Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) melaporkan penurunan jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan sebanyak 31 persen dalam Catatan Tahunan (CATAHU) 2021
Komisioner Komnas Perempuan Alimatul Qibtiyah mengatakan, penurunan tersebut terjadi terutama karena pandemi membatasi sistem pelaporan dan penyediaan layanan yang ada, selain isu dalam sistem pendataan baru.
CATAHU 2021 menunjukkan 299.911 kasus, turun dari 431.471 kasus pada 2019. Penurunan ini, menurut Alimatul, adalah juga karena Komnas Perempuan tidak menerima respons dari lembaga layanan pengaduan setelah mengirimkan kuesioner melalui google form. Komnas Perempuan menyatakan dari 757 formulir yang dikirimkan hanya 120 yang dikembalikan, atau tingkat respons hanya mencapai 16 persen.
Sebelum pandemi, Komnas Perempuan mengirimkan kuesioner dengan format teks melalui faksimil, pos, dan email. Upaya pendataan melalui google form atau secara virtual ini merupakan teknik baru Komnas Perempuan untuk menyesuaikan dengan kondisi pandemi COVID-19.
“Awalnya, kami punya harapan dengan menggunakan google form bisa mempermudah dan lebih banyak mitra lembaga yang mengembalikan, tapi realitasnya tidak seperti itu,” ujarnya pada Magdalene (12/3).
Komnas Perempuan juga tidak menerima informasi terkait kasus kekerasan terhadap perempuan di tiga provinsi: Gorontalo, Sulawesi Barat, dan Maluku Utara. Situasi tersebut mencerminkan adanya ketimpangan dengan Pulau Jawa sebagai pemberi data terbanyak karena memiliki infrastruktur, teknologi dan informasi yang lebih memadai.
Alimatul mengatakan, pendataan kasus kekerasan yang maksimal perlu infrastruktur dan akses informasi yang lebih merata di Indonesia.
“Selain itu, perlu ada pendanaan sebagai bentuk apresiasi kepada tenaga yang melakukan dokumentasi,” ujarnya.
Baca juga: Komnas Perempuan, Lemhanas: Kekerasan pada Perempuan Ancam Ketahanan Nasional
Kasus Kekerasan Ranah Personal Menonjol
Meskipun total data yang dihimpun dari lembaga-lembaga terkait mengalami penurunan, jumlah pengaduan kasus kekerasan yang diterima Komnas Perempuan meningkat 60 persen, dari 1.413 kasus pada 2019 menjadi 2.389 kasus pada 2020. Situasi ini kembali mengingatkan fungsi utama CATAHU untuk memaknai kasus yang terjadi tidak hanya sebagai angka naik-turunnya statistik kasus kekerasan terhadap perempuan, ujar Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani.
Andy menekankan laporan yang terdapat dalam CATAHU hanya puncak dari gunung es atas kekerasan terhadap perempuan.
“Maka, saat jumlah data meningkat bukan berarti jumlah kekerasan pada tahun sebelumnya lebih sedikit. Melainkan jumlah korban yang berani melaporkan kasusnya jadi lebih banyak dan akses untuk melaporkan lebih kuat,” ujar Andy, dalam konferensi pers CATAHU 2021 yang ditayangkan oleh kanal YouTube Komnas Perempuan.
Kasus kekerasan terhadap perempuan paling menonjol terjadi di ranah personal atau Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), sebanyak 6.480 kasus atau 79 persen. Beberapa di antaranya berupa kasus kekerasan terhadap istri yang paling tinggi dengan 3.221 kasus, diikuti kasus kekerasan dalam pacaran sebanyak 1.309 kasus, dan kekerasan terhadap anak perempuan dengan 954 kasus.
“Kalau dilihat ada peningkatan sebanyak 4 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Kekerasan dalam rumah tangga atau ranah personal ini didukung dengan pemahaman ranah domestik masih jadi tanggung jawab perempuan,” jelas Alimatul.
Menanggapi tingginya kasus KDRT, Komisioner Komnas Perempuan Rainy Hutabarat mengaitkannya dengan kasus femisida—pembunuhan atas seseorang karena dia perempuan—karena pelaku merupakan suami maupun pacar.
Baca juga: RUU PKS Perlu Disahkan untuk Tangani Kekerasan Seksual Berbasis Gender Online
“Melalui pemantauan dari situs media daring, relasi pelaku dengan korban 58 persen adalah suami dan pacar. Teman dekat sebanyak 26 persen. Ini menggambarkan femisida adalah puncak KDRT,” ujarnya dalam konferensi pers yang sama.
Pemicu terjadinya femisida di ranah rumah tangga berupa konflik poligami, korban tidak ingin bercerai, hubungan seksual di luar ikatan pernikahan yang dikaitkan dengan kehormatan, serta pakaian korban yang dianggap sebagai bentuk penyimpangan moral.
“Selain itu, penyebab lain juga berupa struktur patriarkal dalam rumah tangga, seperti dianggap tidak mampu mengurus anak hingga memasak. Dari hal ini bisa dilihat bahwa keadilan gender berkontribusi pada femisida,” ujarnya..
Kasus Kekerasan Berbasis Gender Online Meningkat
Situasi pandemi yang menyebabkan ruang sosial masyarakat menjadi ranah online berpengaruh pada peningkatan kekerasan berbasis gender online (KBGO). CATAHU 2021 mencatat kenaikan sebanyak 348 persen, dari 409 kasus pada 2019 menjadi 1.425 kasus selama 2020.
Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi mengatakan, kasus kekerasan siber tidak bisa dilepaskan dengan korban perempuan muda karena lebih “melek” teknologi.
“Mereka bisa mengakses layanan online lebih muda dengan ibu rumah tangga yang tidak selamanya bisa memegang ponsel,” ujarnya.
Bentuk kekerasan siber tersebut berupa ancaman penyebaran video porno sebagai upaya mengontrol korban, penyebaran konten intim non-konsensual, dan pengambilan foto atau video tanpa izin dari korban.
‘Melihat kasus ini memberitahukan ranah siber tidak aman untuk perempuan melakukan aktivitas dan tubuh maupun seksualitasnya dijadikan objek,” ujarnya.
CATAHU 2021 secara lengkap bisa diakses di sini.
Ilustrasi oleh Karina Tungari.
Comments