Psikolog klinis Gisella Tani Pratiwi dari Yayasan Pulih merasa prihatin dengan kasus kekerasan terhadap anak, yang menunjukkan peningkatan pada masa pandemi ini.
“Anak menjadi kelompok yang lebih rentan karena paling terbatas akses sosial, komunikasi dan pertolongan lainnya, sehingga sering kali mendapatkan kekerasan di rumah maupun berada dalam kondisi keluarga yang toksik,” ujarnya kepada Magdalene melalui telepon.
Di masa pandemi ini, ia sendiri sempat menangani seorang klien remaja perempuan yang mengalami kecemasan akibat menjadi korban tindak kekerasan ayahnya. Bulan lalu, dia dihubungi sang anak yang mengakses layanan melalui fasilitas Google hangout.
“Dia berada dalam situasi sulit dan serba salah untuk mengadukan kepada pihak berwenang karena posisinya sebagai seorang anak. Hal yang dapat saya lakukan adalah membantunya untuk memberikan penguatan secara psikologis dalam mengelola kecemasan serta konflik sehari-hari di rumahnya,” kata Gisella.
Pada 23 Juni, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) melalui siaran persnya mengumumkan, dalam rentang waktu Januari hingga 19 Juni telah muncul 3.087 kasus kekerasan terhadap anak, 852 di antaranya kekerasan fisik, 768 kekerasan psikis, dan 1.848 kekerasan seksual.
Lembaga lain yang mendokumentasikan statistik kekerasan terhadap anak selama pandemi ini adalah Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia Untuk Keadilan (LBH APIK) Jakarta. Sejak tanggal 16 Maret hingga Juni, lembaga ini menerima 26 pengaduan, yang terdiri dari kekerasan dalam rumah tangga/KDRT (3 kasus), kekerasan seksual (7), kekerasan dalam pacaran/KDP (5), perundungan (2), dan kekerasan berbasis gender online/KBGO (9).
Baca juga: Masuki ‘New Normal’, Siapa yang Temani Anak Belajar Virtual?
Semua korban yang mengadu kepada LBH APIK adalah anak perempuan dan mayoritas dari mereka berusia 18 tahun (11 orang). Di sisi lain, pelaku KDRT terbanyak adalah ayah korban dan mayoritas pelaku kekerasan seksual adalah tetangga serta keluarga. Teman sekolah menjadi pelaku perundungan terhadap anak dan mayoritas pelaku KBGO adalah orang yang dikenal korban. .
Terkait kenaikan kasus, pengacara publik LBH APIK Tuani Sondang Marpaung membandingkannya dengan data Catatan Tahunan (Catahu) lembaganya pada 2019.
“Pada rentang Maret sampai Juni tahun ini saja sudah ada 26 kasus kekerasan terhadap anak dari 317 pengaduan yang masuk. Sedangkan pada tahun 2019, berdasarkan Catahu, ada 46 kasus,” ujarnya.
Rifka Annisa Women’s Crisis Centre di Yogyakarta juga mengumpulkan data kekerasan terhadap anak yang terjadi pada bulan Januari hingga Mei 2020. Dari total 292 kasus kekerasan yang diadukan, terdapat 24 kasus kekerasan terhadap anak (22 perempuan dan 2 laki-laki).
Belum ada kenaikan drastis apabila membandingkan kasus kekerasan terhadap anak yang masuk pada Januari-Mei 2020 dengan rata-rata kasus yang masuk pada tahun-tahun sebelumnya (Januari-Desember).
“Pada tahun-tahun sebelumnya, rata-rata total kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan yang kami terima adalah 350. Sekitar 160 di antaranya adalah kasus kekerasan terhadap istri dan 190 lainnya adalah kekerasan seksual, kekerasan dalam keluarga, dan trafficking. Dari 190an kasus ini, 60-75 persen korbannya adalah anak perempuan,” kata konselor hukum Rifka Annisa Arnita Ernauli Marbun.
