Saya terkejut ketika seorang warganet di Twitter mengaku telah menyaksikan serial televisi How I Met Your Mother, dari awal musim hingga akhir, lebih dari tiga kali. Pasalnya, serial bergenre situation comedy ini memiliki 24 musim, dengan lebih dari 20 episode pada setiap musimnya.
Tampaknya, ia menjadikan How I Met Your Mother sebagai comfort show, yakni serial televisi yang menghibur dan membuat perasaan seseorang jadi lebih baik.
Menonton serial televisi yang dianggap comfort show pun lekat dengan kebiasaan binge-watching, yaitu menghabiskan dua sampai enam episode setiap menonton. Maka itu, enggak heran jika seseorang merasa adanya kelekatan dengan alur cerita maupun karakternya.
Dengan adanya kelekatan emosional, seseorang cenderung menyaksikannya lebih dari satu kali, karena ia memperlakukan comfort show sebagai teman dekat yang bisa memahami dirinya, atau sekadar pelarian kala sedih dan kesepian. Selain itu, slogan-slogan menarik yang digunakan dalam percakapan dan sifat para karakternya juga dianggap mewakili ekspresi diri.
Baca Juga: 5 Alasan ‘Hospital Playlist’ Layak Kamu Tonton
Kenapa Menonton Serial Televisi yang Sama Berulang Kali?
Seringkali, kita menghabiskan waktu lama dalam memilih sebuah tayangan untuk ditonton, mulai dari membaca sinopsis, menonton trailer, mencari tahu aktor yang terlibat, hingga melihat ulasannya. Tak dimungkiri, hal itu melelahkan. Ujung-ujungnya, pilihan jatuh pada serial televisi yang sama.
Belum lagi jika ternyata alur cerita serial baru ternyata mengecewakan, tidak sesuai ekspektasi dan selera kita, sehingga kemudian kita menyesal telah membuang-buang waktu.
Sebenarnya, salah satu hal yang disukai dari menonton serial televisi yang sama ialah perasaan yang kembali muncul seperti pertama kali menyaksikan. Kita tahu bagaimana ceritanya akan berakhir, peristiwa menyedihkan apa yang dilalui karakternya, berbagai momen heart-warming, ikut belajar menyelesaikan konflik, hingga menemukan detail baru dari serialnya yang disadari jika menonton ulang.
Jika dipertimbangkan, menonton acara yang sama secara berulang akan menghilangkan daya tarik. Namun, dalam sebuah artikel The Atlantic disebutkan, kebiasaan menonton berkali-kali justru membentuk afeksi karena merasa familier.
Situasi ini merupakan salah satu bentuk mere exposure effect. Pada 1960-an, psikolog sosial asal Amerika Serikat, Robert Zajonc menjelaskan tentang fenomena ini. Ia menyatakan, seseorang lebih memiliki preferensinya terhadap sesuatu yang lebih dia kenal.
Itu sebabnya serial televisi yang sudah ditonton sebelumnya cenderung lebih disukai. Kita tidak memerlukan banyak waktu dan energi untuk memikirkan alur cerita, atau merasa cemas terhadap adegan tidak terduga, sehingga pesan yang disampaikan di sana akan lebih mudah diproses.
Selain itu, ada nostalgia tersendiri yang seseorang rasakan sehingga dia cenderung menghargai setiap episode. Misalnya, serial itu mengingatkan dengan masa remaja, serial tersebut merupakan acara favorit bersama orang terdekat, atau sebenarnya kita menjalin parasocial relationship dengan para karakternya.
Kepada Today, Krystine Batcho, psikolog dan profesor di Le Moyne College, Amerika Serikat memaparkan, serial televisi bersifat terapeutik karena dapat membantu kembali terkoneksi dengan diri kita. Momen tersebut dibutuhkan tak hanya saat tenggelam dalam rutinitas, tetapi juga setelah mengalami trauma dan kehilangan. Hal itu akan mengingatkan bahwa kita adalah pribadi yang sama seperti saat pertama kali menonton serial tersebut. Atau, itu membantu kita menyadari seberapa jauh kita sudah melangkah.
