Twitter minggu lalu dipenuhi oleh perbincangan seputar glorifikasi overwork. Pemicunya adalah cuitan figur publik soal perasaannya yang biasa-biasa saja kendati harus bekerja 12 hingga 16 jam sehari. Ia bahkan mempertanyakan bagaimana seseorang bisa sukses jika hanya bekerja delapan hingga sembilan jam saja? Istilah work life balance pun sudah tidak lagi berlaku padanya, karena toh ia masih bisa istirahat cukup dan menjalankan peran sebagai ibu tiga anak dengan baik.
Twit ini sendiri akhirnya ramai dibahas oleh publik. Sebagian berpendapat, figur publik tersebut punya banyak privilese. Ia bukan pekerja kelas bawah dengan gaji mepet Upah Minimum Rata-rata (UMR). Bahkan, ia punya asisten rumah tangga yang bisa membantu mengurus perkara domestik. Suaminya pun cukup suportif, mendukung istri berkarier, serta saling berbagi peran.
Kondisi tersebut kontras dengan sebagian pengalaman publik bahwa mereka terpaksa harus bekerja overtime karena tuntutan perusahaan. Mereka tidak bisa melawan atau berusaha keluar dari pekerjaan meski kerja-kerja itu membebani diri mereka secara fisik dan mental. Sebab, ada keluarga yang perlu diberi makan.
Dalam riset yang dipublikasikan di Journal Environment International (2021) disebutkan bahwa overwork memang berdampak buruk pada kesehatan seseorang. Orang yang bekerja 55 jam atau lebih tiap minggunya diprediksi memiliki risiko stroke 35 persen lebih tinggi dan risiko serangan jantung 17 persen lebih tinggi. Mengutip data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), antara 2000 hingga 2016, jumlah kematian dipicu oleh serangan jantung akibat jam kerja meningkat sebanyak 42 persen, sedangkan stroke sebanyak 19 persen.
Baca Juga: 'Work-Life Balance' for Women - Is It Even Possible?
Asal Mula Budaya Overwork dan Wajahnya Di Berbagai Negara
Pertanyaannya, dari mana sebenarnya budaya overwork ini lahir dan mengapa langgeng hingga sekarang? Dilansir The Guardian, budaya overwork bisa dilacak keberadaannya dari etos kerja Protestan pada abad ke-16. Saat itu, ada pandangan yang yang dielu-elukan oleh kaum Protestan kulit putih di Eropa, yakni kerja keras, mencari profit sebesar-besarnya, dan penyangkalan diri untuk terus bekerja agar tidak terjebak dalam “kutukan abadi pemalas”.
Joan C. Williams, akademisi hukum cum feminis Amerika dalam bukunya Unbending Gender: Why Family and Work Conflict and What To Do About It (2001), mengelaborasi budaya overwork. Ia mengatakan, terdapat hubungan erat antara persepsi produktivitas pekerja dan jam kerja yang berasal dari gagasan budaya yang tertanam kuat tentang "pekerja ideal.” Pekerja ideal dalam hal ini didefinisikan sebagai mereka yang dapat dan bersedia untuk melayani kebutuhan perusahaan tanpa terganggu oleh tuntutan di luar pekerjaan. Norma kerja berlebihan dibangun di atas konsepsi ini: untuk menjadi pekerja yang baik, orang-orang harus siap untuk mencurahkan waktu mereka sepenuhnya untuk pekerjaan yang dibayar.
Budaya overwork pun akhirnya menjadi masalah sosial yang terjadi di berbagai negara di dunia. Di Jepang misalnya, ada istilah karōshi (過労死) yang secara harfiah diartikan sebagai kematian diakibatkan overwork. Karōshi secara hukum diakui oleh Departemen Kesehatan Jepang pada 1987 sebagai masalah sosial yang parah. Dilansir Wired UK, pemerintah Jepang menerima sekitar 200 klaim cedera di tempat kerja yang diakibatkan oleh karōshi setiap tahun. Namun, beberapa aktivis mengatakan, angka ini masih belum mencerminkan kenyataan sebenarnya. Mereka memperkirakan hingga 10.000 kematian terjadi setiap tahun akibat karōshi . Pengadilan bahkan menambahkan, jumlah resmi ini sebenarnya belum pasti karena tidak mempertimbangkan jumlah pekerja tidak tetap di Jepang, yang meningkat pesat sejak 1990.
Korea Selatan juga memiliki situasi yang sama dengan Jepang. Jika di Jepang dikenal dengan karōshi, maka di Korea Selatan dikenal dengan nama Gwarosa. Dikutip dari The Week, Korea Selatan nyatanya memiliki jam kerja yang lebih panjang daripada Jepang dan angka resmi mengungkapkan ratusan pekerja meninggal karena terlalu banyak bekerja pada 2017. Berbeda dari Jepang, hukum Korea Selatan tidak secara resmi mengakui kematian karena overwork, sehingga banyak pekerja dan aktivis yang mendesak pemerintah Korea Selatan untuk mengeluarkan undang-undang yang mengurangi jam kerja maksimum dari 68 jam per minggu menjadi 40 jam, dengan 12 jam lembur dibayar.
