Kampanye aksi golongan putih atau golput, yaitu orang yang tidak menggunakan hak pilihnya pada saat pemilihan umum, semakin sering terdengar di media sosial, menyusul kekecewaan pada kedua kandidat presiden dan wakil presiden yang dianggap pilihan yang sama buruknya.
Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) mengkritik gerakan golput tersebut yang dianggap akan mengganggu usaha yang sudah dilakukan gerakan perempuan. Dalam siaran pers yang dikeluarkan Jumat (25/1), lembaga yang bergerak dalam pengorganisasian kelompok perempuan untuk menciptakan keadilan sosial dan kesetaraan gender tersebut mengatakan, golput memiliki konsekuensi buruk bagi upaya peningkatan partisipasi perempuan dalam politik.
Kritik KPI ditujukan pada siaran pers berjudul “Golput Itu Hak, Bukan Tindak Pidana” yang diluncurkan Rabu (23/1) oleh gabungan beberapa organisasi masyarakat sipil yang bergerak dalam isu hak asasi manusia, sebagai tanggapan dari sebagian pihak bahwa gerakan golput dapat dipidanakan.
Menurut KPI, pernyataan bahwa golput itu hak dan bukan pidana tersebut terlalu menyederhanakan permasalahan dan tidak melihat konsekuensi pada gerakan politik perempuan. Golput, menurut KPI, kontraproduktif terhadap upaya lembaga ini selama 20 tahun terakhir serta upaya organisasi lain dalam memberdayakan perempuan di dunia politik. KPI telah menyumbangkan kader perempuan yang memegang posisi dalam lembaga penyelenggara pemilu, peserta pemilu, maupun tim pemantau pemilu.
Dalam lembaga penyelenggara pemilu, KPI memiliki kader yang saat ini menjadi komisioner, di Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Dari peserta pemilu, KPI juga memiliki 210 kader perempuan yang menjadi calon anggota legislatif nasional dan daerah dari berbagai partai peserta Pemilu 2019. Dan terakhir, KPI juga memiliki tim pemantau pemilu dari 1.250 kader perempuan yang tersebar di berbagai organisasi.
KPI mengkritik pernyataan soal golput sebagai simplifikasi semata-mata sebagai urusan pidana, padahal dampaknya jauh pada proses demokratisasi dan legitimasi politik pemimpin terpilih, serta legitimasi lembaga penyelenggara pemilu.
“Siaran pers tersebut salah memaknai Pemilu 2019, yang dalam pernyataannya menyebutkan sebagai Pemilihan Presiden 2019. Padahal Pemilu 2019, bukan sekadar Pemilihan Presiden, melainkan Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Kesalahan ini dapat membuat masyarakat membacanya sebagai Golput di semua pemilihan,” tulis KPI dalam siaran persnya.
Hal senada juga diutarakan oleh Titi Anggraini dari Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), organisasi yang bergerak dalam penelitian dan advokasi terkait isu pemilu. Ia menuturkan dalam surat suara pada Pemilu 2019, ada calon-calon anggota legislatif (caleg) yang perlu dilihat rekam jejaknya, agar calon dengan rekam jejak buruk tidak terpilih.
“Periksa profil dan rekam jejak caleg melalui portal resmi KPU RI, infopemilu.kpu.go.id. Kita juga bisa melihat rekam jejak caleg dari media sosial mereka, mestinya tidak sulit untuk mencermati para caleg yang ada,” ujar Titi, Direktur Eksekutif Perludem, dalam sesi interaktif Twitter #MadgeTalk pada Kamis malam (24//1).
Selain itu, Titi juga memberi saran untuk semua pihak dengan beragam pilihan politik mereka, agar tetap datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS). Jika tidak, hal ini akan membawa risiko baru, yaitu surat suara yang tidak digunakan bisa saja dijadikan alat untuk melakukan kecurangan, ujarnya.
Golput dan sanksi hukum
Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta), Al Ghiffari Aqsa mengatakan, golput merupakan bentuk protes masyarakat sipil terhadap sistem politik yang tengah berlangsung.
“Sistem politik yang disediakan saat ini tidak bekerja dengan baik. Contohnya seperti, sistem presidential threeshold sangat tinggi mencapai 20 persen dan membuat masyarakat tidak bisa mengajukan calon independen. Dan sistem recall yang hanya bisa dilakukan oleh partai,” ujar Ghifari pada konferensi pers “Golput Itu Hak Bukan Tindak Pidana” di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Rabu (23/1).
Ghifari menambahkan, golput merupakan salah satu bentuk dari ekspresi politik yang tidak dapat dikriminalisasi. Alasan untuk golput pun juga sangat beragam dan tidak dapat digeneralisasikan bahwa semua yang golput apatis terhadap kondisi politik di Indonesia, ujarnya.
“Ada yang memang apolitis dikarenakan lelah dengan situasi politik yang terjadi, ada pula yang alasannya sangat politis, karena calon-calonnya tidak ada yang baik. Namun, perlu disadari bahwa alasan tersebut berangkat dari alasan politis bagi setiap warga negara, dan dilindungi oleh Undang-Undang yang berlaku,” ujar Ghifari,
Kedua belah pihak, KPI dan kelompok Ghifari, sama-sama menyoroti minimnya edukasi mengenai sanksi pidana golput dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Sustira Dirgha, peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengatakan, para pihak yang merujuk pada Pasal 515 dari UU Pemilu untuk mengkriminalisasi golput adalah keliru.
“Dalam pasal tersebut sudah diatur dengan jelas, yang dapat dipidana hanya orang-orang yang menggerakkan orang lain untuk golput dengan cara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya. Kalau hanya sekadar menggerakkan orang untuk golput tanpa ada unsur-unsur tersebut, atau mendeklarasikan diri untuk golput, itu tidak dapat dipidana," ujar Dirgha dalam konferensi pers di YLBHI.
Titi dari Perludem mengatakan bahwa golput memang tidak bisa dipidana karena hal itu merupakan hak dari tiap individu.
“Memilih dalam pemilu itu merupakan hak, bukan kewajiban alias voluntary. Jadi sepanjang tidak ada paksaan, tekanan, dan iming-iming politik uang, maka orang yang golput tidak bisa diproses hukum,” ujarnya dalam sesi #MadgeTalk.
Di lain pihak, KPI beranggapan kampanye golput dapat dipidanakan karena hal ini memiliki risiko hukum yang serius. Menurut KPI, ada tiga pasal lain dalam UU Nomor 7 Tahun 2017, yang dapat memberikan sanksi pidana terhadap individu yang mengampanyekan golput.
Pertama, Pasal 419 yang mengatur tentang tindakan mengacaukan, menghalangi, atau mengganggu jalannya kampanye Pemilu. Kedua, Pasal 517 yang berisi tentang tindakan yang sengaja dilakukan untuk menggagalkan pemilu. Terakhir, Pasal 531 dengan sengaja menggunakan kekerasan dan atau menghalangi seseorang untuk memilih, melakukan kegiatan yang menimbulkan gangguan ketertiban pelaksanaan pemilu, atau menggagalkan pemungutan suara.
Baca juga soal konflik agraria yang menghambat kesejahteraan transmigran di Sulawesi Tenggara
*Ilustrasi oleh Sarah Arifin
Comments