Orang tua harus mengenali kerentanannya dan mengetahui cara bersikap. Jika sedang stres dan cenderung ingin marah, kontrol kemarahan tanpa menyakiti anggota keluarga di rumah. Kalau perlu, konseling ke psikolog.
Orang tua perlu kontrol diri
Kekerasan pada masa pandemi dapat disebabkan oleh konflik yang terjadi sejak lama, tetapi bisa juga dipicu oleh situasi pandemi itu sendiri.
“Bentuk kekerasan yang dampaknya lebih besar adalah yang pola-polanya berulang. Pandemi semakin menambah faktor risiko (terjadinya kekerasan),” ujar Gisella.
“Ada juga yang terpicu karena pandemi. Misalnya, seseorang ayah baru menyadari bahwa apabila dia tidak memiliki pekerjaan, dia akan sangat stres dan melampiaskannya kepada anak,” tambahnya.
Beban ganda yang dialami perempuan juga bisa memicu kondisi kesehatan mental yang kurang stabil karena tidak adanya kesempatan untuk meregulasi diri. Hal itu juga dapat melatarbelakangi perilaku kekerasan terhadap anak, kata Gisella.
Ia mendorong kerja sama antar anggota keluarga agar emosi orang tua tidak meledak dan berdampak buruk pada anak.
“Perlu ada keterbukaan, komunikasi, dan kesetaraan dalam pembagian tugas dan peran dalam rumah tangga antara suami dan istri. Apabila, misalnya, keduanya bekerja dari rumah, mereka bisa mengatur waktu untuk kemudian berperan dalam tugas-tugas rumah tangga,” ujar Gisella.
“Orang tua juga harus mengenali kerentanannya dan mengetahui cara bersikap.
Orang tua perlu memahami dirinya sendiri. Apabila mereka berada dalam kondisi stres dan cenderung ingin marah, mereka harus mengontrol kemarahannya tanpa menyakiti anggota keluarga di rumah. Kalau perlu, bisa konseling ke psikolog,” ia menambahkan.
Pastikan anak dapat menjangkau bantuan
Isu lainnya yang tak kalah penting adalah bagaimana memastikan anak-anak yang tidak memiliki alat komunikasi agar tetap mendapatkan bantuan untuk keluar dari situasi kekerasan. Di Jakarta, Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan Dan Anak (P2TP2A) telah membentuk unit reaksi cepat (URC) untuk menangani masalah ini.
Baca juga: Jangan Takut Mencampuri, Bantu Korban KDRT
“Pada tahun lalu, karena banyaknya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, kami membentuk URC yang terdiri dari paralegal yang bekerja 24 jam,” kata advokat P2TP2A Andi Windo Wahidin.
Ia mengatakan, P2TP2A melibatkan aktivis perlindungan anak terpadu berbasis masyarakat (PATBM) dan lembaga masyarakat di kelurahan untuk berpartisipasi aktif mengajak masyarakat berperan dalam perlindungan anak.
“Kami mensosialisasikan bahwa jika masyarakat mendengar atau melihat tindak kekerasan anak, mereka bisa menelepon hotline 112. Dari situ, mereka akan disambungkan dengan URC P2TP2A, yang kemudian akan berkoordinasi dengan kepolisian maupun hotline rujukan polisi,” kata Andi.
Gisella juga menekankan pentingnya membangun kepedulian masyarakat, terutama kepada tetangga atau keluarga yang memiliki anak.
“Sebenarnya kita punya sensitivitas untuk mencium bahwa ada sesuatu yang tidak benar, sehingga jika ada hal yang mengancam keberadaan seorang anak, kita bisa langsung menolongnya. Kita juga bisa menjangkau si anak dengan cara menghubungi lembaga layanan atau lewat Ketua RT/RW,” ujarnya.
Artikel ini didukung oleh hibah Splice Lights On Fund dari Splice Media.
Jika memerlukan bantuan untuk kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, silakan hubungi Komnas Perempuan (021-3903963, [email protected]); Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan/LBH APIK (021-87797289, WA: 0813-8882-2669, [email protected]). Klik daftar lengkap lembaga penyedia layanan di sini.
Comments