Women Lead Pendidikan Seks
July 25, 2017

Khitan Perempuan di Indonesia: Praktik Supresif yang Dilematis

Isu khitan perempuan di Indonesia kurang mendapatkan perhatian dari masyarakat padahal tidak sedikit penelitian yang dilakukan mengenai khitan perempuan di Indonesia.

by Mutia Fauzia
Issues // Politics and Society
Share:
Sebuah cuitan dari AJ+ di Twitter yang disertai dengan tautan video beberapa bulan lalu membuat saya tertegun: ‘This little girl in Indonesia is undergoing female genital cutting. She’s 18 months old.”

Tautan video berdurasi 1 menit 48 detik itu menggambarkan bagaimana khitan perempuan atau biasa disebut dengan FGM (Female Genital Mutilation) dipraktikkan pada seorang anak perempuan bernama Salsa, yang masih berusia 18 bulan. Pada video tersebut juga dijelaskan bahwa praktik khitan perempuan ini adalah prasyarat wajib bagi seorang perempuan untuk masuk Islam di sebuah wilayah di Gorontalo. Selain itu, praktik khitan juga dipercaya dapat menahan hasrat seksual sang anak kelak, serta menghapuskan dosa-dosanya.

Usai melihat video tersebut, saya kemudian tergerak untuk mencari lebih jauh mengenai praktik khitan perempuan ini. Saya memang pernah mendengar gaung dari isu khitan perempuan ini, namun tidak pernah benar-benar memberikan perhatian khusus. Mungkin hal ini dikarenakan saya tumbuh dan besar di lingkungan yang hampir tidak pernah menyinggung isu dan permasalahan terkait dengan seksualitas. Saya pun memutuskan untuk mengulik mengenai isu ini dengan menonton beberapa video Youtube terkait dengan perdebatan ulama Islam mengenai hukum dari khitan perempuan, membaca artikel mengenai khitan perempuan di berbagai negara, serta mencari jurnal-jurnal terkait dengan praktik khitan perempuan di Indonesia.

Nyatanya, praktik khitan perempuan yang dilakukan oleh tenaga medis sempat dilegalkan oleh Kementerian Kesehatan pada 2010. Walaupun di tahun 2006 sempat muncul usaha dari berbagai pihak untuk memunculkan larangan terhadap praktik khitan perempuan, namun nyatanya anggapan yang tertanam kuat di masyarakat bahwa praktik khitan merupakan hukum agama membuat usaha ini menjadi terhalang.

Praktik khitan perempuan ini akan sangat mudah kita temui di wilayah-wilayah dengan mayoritas Muslim seperti Padang, Banten, Madura, Banjar, Makassar dan Lombok. Beberapa wilayah di Jawa Barat pun turut menganjurkan praktik khitan bagi perempuan. Tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Gorontalo dan daerah lain, khitan perempuan di Jawa Barat dianggap sebagai salah satu proses bagi seorang perempuan untuk mengukuhkan identitasnya sebagai seorang Muslim, menurut tulisan Lynda Newland dari University of the South Pacific di Fiji




Tentu saja praktik khitan perempuan berbeda dengan khitan yang dilakukan pada laki-laki. Khitan perempuan cenderung memiliki dampak tidak menguntungkan, baik secara fisik maupun psikologis, menurut Robert Darby dan J. Steven Svoboda, Praktik khitan ini secara medis justru memberikan dampak negatif bagi kesehatan di masa yang akan datang, seperti kemandulan, infeksi pada saluran kencing, atau bahkan kemungkinan untuk mengalami kesulitan kala melahirkan. Sementara itu, proses khitan pada laki-laki, di samping memang dianjurkan oleh agama Islam juga memiliki efek yang baik untuk kesehatan.

Di sisi lain, praktik khitan perempuan di Indonesia umumnya dilakukan pada anak-anak usia dini yang belum memiliki kesadaran untuk dapat memilih. Bisa jadi, hal ini dilakukan bukan tanpa sebab. Berdasarkan laporan riset pada Population Council Indonesia Study on Female Circumsicion, mayoritas dari responden yang telah dikhitan tidak lagi ingat rasa sakit yang mereka rasakan ketika melakukan proses pengkhitanan, maka secara tidak langsung hal ini turut menggoyahkan argumen mengenai dampak psikologis dari praktik khitan perempuan. Berdasarkan pengelompokan yang dilakukan oleh WHO, khitan perempuan di Indonesia masuk dalam kategori IV, yaitu menusuk atau menggores klitoris, peregangan klitoris dan, katerisasi dengan membakar klitoris dan jaringan di sekitarnya.

Terminologi mutilation pada Female Genital Mutilation sebagai istilah yang kerap digunakan pada berbagai literatur mengenai khitan perempuan bukanlah tanpa maksud. Terdapat unsur psikologis yang mengindikasikan bahwa praktik pemotongan alat kelamin perempuan baik dilakukan oleh tenaga medis (bidan di Indonesia), ataupun dukun bayi merupakan sebuah praktik kejahatan. Perempuan, dalam hal ini anak-anak bahkan bayi, dihadapkan pada kondisi yang menyakitkan dan sangat tidak menguntungkan. Praktik ini bisa dikatakan sebagai sebuah bentuk penindasan yang menempatkan manusia pada posisi yang sangat tidak humanis.

Nampaknya, gaung mengenai permasalahan khitan perempuan di Indonesia kurang mendapatkan perhatian dari masyarakat. Padahal tidak sedikit penelitian yang dilakukan mengenai khitan perempuan di Indonesia, baik secara medis, antropologis, atau bahkan penelitian-penelitian yang bersifat multidisipliner.  Mungkin, memang memerlukan waktu yang panjang untuk membuat praktik FGM benar-benar hilang di Indonesia.

Peraturan Kementerian Kesehatan yang melegalkan praktik khitan perempuan ini yang telah dicabut pada 2014 lalu bisa jadi merupakan salah satu bentuk resistensi dari pemerintah untuk menengahi perdebatan mengenai khitan perempuan. Melarang begitu saja FGM tentu hal yang mustahil, karena kuatnya anggapan bahwa khitan perempuan adalah syariah Islam ketika banyak pula yang memperdebatkan hal tersebut. Permasalahan mengenai regulasi mungkin tidak semudah mengubah nasi menjadi bubur. Berbagai penyesuaian perlu dilakukan agar regulasi mengenai khitan perempuan ini tidak mencederai nilai-nilai masyarakat. Namun, sampai kapan Indonesia harus berdamai dengan keadaan seperti ini?

Mutia Fauzia adalah mahasiswi Sosiologi yang gemar menulis, membaca, menonton film dan tidur.