“Saya memilih jurnalisme untuk bisa lebih dekat dengan orang-orang. Mungkin tak akan mudah untuk mengubah realitas, tapi setidaknya saya bisa membawa suara mereka ke dunia. Saya Shireen Abu Akleh,” suara lantang itu diunggah AJ+ untuk mengenang sang jurnalis veteran.
Dua hari lalu, 11 Mei 2022, ia ditembak mati militer Israel di Jenin, kawasan West Bank yang diduduki Israel. Jurnalis Palestina-Amerika itu padahal memakai rompi pelindung bertandakan “Pers”, serta alat perlindungan lainnya yang wajib dikenakan jurnalis perang.
“Kami semua pakai rompi pers,” kata Shata Hanaysha, jurnalis yang berdiri gemetar di sebelah jenazah Shireen saat ditembak. “Tembakan-tembakan itu bahkan tak berhenti setelah Shireen jatuh ke tanah,” tambahnya, sembari masih gemetaran dan menangis, pada AJ+.
Video amatir yang merekam Shata yang ketakutan di sebelah Shireen yang telah tumbang beredar di media. “Aku melihat ini semua sebagai pembunuhan yang disengaja,” ungkap Shata, sesenggukan.
Shireen sempat dilarikan ke sebuah rumah sakit di Jenin dalam kondisi kritis. lalu dinyatakan meninggal setelah itu sekitar pukul 7:15 setempat.
Baca juga: Masalah Besar di STEM: Representasi Perempuan dan Produk yang Bias
Perlindungan Jurnalis dalam Konflik Bersenjata
Status dan kedudukan jurnalis sudah diatur dalam annex dari Konvensi IV Den Haag 1907 tentang Penghormatan Hukum-hukum Perang serta Kebiasaan Perang di Darat. Dalam Pasal 13 diatur bahwa seorang jurnalis yang punya sertifikat atau tanda pengenal dilindungi dan tidak dianggap sebagai tawanan perang.
Selain itu, perlindungan terhadap jurnalis yang meliput di wilayah konflik juga diperkuat dengan Konvensi III Jenewa 1949 tentang Perlakuan terhadap Tawanan Perang, di mana jurnalis berubah menjadi koresponden perang.
Penegasan tentang perlindungan wartawan juga diatur dalam Protokol Tambahan I yang tertuang dalam sub bagian III Pasal 79 ayat (1), (2), (3). Pada ayat (1) menyebutkan bahwa status jurnalis sama dengan warga sipil yang dilindungi. Aturan-aturan ini dibikin agar jurnalis terlindungi saat bekerja, terutama untuk mendapat akses memberitakan kejadian sebenarnya langsung dari daerah konflik bersenjata. Sehingga, mereka yang menyerang jurnalis melanggar hak asasi manusia dan melanggar hukum internasional.
Kematian Shireen menambah jumlah jurnalis Palestina yang tewas dibunuh Militer Israel.
Meski dilindungi hukum humaniter, nyatanya jurnalis masih jadi pihak rentan kena target. Pada konflik di Irak dan Suriah yang didalangi oleh ISIS misalnya, tercatat 17 wartawan dibunuh dan 80 orang mereka culik.
Berdasarkan data Kementerian Informasi Palestina, ada 45 jurnalis Palestina yang meninggal dan jadi target pasukan Israel sejak 2000. Sedangkan catatan Serikat Jurnalis Palestina menyebut 55 jurnalis dibunuh sejak tahun yang sama, seperti dikutip dari Al Jazeera.
Baca juga: Misdiagnosis, Problem Laten yang Ancam Kesehatan Perempuan
Shireen dan Jenin
Shireen adalah jurnalis dua kewarganegaraan Palestina-Amerika yang jadi salah satu koresponden perang pertama di Al Jazeera. Ia lahir di Yerusalem, dari keluarga Kristen asli Palestina.
Shireen memulai karier jurnalistiknya saat bergabung dengan radio Voice of Palestine yang waktu itu baru terbentuk. Pada 1997, ia lantas bekerja untuk Al Jazeera dan mulai mengembangkan kariernya sebagai jurnalis perang.
Nama Shireen melambung saat liputannya tentang Intifada Palestina kedua atau pemberontakan warga Palestina, sejak tahun 2000 hingga 2005. “Ia salah satu perempuan Arab koresponden perang pertama di akhir 1990-an,” ungkap wartawan senior Al Jazeera Dima Khatib di Twitternya. Shireen dikenal sebagai jurnalis pelopor yang mematahkan stereotip gender dalam jurnalisme televisi.
Namanya juga besar di kalangan pemuda, terutama perempuan Palestina. Beberapa jam setelah kabar kematiannya menyebar, pemuda Palestina, terutama kaum perempuan menganggap Abu Akleh sebagai sosok inspiratif.
"Dia tidak pernah lelah. Dia selalu ada di sana setiap kali terjadi sesuatu. Dia ingin berada di sana, untuk menceritakan kejadian yang ada, terus-menerus," kata koresponden senior internasional Al Jazeera, Hoda Abdel-Hamid, kepada AFP.
Baca juga: Kerap Dinomorduakan, Karier Perempuan Minim Harapan
Buat kolumnis Hareetz Hanin Majadli, Shireen adalah suara dan legenda buat orang-orang Palestina generasi muda. “Aku ingat saat masih kecil, saat intifada kedua, aku berdiri di depan cermin memegang sisir atau remot dan meniru suara kalem tapi dalam di tiap ujung liputannya: Shireen Abu Akleh, Al Jazeera, Palestine,” tulisnya dalam obituari di Hareetz.
Dalam wawancara baru-baru ini, Shireen sempat bercerita tentang pengalamannya bertugas di zona perang. Ia bilang sering merasa takut, tapi tetap harus menjalankan tugas sekaligus menghindari risiko yang mungkin terjadi. “Saya tidak melemparkan diri kepada kematian. Saya selalu mencari tempat aman untuk berdiri dan memprioritaskan perlindungan kru, sebelum mengkhawatirkan rekaman liputan,” katanya, seperti dilansir AFP.
Buat Shireen, meliput perang Israel-Palestina adalah hal politis dan personal. Jenin, kota tempatnya menghembuskan nafas terakhir, bukan cuma zona perang tempat bertugas, tapi juga tempatnya tumbuh, belajar, dan mempertebal moral sebagai jurnalis perang. Ia menyebut Jenin sebagai rumah buat para pemuda tak kenal takut yang tak terintimidasi oleh invasi Israel, “A Time of Legends”.
“It is the city that can raise my morale and help me fly,” tulis Shireen dalam opininya buat This Week in Palestine, edisi Oktober tahun lalu. Siapa sangka, ia betul-betul terbang di tanah tempatnya bertugas.
Comments