Masalah Papua dengan Indonesia bukan masalah yang sepele. Konflik ini sudah dimulai sejak pengintegrasian Papua ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) lebih dari 50 tahun silam.
Saya teringat kalimat yang diucapkan Mama Yosepha Alomang, perempuan pejuang hak asasi manusia dari Papua, dalam Konferensi Jaringan Antar Iman di Sentani, Papua, tahun 2014 yang lalu. Saya merinding ketika ia berkata, ”Indonesia masuk ke tanah Papua dengan senjata!”. Ia tidak sedang melucu. Ia mengucapkannya dengan berapi-api dan menahan air mata.
Wajah Mama Yosepha mengingatkan saya pada wajah nenek saya, seorang perempuan asli Maluku. Apa kesamaan keduanya? Mereka sama-sama berasal dari satu ras yang sama, ras Melanesia. Secara geografis, ras Melanesia tersebar dari Kepulauan Maluku hingga ke Timur Pasifik, termasuk Papua. Kurang lebih 13 juta jiwa ras Melanesia yang ada di Indonesia dan merupakan yang terbanyak di dunia.
Namun ras Melanesia pun tidak tunggal. Ia memiliki gradasi yang tidak dengan mudah dicirikan dengan berkulit gelap, berambut keriting, dan bertubuh atletik. Kita bisa menemukan orang-orang yang berasal dari Maluku, Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Papua yang memiliki kulit lebih terang, rambut agak lurus, atau ukuran tubuh yang bermacam-macam dari yang pendek hingga yang menjulang tinggi, menjadikan orang-orang Melanesia sebagai liyan yang belum “tetap”.
Jika ditampilkan dalam media, pemeran orang-orang Melanesia bisa digantikan oleh pemeran dari suku lain dengan menggunakan patokan yang umum itu. Namun, hal itu tidak berlaku apabila yang ditampilkan adalah liyan yang sudah “tetap” seperti orang-orang Cina Indonesia. Hal ini disebabkan karena secara universal kita sudah memiliki pengetahuan bersama tentang siapa yang dimaksud orang Cina sehingga tentu akan sangat aneh jika ada tokoh orang Cina yang diperankan oleh orang Papua, Maluku, atau NTT.
Sebaliknya, jika representasi itu bercerita tentang orang-orang Melanesia, maka mereka bisa digantikan dengan pemeran dari suku lain, seperti Shafira Umm (Cahaya dari Timur: Beta Maluku, 2014) atau Marsha Timothy (Marlina, Si Pembunuh Dalam 4 Babak, 2017). Praktik pemilihan berdasarkan kriteria yang mendekati ciri-ciri umum terhadap representasi liyan seperti ini mirip seperti model black face yang dipraktikkan dalam industri hiburan oleh orang kulit putih terhadap orang kulit hitam di Amerika dan Eropa.
Persoalan rasialisme kepada orang Papua, yang mengerucut pada persoalan ras Melanesia, menjadi persoalan yang besar karena hal ini sangat menodai semboyan negara kita, Bhineka Tunggal Ika. Dengan terjadinya hal itu, maka kita perlu mempertanyakan keindonesiaan kita. Jika kita merasa sebagai saudara sebangsa setanah air, mengapa kita masih dengan mudah diadu domba dengan politik identitas (entah agama, suku, ras, dan golongan)? Tidakkah ini mengganggu rasa keadilan dan rasa kebangsaan kita? Mengutip Indonesianis Ben Anderson tentang “komunitas yang dibayangkan”, Indonesia seperti apa yang kita bayangkan selama ini?
Peran media dalam reproduksi representasi
Sebagai pengkaji media dan seorang perempuan Melanesia, saya menekankan peran media sebagai salah satu teknologi sosial yang membentuk dan mereproduksi representasi yang selama ini ada dalam media konvensional. Kapan kita pernah melihat perempuan berdarah Papua, NTT, atau Maluku dan berkata bahwa mereka cantik bila disandingkan dengan perempuan dari suku-suku lain? Kapan kita menonton film atau melihat iklan yang menggunakan bintang film atau model dari ras Melanesia? Ketika muncul pun dalam media, bagaimana perempuan Melanesia diposisikan? Dipuja atau dicemooh?
Baca juga: Anyaman Rambut Agnez Mo: Apresiasi atau Apropriasi?