Baca Juga: Work-life Balance: What Really Makes Us Happy Might Surprise You
Tidak hanya di Asia, budaya overwork juga terjadi di belahan dunia lain. Dalam laporan singkat Most Overworked Countries 2021 yang dirilis World Population Review diperlihatkan, Meksiko dan Kosta Rika menduduki peringkat atas sebagai negara dengan rata-rata jam kerja tahunan paling tinggi. Sekitar 28,7 persen karyawan di Meksiko bekerja lebih dari 50 jam per minggu dengan rata-rata upah tahunan hanya sebesar US$16.298. Sementara di Kosta Rika, rata-rata kerja tahunannya adalah 2.121 jam per tahun dengan rata-rata minggu kerja purnawaktu sedikit lebih lama dari Meksiko sebesar 48.6 jam.
Budaya Overwork yang Berdampak bagi Ibu Pekerja
Yang kita ketahui selama ini mengenai budaya overwork masih terbatas pada dampaknya yang bersifat netral gender dengan pesan yang disampaikan. Bahwa budaya ini berpengaruh sama besarnya baik bagi laki-laki maupun perempuan. Namun, beberapa penelitian telah mengungkapkan bagaimana budaya overwork pada kenyataannya menciptakan dimensi ketidakadilan gender baru karena lebih berpengaruh besar bagi perempuan dibandingkan laki-laki, utamanya bagi para ibu pekerja.
Dalam disertasi Gender Inequality in Overworking America (2010) yang ditulis Dr. Youngjoo Cha dari Universitas Indiana disebutkan, definisi pekerja dalam masyarakat kapitalis sangat berdimensi gender. Pasalnya, itu mengungkap gagasan mendasar bahwa mereka adalah laki-laki yang hidupnya berpusat pada pekerjaan purnawaktu dengan jam kerja lama dan mereka adalah pencari nafkah utama keluarga.
Hal yang kemudian jadi bermasalah adalah bagaimana pekerja sebenarnya mengalami konflik pekerjaan dan keluarga (work-life conflict), karena proporsi rumah tangga berpenghasilan ganda telah meningkat secara drastis beberapa dekade terakhir ini. Work-life conflict membedakan kemampuan laki-laki dan perempuan untuk bekerja dengan jam kerja yang panjang dan membuat perempuan lebih rentan mengalami ketidakadilan gender. Keyakinan peran gender tradisional nyatanya masih mengakar di masyarakat melanggengkan beberapa perilaku baku yang harus diampu laki-laki dan perempuan, dengan perempuan yang masih diharapkan untuk melakukan lebih banyak pekerjaan rumah dan menjadi pengasuh utama di sebagian besar keluarga.
Baca Juga: Selamat Tinggal Jepang, Tanah Para Pejuang Korporat: Kisah Seorang Ibu Pekerja
Perempuan pada akhirnya lebih rentan mengalami burnout akibat pekerjaannya dibandingkan laki-laki. Sebuah studi yang dilakukan Meredith Corporation pada 2019 menyatakan, 45 persen perempuan di Amerika Serikat merasa work-life balance tidak berlaku untuk mereka karena di satu sisi mereka dituntut profesional dalam pekerjaannya tapi mereka juga harus mengemban peran gender tradisional yang muncul dari work-life conflict.
Lebih sejumlah peneliti dari Universitas Manchester dalam Gendered Pathways to Burnout: Results from the SALVEO Study (2018) mengungkapkan bahwa budaya overwork membuat perempuan mengalami tingkat frustasi dan stress yang lebih tinggi. Dikombinasikan dengan akses terbatas dalam pengambilan keputusan atau peluang kontrol yang lebih besar dibandingkan laki-laki, perempuan secara khusus dirugikan akibat work-life conflict yang lebih tinggi dengan sedikit waktu untuk terlibat dalam kemajuan karir mereka.
Dalam penelitiannya yang lain Overwork and the Persistence of Gender Segregation in Occupations (2013) yang mengacu pada data Survei Pendapatan dan Partisipasi Program (SIPP) dan survei rumah tangga nasional yang dilakukan oleh Biro Sensus AS/Biro Riset Ekonomi Nasional, Cha lebih lanjut memaparkan akibat langsung dari work-life conflict pada karier perempuan. Ia menemukan bahwa 6,8 persen ibu yang disurvei yang bekerja 50 jam seminggu atau lebih di bidang yang didominasi laki-laki akhirnya keluar dari pekerjaan mereka dalam waktu empat bulan. Sementara, persentase laki-laki yang meninggalkan kariernya hanya sedikit di atas 2 persen.
Work-life conflict ini pada membuat perempuan memutuskan untuk merelakan karirnya dan memilih “jalur ibu”. “Jalur ibu” ini mengacu pada “pekerjaan perempuan” yang terdiri dari pekerjaan paruh waktu, pekerjaan sektor informal, atau pekerjaan yang membutuhkan lebih sedikit mobilisasi. Keputusan ini pun berkontribusi langsung pada kesenjangan upah gender dengan tingkat partisipasi kerja perempuan yang juga menurun, karena perempuan mau tidak mau harus berpindah ke “pekerjaan perempuan” dengan upah yang lebih rendah atau dalam sektor informal di mana nilai ekonomi dari kerja mereka tidak terlihat oleh negara.
Comments