Kemudian, menurut psikolog dan direktur Media Psychology Center Pamela Rutledge dalam NPR, menonton film atau serial televisi secara berulang membantu seseorang mengontrol emosi. Hal ini juga memberikan rasa aman dan nyaman, terutama di tengah situasi serba tidak pasti seperti pandemi.
Dalam menonton ulang serial kesukaan, kita dapat mengendalikan respons dari setiap peristiwa, dan menghindari episode bersifat traumatis. Contohnya, saya yang berhenti melanjutkan Grey’s Anatomy setelah kematian Derek Shepherd (Patrick Dempsey), dan tidak akan mengulang episode tersebut.
Baca Juga: ‘Revenge Bedtime Procrastination’, Menyenangkan tapi Buruk untuk Kesehatan
Keterkaitan Binge-Watching dan Kesehatan Mental
Meskipun sudah menonton berulang kali, kita tetap melakukan binge-watching dengan jumlah episode banyak sekaligus karena “menyambut” kenyamanan yang ditawarkan. Terlepas dari kenyamanan itu, kebiasaan binge-watching yang dianggap menyenangkan justru berdampak pada kesehatan mental. Pasalnya, seseorang dengan kebiasaan binge-watching memanfaatkan kebiasaannya sebagai alternatif cara melepaskan diri dari kondisi frustrasi yang sedang dialami.
Dalam penelitian “The Psychology of Marathon Television Viewing: Antecedents and Viewer Involvement” (2018) oleh akademisi Riva Tukachinsky dan Keren Eyal disebutkan, seseorang dengan gejala depresi akan mendistraksi dirinya dengan menonton serial televisi untuk menghindari emosi negatif.
Artinya, seseorang memilih binge-watching sebagai pelarian atas permasalahannya agar dirinya merasa baik-baik saja, dibandingkan berada kembali di situasi tidak nyaman untuk menghadapi masalahnya.
Depresi itu bukan hanya ditimbulkan dari masalah pribadi, melainkan juga ketika seseorang selesai menonton serial televisi yang dikategorikan sebagai comfort show. Kepada NBC News, psikolog klinis Dr. John Mayer, Ph.D menuturkan, kondisi ini disebut sebagai depresi situasional karena dipicu oleh peristiwa nyata yang dapat diidentifikasi. Dalam kondisi ini, stimulasi otak kita menurun seperti halnya dalam bentuk depresi lainnya.
Baca Juga: ‘Euphoria’ Serial Televisi Gen Z Paling Realistis?
Selain depresi, binge-watching turut diasosiasikan dengan kecemasan. Umumnya, seseorang yang cemas berusaha rileks dengan menonton serial televisi dalam intensitas tinggi lantaran merasa adanya kedekatan dengan para karakternya. Sebetulnya, hal ini akan membangun hubungan dan interaksi sosial secara virtual. Namun, menurut Mark Hamer dkk. dalam “Television-and screen-based activity and mental well-being in adults” (2010), ada dampak buruk yang justru dihasilkan.
Seseorang yang terlalu banyak menghabiskan waktunya menonton serial televisi justru terisolasi secara sosial dan membatasi perkembangan diri dalam berinteraksi. Ia merasa nyaman tinggal di dalam dunianya dan mengabaikan keberadaan sekitar.
Sebenarnya, binge-watching adalah bentuk seseorang berusaha menyelesaikan sesuatu. Kita merasa telah berinvestasi waktu dan emosi terhadap sebuah serial televisi, sehingga merasa bertanggung jawab untuk mengakhirinya.
Oleh karena itu, sebaiknya kita lebih mengatur jumlah episode yang ditonton dalam satu waktu. Misalnya tidak lebih dari tiga, mengingat aktivitas yang perlu dilakukan esok hari. Atau, memilih episode yang dianggap relevan dengan mood saat itu. Dengan demikian, kita memperoleh kesenangan setelah kembali “berinteraksi” dengan serial televisi favorit tanpa mengganggu kondisi kesehatan mental.
Comments