Sebagai contoh, film-film tentang perempuan Melanesia yang dibuat sineas Indonesia masih sangat sedikit yang menampilkan pengakuan atas perbedaan dan gambaran yang setara dalam membingkai orang-orang ras Melanesia, khususnya perempuan Melanesia.
Perempuan Melanesia yang ditampilkan dalam film Marlina, Si Pembunuh dalam 4 Babak (2017), Salawaku (2016), atau Cahaya Dari Timur: Beta Maluku (2014), justru mereproduksi tatapan kolonial dan pengasingan perempuan Melanesia dari lingkungan dan alamnya. Mereka digambarkan sebagai perempuan-perempuan yang terbelakang: kolot, tidak berbahasa Indonesia dengan dialek sesuai SNI (Standar Nasional Indonesia) yang mengikuti orang-orang di ibukota, cerewet atau bicara dengan suara keras, dan tidak berpendidikan yang ditandai dengan tidak melek menggunakan teknologi komunikasi.
Hal yang menyedihkan adalah bahwa perempuan Melanesia kerap kali dimunculkan dalam keadaan diam, sehingga pertanyaan akademis dan feminis Gayatri Chakravorty Spivak tentang “dapatkah seorang liyan menyuarakan dirinya sendiri” kembali mengiris hati.
Kita tidak bisa menafikan bahwa ada gambaran ideal tentang kecantikan menurut SNI yang umumnya ditandai dengan kulit putih, tinggi, dan langsing plus sifat-sifat feminin bentukan sistem patriarki. Hal ini juga berlaku bagi laki-laki dengan sifat-sifat maskulin yang penuh machismo.
Media terus-menerus mencekoki kita dengan gambaran yang dianggap “ideal” ini sehingga kita lambat laun menerimanya sebagai sesuatu yang “alamiah”. Kita jarang mempertanyakan apakah gambaran ideal itu melayani kepentingan ekonomi industri kecantikan, memapankan nilai-nilai patriarki dalam masyarakat, bahkan kolonialisme dalam masyarakat. Lebih parah lagi, kita bahkan dibuat amnesia dengan perasaan tertindas sebagai sesama bangsa terjajah, sehingga tega menyakiti hati sesama kita karena mereka berbeda.
Selain pandangan yang patriarkal nan kapitalistik, nilai-nilai kolonialisme ternyata juga masuk dan memengaruhi cara pandang terhadap perempuan Melanesia (dan secara umum perempuan di negara-negara Dunia Ketiga). Kerinduan laki-laki ras Melanesia akan perempuan berkulit putih, tinggi, dan langsing untuk mengangkat martabatnya juga muncul dalam budaya populer.
Kita bisa lihat buktinya dalam video klip musik lokal yang dinyanyikan penyanyi laki-laki ras Melanesia. Musisi kelas kakap seperti Glenn Fredly hingga Doddie Latuharhary yang merajai peta musik di Indonesia Timur tak jarang menggunakan representasi “perempuan ideal” sebagai model video klip mereka. Jenis “perempuan” yang berbicara pada perempuan Melanesia bahwa “kamu itu tidak masuk standar cantik” dan justru menyingkirkan perempuan Melanesia sendiri.
Akibatnya, jika Anda pergi ke wilayah Indonesia Timur, terutama Maluku dan NTT, Anda akan menemukan banyak perempuan Melanesia yang meluruskan rambutnya dengan teknologi rebonding. Rambut lurus dianggap sebagai tolak ukur kecantikan dan menambah rasa percaya diri mereka, berikut kulit putih. Lebih parah lagi, rambut lurus dapat menjadi simbol kemajuan karena malu dengan label “keterbelakangan” yang disematkan kepada mereka selama ini. Dengan representasi yang seperti ini, tentu saja ciri khas perempuan Melanesia pelan-pelan akan punah dari peta keberagaman Indonesia dan tidak diperhitungkan ada.
Diskursus konflik Papua kali ini makin mempertajam isu rasialisme yang, secara diam-diam, enggan kita akui keberadaannya. Namun, bisakah kita mempersalahkan masyarakat yang rasialis jika teknologi sosial di sekeliling kita membentuk cara pandang yang tidak adil selama 74 tahun Indonesia merdeka? Apakah mendapatkan penerimaan dari sesama saudara sebangsa harus lewat pengorbanan darah dan air mata?
Kami perempuan Melanesia, kami ada, dan kami cantik. Dengarkanlah kami!
Comments