Instagram @dearcatcallers.id.
Kisah ini menegaskan kembali tentang betapa rentannya perempuan terhadap pelecehan seksual di mana pun. Tidak sulit bagi kita untuk mencari berita mengenai kasus pengintipan perempuan dengan kamera. Tahun lalu, beredar berita tentang pengintipan payudara pelanggan oleh karyawan Starbucks lewat kamera CCTV. Ada pula berita pengintipan perempuan di kamar ganti dan kamar mandi pusat kebugaran di mal di Surabaya di mana pelaku juga mengancam korban untuk memenuhi keinginannya.
Baca juga: Studi: Perempuan, Anak Perempuan Tak Merasa Aman di Tempat Umum di Jakarta
Pengintipan Bukan Fenomena Langka
Kasus pengintipan perempuan banyak pula ditemukan di negara-negara lain. NPR melaporkan, pada 2011 ada 1.353 kasus pengintipan di Korea Selatan dan angka ini melonjak menjadi 6.470 pada 2017. Peningkatan kasus pengintipan juga terdapat di Singapura. Channel News Asia menyebutkan, pada 2017 ada 230 laporan pengintipan lewat kamera tersembunyi, meningkat dari laporan tahun 2013 yang berjumlah 150 kasus.
Di Jepang, 13 bocah laki-laki usia 15-16 tahun kedapatan mengintip teman-teman perempuan mereka di pemandian luar ruangan saat study tour. Sementara, bocah laki-laki lainnya yang melihat aksi 13 teman mereka itu tidak melakukan apa-apa untuk menghentikannya. Di negara tersebut, kasus seperti ini tidak langka: Pengintipan terjadi mulai di toilet umum, kamar ganti, hingga transportasi publik.
Maraknya pengintipan perempuan sekarang ini difasilitasi oleh perkembangan teknologi yang memungkinkan kamera lebih sulit teridentifikasi. Ukurannya yang super kecil ditambah bentuknya yang beragam membuat perempuan tidak menyadari diri mereka dalam bahaya. Di Jepang, bahkan ada kasus pengintipan pramugari di pesawat dengan kamera berbentuk pena.
Baca juga: Survei: 3 dari 5 Perempuan di Indonesia Alami Pelecehan Seksual di Ruang Publik
Pengintipan di Toilet, Perempuan Jadi Trauma
Pengintipan barangkali dianggap sebagai pelecehan seksual yang berdampak minor bagi korban. Tetapi menurut Anisha Joseph, kepala pusat penanganan kasus kekerasan seksual di Association of Women for Action and Research (AWARE) Singapura, korban pengintipan bisa merasakan dampak psikis dan emosional berupa perasaan terintimidasi, malu luar biasa, marah, atau tidak berdaya.
Dalam The Independent Singapura, Joseph menyatakan bahwa dampak psikis ini bisa berjangka panjang dan merembet ke hal lain. Misalnya, berkembangnya rasa takut pada orang lain, depresi, kecemasan, kilas balik masa lalu berulang-ulang, perasaan mati rasa, dan penyangkalan.
Mereka juga mungkin menghindari tempat atau hal tertentu yang berasosiasi dengan kejadian pelecehan seksual tersebut meski sebenarnya tempat-tempat tersebut adalah lokasi yang harus mereka lewati sehari-harinya. Sayangnya, hal ini sering luput dari perhatian orang-orang karena dampak yang dialami korban tidak kasat mata.
Dalam kasus pengintipan di toilet tempat golf tadi memang pelaku sudah mendapat sanksi. Tapi tentu saja hal ini tidak serta merta mendatangkan kelegaan bagi perempuan. Masih banyak orang seperti pelaku tadi yang berkeliaran entah di mana, siap memangsa tubuh perempuan untuk kepuasan pribadinya.
Ini memicu perasaan curiga dan waswas pada diri perempuan kalau-kalau mereka tanpa sadar telah direkam saat telanjang atau buang air, lantas pelaku menyebarkannya ke situs porno, media sosial, atau membagikan ke banyak orang terdekatnya. Perempuan tidak pernah tahu apakah mereka benar-benar berhasil melindungi tubuh dan privasinya dari intensi jahat pelaku atau tidak.
Tubuh Perempuan yang Selalu Rentan
Dalam kasus di mana pelaku mendapat rekaman mereka dan mengancam akan menyebarkan bila mereka tidak mau mengikuti kemauannya, beban korban menjadi makin berat dan bukan mustahil mengganggu mereka beraktivitas sehari-hari. Di konteks ini, perempuan korban pengintipan seakan tidak lagi memiliki tubuhnya sendiri karena pelaku kini mengendalikannya lewat intimidasi.
