Peringatan pemicu: Gambaran eksplisit kekerasan seksual.
Rabu (1/9) malam lalu, beredar rilis pers yang mengungkap peristiwa perundungan dan kekerasan seksual yang menimpa pegawai Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Penyintas adalah laki-laki berinisial MS, dan para pelaku juga merupakan laki-laki yang sama-sama bekerja di KPI. Kekerasan seksual itu mulai diterima MS sejak 2012. MS sering dipaksa membelikan makanan untuk para pelaku, dikeroyok, dicaci-maki, dan dipukuli.
Pada 2015, pelaku semakin bertingkah. Mereka memegangi kepala, kaki, dan badan MS, menelanjanginya, lalu melecehkan MS dengan mencoret-coret buah zakarnya menggunakan spidol. Perundungan dan kekerasan seksual itu membuat MS mengalami gangguan kesehatan fisik dan psikis. Namun, MS memilih untuk bertahan, karena harus menafkahi anak, istri, dan ibunya.
Pada 2016, gangguan kesehatan fisik dan psikis MS semakin memburuk. Emosinya jadi tidak stabil. Ia sering berteriak-teriak sendiri, menggebrak meja secara tiba-tiba, merasa stres, marah, sakit sakit perut, dan mengalami penurunan fungsi tubuh. Pada (8/7/2017), MS melakukan endoskopi di Rumah Sakit PELNI. Dia didiagnosis mengalami hipersekresi cairan lambung akibat trauma dan stres.
Itu semua belum menghentikan kelakuan bejat pelaku. Dalam sebuah acara kantor pada 2017, pelaku melempar MS ke kolam renang ketika ia sedang tidur. Mereka lalu menertawai MS, seolah menyiksa MS adalah hiburan gratisan. Akhirnya, pada (11/8/2017), MS membuat pengaduan ke Komnas Ham melalui e-mail. Nyaris sebulan kemudian, MS mendapatkan balasan dari Komnas HAM yang menyimpulkan, MS telah mengalami kejahatan dan tindak pidana. Komnas HAM lalu menyarankan agar MS membuat laporan ke kepolisian.
Masih di 2017, MS tak kunjung sembuh meski sudah berobat ke dokter penyakit dalam. Berdasarkan saran keluarga, MS pun menemui psikiater di Rumah Sakit Sumber Waras, di mana ia diberikan obat penenang selama satu minggu.
Baca juga: Jika Kantor Abai dengan Kekerasan Seksual, Apa yang Bisa Dilakukan?
Sepanjang 2018, kelakuan pelaku masih menjadi-jadi. Mereka kerap merundung MS dengan kata-kata berbau kotor yang juga berbau porno dan melecehkan. Karena tak kuat, usai tugas kantor selesai, MS jadi sering menyendiri di musala kantornya sambil menangis. MS juga sering pulang ke rumah pada jam kerja untuk menghindari perundungan yang tak sanggup ditanggungnya. Tapi itu malah membuat pelaku membuat fitnah tentang dirinya yang abai tanggung jawab pekerjaan, meski kenyataannya MS selalu menyelesaikan tugas-tugasnya sampai tuntas.
Lantaran kondisi tak kunjung membaik dan malah memburuk, MS akhirnya membuat laporan ke Polsek Gambir. Namun, MS tak mendapatkan respons yang baik dan solutif.
“Lebih baik adukan dulu saja ke atasan. Biar internal kantor yang menyelesaikan,” ujar polisi yang menangani kasusnya, menurut penuturan MS.
Tak ada tindak lanjut jelas, akhirnya, MS mengadukan pelaku ke atasannya sambil menangis. Pengaduan itu berujung dengan dipindahkannya MS ke ruangan lain yang dianggap ditempati oleh “orang-orang yang lembut dan tidak kasar”.
Pada 2020, MS kembali ke Polsek Gambir, berharap laporannya sudah diproses dan para pelaku diperiksa. Tapi petugas di kantor polisi tidak menanggapinya dengan serius dan malah mengatakan, “Begini saja, pak. Mana nomor orang yang melecehkan Bapak? Biar saya telepon orangnya.”
MS pun menemui psikolog di Puskesmas Taman Sari, dan didiagnosis mengalami Post-traumatic stress disorder (PTSD).
Baru Panas Setelah Viral
Ini adalah kasus penganiayaan, perundungan, dan kekerasan seksual berulang yang sudah terjadi selama delapan tahun di dalam instansi milik pemerintah. Meski begitu, KPI baru memberi pernyataan dan menangani kasus tersebut sekarang, setelah kasus ini viral dibahas oleh ribuan warganet pada (1/9) dan (2/9).
Padahal, itu juga tak berarti KPI baru mengetahui kasus ini karena MS sudah pernah melaporkan penganiayaan yang dialaminya kepada atasannya di kantor. Tapi, setelah melapor, MS masih saja tak mendapatkan penanganan dan perhatian yang seharusnya. Ia hanya ke ruangan kerja lain, sementara para pelaku tak diberikan sanksi apapun. Sehingga, para pelaku masih berkeliaran dan terus menindas MS dengan cara-cara yang lebih buruk.
Head of Social Change dari Never Okay Project Fiana Dwiyanti menilai, hal itu adalah buah dari budaya maskulinitas toksik (toxic masculinity) yang tumbuh subur di berbagai instansi, yang diperburuk dengan absennya regulasi dan kebijakan spesifik mengenai kekerasan seksual di kantor.
