Selama lima tahun, Rizki Suryani berada dalam pernikahan toksik yang penuh kekerasan. Suaminya, laki-laki berkewarganegaraan asing, kerap membanting barang, melontarkan kata kasar dan caci maki jika berbeda pendapat. Akibatnya, ia terus merasa was-was.
“Sebelum menikah kami berteman, tapi setelah menikah saya jadi tahu bagaimana sifatnya. Dia orang yang temperamen, suka mengumpat, dan merendahkan saya. Saya tidak bisa balik melawan dan saat itu saya berpikir mending untuk menghindar saja,” ujarnya dalam diskusi “Kekerasan dalam Rumah Tangga Pelaku Kawin Campur Wilayah Eropa”, oleh Sekolah Virtual Perempuan, (27/6).
Rizki tidak melaporkan tindakan mantan suaminya itu ke polisi karena ia menganggap hal tersebut merupakan pertengkaran rumah tangga biasa. Ia memilih berkeluh kesah dan menemukan kekuatan lewat teman-teman dekatnya. Puncaknya, pada 2013, Rizki menghimpun keberanian dan menceraikan mantan suaminya itu karena tahu dia berselingkuh.
Meskipun telah lama berpisah dan sekarang bermukim di Swedia, Rizki masih trauma dan mengalami ketakutan jika mendengar suara keras atau orang yang berbicara dengan nada tinggi.
Cerita dengan akhir berbeda disampaikan Mutiara Anggun, diplomat RI di Serbia yang pernah mendampingi penyintas kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) pasangan Indonesia dan Bulgaria di Beograd, Serbia.
Ia mengatakan, pelaku dan korban sengaja datang ke Serbia untuk menonton turnamen mobil. Namun, sesampainya di hotel, korban dipukul, dibenturkan kepalanya di dinding, dan dikuncikan sendirian dalam kamar. Merasa ketakutan dan butuh pertolongan, korban keluar dari kamarnya lewat jendela, kemudian dibantu oleh pegawai hotel.
Mutiara lalu menemani korban sebagai penerjemah, membantu mengurus visum, dan pengaduan kasus KDRT di kantor polisi. Sayangnya, setelah sebelas jam investigasi, korban memilih untuk mencabut laporannya karena menerima pesan minta maaf dari pelaku.
“Saya kesal dan bingung kenapa dia melakukan itu. Dia juga bilang bahwa ini kali kelima dia diperlakukan seperti itu, tapi selalu percaya atas perkataan pelaku yang minta maaf dan ingin berubah. Polisi yang mengurus investigasi juga bilang, 99 persen korban biasanya mencabut hasil laporan mereka,” jelas Mutiara.
Baca juga: KDRT dalam Kebijakan Imigrasi dan Diplomasi
Alasan Cinta
Anita Kristiana, psikolog klinis dewasa dari Tanoto Foundation mengatakan, penyintas KDRT bertahan dalam pernikahan yang penuh kekerasan karena komitmen ‘cinta’. Ketika pelaku meminta maaf atas dasar alasan cinta, korban menjadi terombang-ambing dan mempercayai pelaku. Padahal kekerasan tersebut bukan cinta, ujarnya.
Ia menambahkan, komitmen moral ditambah ketergantungan struktural, seperti agama yang melarang perceraian, stigma, dan keluarga yang tidak akan mendukung jika meninggalkan pasangan, juga memengaruhi korban untuk tidak meninggalkan pasangan.
“Korban juga bertahan karena ada ketergantungan finansial dan emosional. Jika (KDRT) diungkap, korban takut pelaku akan semakin marah. Itu juga yang menjadi pertimbangan korban, ” ujarnya.
Ia mengatakan, jika pelaku telah melakukan berbagai bentuk kekerasan, seperti fisik, psikis, finansial, dan seksual, seperti marital rape, sangat besar kemungkinan akan dilakukan kembali dengan intensitas yang jauh lebih sering dan tinggi. Karenanya, KDRT memberi dampak trauma berkepanjangan pada korban dan bisa berujung pada kematian.
“Misalnya korban ditampar dan dimaki-maki. Tidak lama setelah itu pelaku menonjok dan memakai alat. Intensitas yang bertambah itu membentuk siklus yang berulang dan dianggap boleh terus dilakukan. Jika semakin lama, siklus ‘meminta maaf’ setelah melakukan kekerasan akan hilang. Maka dari itu, KDRT adalah situasi berbahaya yang perlu penanganan langsung,” jelas Anita.
Baca juga: Aturan Perlindungan UU PKDRT Belum Beri Keamanan Bagi Korban
KDRT Berdampak pada Anak
Anita mengatakan, KDRT terjadi karena ada relasi yang tidak setara dan kontrol berlebihan atas pasangan yang dilakukan pelaku. Pengekangan bahkan gesekan pendapat tersebut dapat berupa hal-hal sederhana, seperti pembagian kerja rumah tangga, perbedaan pendapat, dan keinginan pasangan untuk bebas mengaktualisasikan dirinya.
“Kadang kita merasa marah ketika korban memilih kembali pada pelaku, tapi memang seperti itu kenyataannya. Yang bisa kita lakukan hadir sebagai support system ketika mereka ingin keluar dari lingkar itu,” kata Anita.