Dari kisah-kisah semacam ini, perempuan kembali diingatkan untuk waspada di mana pun dan kapan pun ia berada. Tubuh mereka senantiasa rentan menjadi sasaran objektifikasi, justru di tempat-tempat yang mereka pikir cukup aman karena hanya ada diri mereka sendiri di dalamnya. Berbeda dari laki-laki, dari pengalaman korban pengintipan yang mereka baca, perempuan jadi harus mengeluarkan waktu dan upaya ekstra untuk memastikan mereka cukup aman dari kemungkinan pelecehan seksual.
Peristiwa ini mengingatkan saya pada unggahan di media sosial yang disebarkan teman-teman beberapa waktu lalu: Tentang “not all men” atau tidak semua laki-laki melakukan kekerasan seksual. Sama dengan konteks pengintipan ini, tidak semua tempat membahayakan dan potensial menjadi lokasi pelecehan seksual perempuan. Tapi, sebagaimana perempuan tidak tahu laki-laki mana yang tidak tergolong pelaku kekerasan seksual, perempuan tidak pernah tahu tempat yang mana yang cukup aman dari tindak pengintipan sehingga mereka harus selalu atau sering memasang “mode tidak percaya”. Dan yakinlah bahwa memasang mode ini sepanjang waktu begitu melelahkan.
Ungkapan “jangan lengah” dan berbagai artikel yang menginformasikan cara deteksi adanya kamera di kamar mandi atau tempat ganti memang bertujuan baik. Tetapi di balik itu, saat sesuatu yang buruk menimpa perempuan, ada kesan bahwa merekalah yang juga salah karena tidak berjaga-jaga sepanjang waktu. Sama halnya dengan imbauan bagi perempuan untuk tidak memakai baju yang “mengundang” kekerasan seksual, padahal tindak kriminal itu sepenuhnya salah pelaku.
Tapi bagaimana lagi? Kita seolah tidak punya pilihan untuk mengikuti imbauan tersebut, mengalah, meski dalam hati kita marah.
Butuh proses yang masih panjang (kalau bukan utopia) untuk menciptakan situasi yang aman bagi perempuan, agar mereka bisa melakukan apa pun di ruang publik tanpa kecemasan dan potensi disalahkan.
Belajar dari Korea Selatan
Salah satu hal yang bisa dilakukan untuk menghadapi masalah pengintipan di ruang publik adalah sikap proaktif dan tegas pemerintah dalam membuat aturan mengenai itu. Di Korea Selatan misalnya, pemerintah melakukan inspeksi rutin di berbagai fasilitas publik dan kebijakan lebih ketat untuk mengendalikan impor, penjualan, dan kepemilikan kamera termodifikasi untuk tujuan ilegal.
Mereka juga memberlakukan sanksi lebih tegas untuk pelaku yang menyebarkan hasil intipan mereka atau revenge porn, termasuk hukuman penjara sampai lima tahun. Sanksi juga dikenakan bagi mereka yang menyebarkan video korban tanpa sepengetahuannya, berupa pidana sampai tujuh tahun penjara. Sanksi tegas macam ini bisa ditiru di negara kita alih-alih menoleransi pelecehan seksual tersebut atau memberi hukuman tidak seberapa dengan anggapan pengintipan termasuk kriminal ringan.
Bila dari sisi pemerintah dapat membuat aturan tegas untuk menindak pelaku pengintipan, individu atau komunitas dapat membantu dengan cara lain. Masih dari negara yang sama, seorang perempuan bernama Chung Soo-young menciptakan seperangkat alat pencegahan pengintipan melalui kamera tersembunyi setelah menjadi korban.
Alat-alat tersebut mencakup tabung silikon untuk menutup lubang yang ditemukan di tempat yang potensial jadi lokasi pengintipan, stiker untuk menambalnya, dan obeng pemecah es untuk merusakkan kamera tersembunyi. Pembuatan perangkat ini dilakukan Soo-young dengan mengumpulkan dana via crowdfunding dan responsnya jauh melebihi yang ia bayangkan.
Seiring inisiatif seperti yang Soo-young keluarkan, kampanye melawan tindak pelecehan seksual berbentuk pengintipan juga dapat dilakukan. Perempuan-perempuan Korea Selatan benar-benar serius melakukan hal ini. Beberapa kali mereka berkumpul untuk memprotes tindakan pengintipan lewat kamera tersembunyi dan pada 2018, ada sekitar 70 ribu perempuan yang mengikuti protes tersebut. Untuk menghindari kemungkinan mereka menjadi target objektifikasi seksual di kemudian hari, para perempuan ini menutupi wajah mereka ketika melakukan aksi protes.
Ilustrasi oleh Karina Tungari
Comments