Banyak orang menilai aplikasi kencan (dating app) tengah membunuh budaya kencan dan pacaran.
Beberapa jurnalis bahkan telah berargumen, Tinder, Grindr, dan aplikasi kencan lainnya tak hanya “melahirkan era baru dalam sejarah dunia kencan” tapi juga menggiring masyarakat ke suatu “neraka hubungan asmara.” Mereka menganggap aktivitas kencan telah menjadi kompetisi kosong dalam berebut pasangan, ketimbang sebagai pencarian kekasih yang menyenangkan.
Namun, kita tidak bisa serta merta menyalahkan cara orang menggunakan aplikasi kencan. Teknologi selama ini selalu punya peran dalam ritual pencarian pasangan – seperti iklan jodoh di koran atau munculnya mobil dan film yang membentuk budaya pergi kencan ke bioskop.
Sejak terciptanya telepon hingga media sosial, budaya kencan telah dan akan selalu berdampingan dengan laju teknologi.
Tentu saja, berbagai aplikasi tersebut menambahkan inovasi dan pengalaman baru dalam berkencan. Ini telah mendorong adanya pergeseran masif terkait cara orang bertemu dengan pasangan potensial untuk pertama kalinya. Tapi, dampak dari teknologi juga tergantung dengan budaya lokal.
Jika kita terlalu fokus pada aplikasi kencan sebagai faktor utama yang memunculkan budaya baru ini dalam berkencan, maka kita mengabaikan perbedaan tradisi hubungan asmara di antara komunitas yang berbeda-beda. Misalnya, apa sebenarnya yang bisa disebut suatu ‘kencan’?
Pandangan ini mengabaikan peran manusia dalam membentuk pola maupun tujuan penggunaan aplikasi kencan. Hal tersebut justru lebih penting untuk kita pahami.
Baca juga: ‘Dating Burnout’: Saat Aplikasi Kencan Melelahkan, Apa yang Harus Dilakukan?
Konteks adalah Kunci
Antropolog asal Inggris, Daniel Miller dan para koleganya membedah poin ini dalam studi mereka pada tahun 2016 yang melihat penggunaan media sosial di sembilan lokasi berbeda di seluruh dunia. Tidak mengagetkan, mereka menemukan perbedaan konteks budaya yang menyebabkan penggunaan media sosial yang sangat berbeda-beda.
Berbagai aplikasi tersebut tidak mengubah perilaku penggunanya. Justru para pemakainya yang mengubah dan mencocokkan cara kerja platform tersebut sesuai kebutuhan mereka.
Sesuatu yang terlihat membosankan dan biasa saja dalam satu konteks, bisa saja menjadi sangat aneh jika terjadi di tempat lain. Misalnya, etnografer Elisabetta Costa berbicara pada sejumlah perempuan di Turki bagian tenggara untuk memahami bagaimana mereka menggunakan Facebook. Partisipan dalam studinya cukup kaget saat mengetahui orang-orang di beberapa negara biasanya hanya punya satu akun Facebook dan memuat data pribadi asli mereka.
“Apakah mereka tidak pakai nama samaran atau profil palsu?” tanya salah satu responden. “Ini sulit dipercaya. Kenapa bisa begitu?”.
Saya juga mendapat temuan serupa sebagai bagian dari riset saya di Berlin, Jerman, yang melihat konteks budaya lokal dari penggunaan aplikasi kencan.
Misalnya, salah satu responden saya asal Lituania menyebutkan, suatu janjian kencan dari Tinder di Berlin punya konotasi budaya yang berbeda dari negara asalnya. Di Berlin, suatu kencan bisa saja berupa minum bir secara kasual. Sementara, di Lituania, suatu kencan tidak akan ‘sah’ apabila tidak diakhiri makan malam di restoran.
Baca juga: Banyak Lelaki di Aplikasi Kencan Anti-Feminis? Ini Pengalaman Saya
Kita sebaiknya memandang aplikasi kencan dengan pemahaman, justru penggunanya, beserta kondisi budaya mereka, yang membentuk dampak dari suatu teknologi. Kamu bisa saja memperkenalkan suatu teknologi yang sama pada 100 komunitas berbeda, lalu melihat 100 cara penggunaan yang berbeda pula. Sehingga, aplikasi kencan adalah suatu alat yang sangat terkait erat dengan budaya pada suatu lokasi tertentu.
Selain itu, aplikasi kencan bukanlah fenomena yang terisolasi. Para aplikasi tersebut telah berkembang di dalam suatu budaya masyarakat yang awalnya memang sudah mengandung interaksi sehari-hari yang intens antara para warga secara daring.
Anggapan pertemuan virtual adalah cara interaksi yang jauh berbeda, dan terpisah dari “kehidupan nyata”, merupakan cara berpikir yang salah. Berbagai interaksi ini kini merupakan suatu bagian dari kehidupan sehari-hari.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Daniel Miller, kita tidak akan bilang suatu panggilan telepon bukanlah bagian dari “kehidupan nyata”, kan? Berbicara dengan orang melalui email, pesan instan, media sosial, maupun aplikasi kencan semua hanyalah aspek-aspek yang berbeda dalam cara kita berkomunikasi.
Kita bisa menyimpulkan, bukan teknologi yang semakin memisahkan manusia. Ada banyak bukti yang menentang anggapan media sosial dan aplikasi kencan berperan merusak hubungan antarmanusia. Sebaliknya, kita perlu berpikir tentang bagaimana orang menggunakan teknologi untuk mengatur ulang hubungan sosial, berdasarkan budaya kita yang berbeda-beda. Mediumnya bisa berubah, tapi produk akhirnya tidak jauh berbeda.
Suatu pasangan di Berlin bisa saja bertemu via aplikasi kencan ketimbang melalui hubungan pertemanan atau relasi kerja. Namun, terlepas dari pasangan ini mengejar pertemanan, seks, ataupun asmara, kemungkinan besar mereka akan tetap memulai kencan pertama mereka dengan minum di suatu bar, karena inilah yang telah dilakukan orang Berlin selama 30 tahun belakangan.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.
Comments