Dampak jika anak sering menyaksikan aksi KDRT di rumah, imbuhnya, anak cenderung menormalisasi tindakan kekerasan verbal maupun fisik sebagai solusi penyelesaian masalah. Ketika anak sudah tumbuh dewasa, kemungkinan besar anak menjadi korban selanjutnya karena memiliki toleransi yang tinggi atas aksi kekerasan atau menjadi pelaku.
“Dampak KDRT itu lintas generasi. Anak mempelajari pola interaksi, komunikasi, dan penyelesaian masalah lewat kekerasan. Dia belajar bahwa memaki, memukul, dan merendahkan boleh dilakukan,” papar Anita.
Meskipun begitu, ada kemungkinan anak tumbuh tidak menjadi korban maupun pelaku. Hal tersebut bergantung pada bagaimana anak tersebut memproses dan memandang aksi kekerasan sebagai sesuatu yang salah dan berbahaya, ujarnya.
“Ini juga bergantung pada refleksi pribadi dan cara menginterpretasikan peristiwa tersebut. Ia bisa menjadi sosok positif penggerak aksi pemulihan,” terangnya.
Baca juga: ‘Safety Plan’ dari KDRT di Tengah Wabah Corona
Bingung Harus Melapor Ke Mana
Elis Murniawati, penerjemah untuk kepolisian Gran Canaria, Spanyol mengatakan, penyintas KDRT yang ada di Spanyol maupun negara Eropa lainnya sering merasa malu untuk membicarakan hingga melapor untuk mencari pertolongan.
Pihak keluarga juga meminta penyintas untuk bertahan, sabar, dan suatu saat pelaku akan berhenti melakukan kekerasan. Tidak hanya itu, korban juga tidak tahu tempat untuk melapor karena Kedutaan Besar Republik Indonesia tidak bisa membantu penanganan kasus KDRT, ujarnya.
“Banyak korban yang tidak dibantu, meminta pertolongan kepada teman tapi juga tidak dibantu. Ada kasus seorang penyintas yang meminta bantuan ke KBRI, tetapi tidak menerima pertolongan tapi malah menerima jawaban hal itu masalah pribadi dan bisa membawa malu untuk nama Indonesia,” kata Elis.
Menanggapi peran KBRI atas kasus kekerasan di luar negeri, Ade Johan Sinaga, Atase Polisi KBRI, Berlin, Jerman mengatakan, polisi KBRI tidak memiliki wewenang melakukan investigasi maupun mewawancarai korban di luar wilayah kantor KBRI. Polisi KBRI juga harus bertindak sesuai dengan aturan negara tersebut, terbatas, dan hanya bisa bertindak sesuai koordinasi dan kerja sama polisi setempat tanpa intervensi.
“Misalnya kasus KDRT di Jerman, penyelidikan kasus dan pelaporan adalah wewenang pemerintah Jerman. Kalau KBRI melakukan intervensi, (mereka) bisa diusir dari negara tersebut,” ujarnya.
“Sebagai polisi, kewenangan kami terbatas dan hanya bisa membantu dalam memastikan korban mengetahui dan mendapatkan haknya di negara tersebut, misalnya perlindungan, penjagaan selama 24 jam oleh polisi, nasehat tentang prosedur hukum, dan kewajiban lain yang ia harus dapatkan,” ia menambahkan.
Langkah Pelaporan KDRT di Eropa
Tubagus Edwin Suchranudin, Koordinator Fungsi Protokol dan Konsuler KBRI Berlin mengatakan, langkah aduan kasus KDRT untuk WNI yang berada di luar negeri adalah melaporkan pada polisi setempat. Polisi akan mendampingi untuk mendapatkan visum yang nantinya menjadi alat bukti telah terjadinya kasus KDRT di pengadilan. Selain itu, korban akan dibantu dan didampingi untuk penyelesaian kasus KDRT secara hukum di pengadilan.
“Kami juga menyarankan untuk melapor melalui Portal Peduli WNI. Jika memiliki teman yang dipercaya untuk tinggal bersama dan menenangkan diri. Di Jerman ada Frauenhaus atau rumah untuk perempuan, yang akan mendampingi dan memberikan rekomendasi bantuan pengacara,” kata Tubagus.
Sementara itu, Elis menganjurkan agar penyintas langsung melakukan visum di rumah sakit yang kemudian membantu dalam pelaporan kasus pada polisi. Pihak berwajib bakal melindungi selama 24 jam dan membawa korban ke rumah aman yang lokasinya dirahasiakan. Korban juga akan dibantu penerjemah dan dampingan pengacara secara gratis. Jika korban memiliki anak, maka akan dilindungi juga oleh polisi dan tinggal bersama ibunya sampai pengadilan memutuskan siapa yang berhak mendapat hak asuh anak.
“Secara hukum anak di bawah umur selalu tinggal bersama ibunya. Bapaknya tidak boleh mengambil anak secara langsung dan jika ingin bertemu harus ada perantara. Selain itu, harus ada jarak antara bapak dan ibu,” kata Elis lagi.
Ade juga menyarankan agar korban tidak takut menelepon nomor bantuan yang disediakan European Commision di setiap negara Eropa untuk mencari bantuan.
“KBRI di seluruh negara asing akan mendampingi, memantau perkembangan yang dialami sampai kasus selesai dan pengadilan mengeluarkan keputusannya,” ungkapnya.
Ilustrasi oleh Karina Tungari
Comments