“Maskulinitas toksik itu menuntut laki-laki tidak boleh cengeng, tidak mengadu kalau jadi korban bullying. Itu juga melahirkan anggapan kalau laki-laki tidak bisa jadi korban kekerasan seksual, ketika realitanya kekerasan seksual bisa menimpa siapa saja. Di sisi lain, maskulinitas toksik ini juga sulit dilihat, karena biasanya pelaku menyelimuti perilakunya dengan bercandaan, bilang kalau ini jokes circle mereka, dan sebagainya,” ujar Fiana kepada Magdalene pada (2/9).
Baca juga: Reynhard Sinaga dan Pemerkosaan terhadap Laki-laki
Never Okay Project sendiri adalah inisiatif dengan misi menciptakan dunia kerja yang bebas dari pelecehan seksual. Selama beberapa tahun terakhir, Never Okay Project telah merilis beberapa hasil riset mengenai pelecehan seksual di tempat kerja. Salah satu risetnya pada tahun 2020 menunjukkan bahwa kekerasan seksual marak terjadi di dunia kerja.
Sebanyak 62 persen pekerja menerima candaan/lelucon seksual, 34 persen dikirimi konten (foto, video, audio, teks, stiker) seksual tanpa persetujuan, 29 persen menerima komentar (hinaan atau kritik negatif) terhadap bentuk tubuh, dan 25 persen menerima rayuan seksual tanpa persetujuan. Lebih dari setengah kasus kekerasan seksual yang terjadi disebabkan oleh ketimpangan relasi kuasa, di mana pelaku adalah orang-orang yang memiliki kekuatan lebih tinggi ketimbang korban, sebagaimana MS yang dikeroyok dan dia tak memiliki kekuatan untuk melawan karena hanya sendirian.
Fiana juga menilai, kasus MS adalah bukti banyaknya instansi pemerintah maupun swasta yang masih patriarkal dan tak menganggap pekerjanya sebagai manusia. Misalnya, ketika MS dianiaya oleh para pelaku, banyak orang yang menyaksikannya langsung. Tapi, mengingat KPI baru menindaklanjuti kasus ini sekarang, hal itu membuktikan bahwa kebanyakan pegawai hanya menyaksikan tanpa membantu korban, alias menjadi bystander, ujar Fiana. Menurutnya, mereka mengamini sekaligus menormalisasi kekerasan terhadap laki-laki dengan berpikir bahwa tak aneh bila laki-laki menjadi korban.
“Ini harus jadi refleksi KPI mengenai budaya kerja di dalam instansinya,” tambah Fiana.
Kebijakan Penanganan Kekerasan Seksual di Kantor Penting, tapi Sulit Diterapkan
Perusahaan memiliki tanggung jawab untuk melindungi pekerjanya. Tanggung jawab itu dapat diimplementasikan dengan membuat dan menerapkan kebijakan penanganan kekerasan seksual yang tak pandang bulu sebagai hal paling fundamental yang bisa menegakkan hak asasi manusia. Sayangnya, ujar Fiana, cukup sulit mengimplementasikan hal itu di instansi pemerintahan.
“Never Okay Project sudah beberapa kali berupaya mendekati lembaga negara untuk mensosialisasikan pentingnya regulasi kekerasan seksual. Namun, seperti ada tembok tak kasat mata yang sulit kami tembus. Ini juga didukung oleh budaya patriarki di tempat itu. Biasanya, lembaga-lembaga yang menolak menindaklanjuti kekerasan seksual di kantor itu sangat patriarkal dan male centered.”
“Perusahaan harus memandang pekerja sebagai manusia, bukan angka, alat, atau support. Cara pandang itu sering terlewat sehingga akhirnya mereka melepaskan hak-hak kemanusiaan yang ada di dalam diri pekerja. Kalau perusahaan melihat pekerja sebagai manusia, mau itu laki-laki atau perempuan, instrumen hukumnya bisa melindungi semua gender dan jenis kelamin.”
Baca juga: Kontribusi Laki-laki Penting Agar Kampus Aman dari Kekerasan Seksual
Lagipula, ujar Fiana, regulasi penanganan kekerasan seksual itu selain bisa melindungi pekerja, juga berguna untuk melindungi nama baik perusahaan juga. Karena, bila kekerasan seksual tak terjadi, nama perusahaan tak tercoreng atau dikenal sebagai tempat kerja yang buruk.
“Kalau sudah terjadi seperti ini, perusahaan harus memperhatikan pemulihan korban. Apalagi, damage yang dialami korban sangat besar. Kadang kita terlampau fokus menuntut hukuman pada pelaku, tapi luput memperhatikan korban.”
Fiana menambahkan, “Dalam kasus kekerasan seksual, korban juga sering mengalami double victimization. Entah mereka dituntut dengan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) atas tuduhan pencemaran nama baik, dan masih banyak lagi. Kalau kita punya Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual, korban akan lebih bisa terlindungi.”
Jika kamu mengalami pelecehan atau kekerasan seksual, entah di rumah atau berbagai ruang publik, kamu bisa menghubungi lembaga-lembaga berikut untuk mencari bantuan:
- Komnas Perempuan (021-3903963/komnasperempuan.go.id),
- Lembaga Bantuan Hukum Apik (081388822669 -WA only/021 87797289/[email protected])
- Bantuan konseling di Yayasan Pulih (021-788-42-580/yayasanpulih.org)
- Bantuan untuk kasus kekerasan seksual online dari SAFEnet ([email protected]/www.safenet.or.id)
Comments