Priesnanda Dwisatria tidak sabar ingin pemilihan umum ini segera berakhir, agar lini masa media sosialnya kembali normal.
“Hanya ada dua kata untuk menggambarkannya, tidak nyata,” ujar pembuat film berusia 38 tahun tersebut.
“Kampanye media sosial itu seperti pedang bermata dua. Semua orang memiliki ponsel pintar, jadi informasi mudah menyebar, demikian juga dengan gosip. Dan semakin dekat kita menuju pemilu, semua menjadi semakin intens. Berita, gosip, kampanye hitam, semuanya bercampur. Saya tidak tahan dengan semua keriuhan itu.”
Media sosial jelas merupakan faktor pengubah yang signifikan dalam pemilihan presiden tahun ini. Dengan status Indonesia sebagai ibukota media sosial di dunia, kedua calon presiden Prabowo Subianto dan Joko Widodo telah dengan sigap mengkapitalisasi potensi ini, secara intensif menggunakan kanal-kanal media sosial untuk kampanye mereka dalam kompetisi ini.
Berbagai data menunjukkan bahwa Indonesia memiliki sekitar 40 juta sampai 50 juta pengguna Internet, atau sampai 20 persen dari jumlah penduduk, dan 90 persen dari para pengguna ini memiliki akses terhadap media sosial.
Seiring berlangsungnya pemilu yang paling ketat dan menghasilkan dua kutub yang pernah terjadi, media sosial menjadi ajang pertempuran sengit bagi kedua kandidat – Jokowi sebagai Gubernur Jakarta yang dikenal sederhana dan Prabowo mantan perwira militer yang berapi-api.
Sejauh ini, sepertinya Jokowi menjadi topik lebih banyak perbincangan positif dibandingkan Prabowo, dengan 72 persen dibandingkan 28 persen, menurut Politicawave, sebuah laman yang mengawasi perbincangan politik di media sosial. Jokowi juga 60 persen lebih sering dibahas di media sosial dibandingkan Prabowo dengan 40 persen.
Namun Politicawave mengatakan bahwa Jokowi juga merupakan target terbesar dari kampanye hitam, dengan jumlah perbincangan negatif terkait Jokowi mencapai 67 persen, atau dua kali lipat Prabowo.
Para analis mengatakan kelompok Prabowo memiliki struktur yang lebih baik dan lebih siap dalam menggunakan media sosial dalam kampanye mereka, sehingga pesan-pesan yang disampaikan lebih konsisten dan seragam dan memiliki cara yang lebih baik dalam menangkal kampanye hitam.
Direktur Politicawave Yose Rizal mengatakan kampanye media sosial Prabowo menghubungkan akun-akun capres, partai Gerindra dan pejabat partai, sehingga timnya dapat mengontrol pesan.
“Kampanye Jokowi kurang terstruktur karena banyak kampanye sosialnya terdiri dari jaringan sukarelawan yang tidak berafiliasi dengan partai politik,” ujarnya.
“Keuntungannya, hal ini memperluas jangkauan, namun tidak terkelola dengan baik dan tidak memiliki kemampuan untuk menangkal kampanye hitam.”
Muninggar Sri Saraswati, seorang dosen dan kandidat doktoral dari Murdoch University di Australia, dengan disertasi mengenai media sosial dalam kampanye pemilu di Indonesia, mengatakan kampanye media sosial Prabowo telah dimulai bahkan jauh sebelum pemilihan legislatif pada 9 April, dengan penggunaan slogan “Gerindra Menang, Prabowo Presiden.”
“Kampanye daring Jokowi baru dimulai ketika ia mendeklarasikan sebagai calon presiden. Bahkan saat itu pun tidak ada komando tunggal dari partainya, hanya bergantung dari sukarelawan,” ujarnya.
Salah satu kelompok sukarelawan adalah Jokowi Advanced Social Media Volunteers 2014 (JASMEV2014), yang merupakan reinkarnasi dari Jokowi-Ahok Social Media Volunteers (JASMEV) yang melakukan kampanye daring dari Jokowi dan wakilnya Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama dalam pemilihan gubernur Jakarta 2012.
Muninggar mengatakan kurangnya struktur dalam kampanye media sosial tersebut membuat Jokowi menjadi sasaran empuk kampanye hitam yang tersebar dengan mudah melalui media sosial.
“Media sosial berperan lebih baik dalam menyebarkan kampanye hitam daripada menangkalnya. Dan kampanye hitam mengenai agama Jokowi telah beresonansi sampai ke kampanye di dunia nyata, memaksanya dan Jusuf Kalla serta tim mereka untuk mengalokasikan waktu untuk menyangkalnya di dunia nyata,” ujarnya.
Jokowi telah menghadapi gosip bahwa ia bukan Muslim dan merupakan keturunan etnis Cina. Meski ia telah menyangkal kabar burung tersebut, sebuah survei yang dilakukan Indikator Politik Indonesia menunjukkan bahwa kampanye tersebut telah menurunkan tingkat popularitas Jokowi, dari 32,5 persen pada Mei menjadi 31,8 persen saat ini.
Sementara itu, popularitas Prabowo telah meningkat menjadi 19,8 persen dari 11,4 persen pada Mei.
Perbedaan tingkat elektabilitas antara kedua kandidat juga telah menyempit, dari 13 persen pada bulan-bulan terakhir menjadi sekitar 8 persen saat ini, menurut sejumlah survei. Hal ini akan memaksa kedua tim untuk bersaing memperebutkan pemilih yang belum menetapkan hati, yang saat ini mencapai 13,5 persen dari pemilih total.
Muninggar mengatakan tim media dan komunikasi Jokowi perlu bekerja sangat keras untuk mendorong kampanye media sosial yang terkait dengan kampanye media lainnya, terutama karena televisi sebagai alat kampanye utama di Indonesia sebagian besar dikontrol oleh tim lawan.
Partai Prabowo berafiliasi dengan pengusaha Aburizal Bakrie dan Hary Tanoesudibjo, yang jika digabung mengontrol sedikitnya tiga stasiun televisi besar. Sekutu media Jokowi, sementara itu, hanyalah politisi Partai NasDem Surya Paloh, yang memiliki saluran berita MetroTV.
Enda Nasution, pendiri dan salah satu CEO Sebangsa, sebuah sarana selular Indonesia, mengatakan stasiun-stasiun televisi dan media tradisional lainnya selalu mengambil apa yang sedang ramai di media sosial selama kampanye pemilu, sehingga peran kampanye media sosial menjadi semakin penting.
“Sebagai contoh, kedua kandidat memiliki video-video di YouTube yang dilihat mungkin oleh beberapa ribu orang saja. Namun ketika stasiun-stasiun TV memberitakan video-video tersebut, jangkauannya menjadi lebih luas,” ujarnya.
“Jadi kedua tim perlu memanfaatkan media sosial bukan hanya sebagai alat kampanye, tapi juga agar diberitakan oleh media tradisional,” ujarnya.
Ikuti @heradiani di Twitter.
Diterjemahkan dari artikel The Virtual Election: The Race for Presidency on Social Media.
Comments