Saya kira kita semua sudah tahu dan setidaknya pernah mendengar ucapan seperti ini, “Jangan terlalu pintar, apalagi kalau kamu seorang perempuan.” Atau ini, "Jangan terlalu ambisius karena kamu akan kesulitan menemukan suami."
Inilah persepsi tipikal masyarakat Indonesia: Anggapan bahwa perempuan tidak bisa lebih baik atau lebih hebat dari laki-laki.
Sejak saya masih kecil dan hingga sekarang berusia awal 20-an, saya selalu membayangkan diri saya sebagai seorang pendidik. Saya memiliki impian dan aspirasi yang besar. Saya selalu ingin menjadi seseorang yang penting. Orang tua saya telah mendukung impian saya ini. Sampai baru-baru ini.
Saya telah berencana meraih gelar master tepat setelah saya lulus dan kemudian menjadi dosen. Ayah saya mendukung saya bahkan hingga hari ini. Namun, ibu saya ternyata memiliki pandangan yang berbeda.
“Punya gelar sarjana saja sudah cukup, terutama untuk perempuan sepertimu,” kata Ibu.
“Pikirkan tentang pernikahan dan keluargamu sendiri. Ibu paham bahwa kamu ingin memiliki pendidikan yang lebih tinggi, tetapi laki-laki akan terintimidasi oleh gelar dan profesi kamu. Jadi, pasti akan sulit bagimu untuk menemukan pasangan.”
Setiap kali ibu saya atau orang lain mengatakan sesuatu seperti ini, saya selalu terdiam.
Baca juga: Foto Pernikahan yang Diminta Ibu, Bukan Foto Wisuda
Seorang teman laki-laki saya mengungkapkan pemikiran yang sama belum lama ini. Dia mungkin sudah lama naksir saya dan akhirnya dia mulai pedekate. Tapi, dia mengungkapkan biasnya sendiri ketika kami mengobrol dan dia bilang, "Ah, Mila mah kelas atas." Baginya, ambisi dan kehendak saya berarti saya hanya mencari pacar dengan kualifikasi "tinggi", yang sebetulnya sama sekali tidak benar.
Dia melanjutkan, “Jangan terlalu ribet, nanti enggak ada yang mau.”
Sikapnya waktu memperingatkan saya bahwa saya bisa menjadi kurang “diminati” menyinggung perasaan saya. Seolah-olah saya adalah objek yang perlu disukai, dikejar, dan dijual. Dia mungkin menganggap saya "sulit" karena dia merasa kesusahan untuk membuat saya terkesan, atau membuat saya mau berkencan dengannya. Tapi masalahnya, saya tidak menyukainya dan saya tidak merasa terhubung dengannya.
Teman laki-laki saya keliru dengan berpikir bahwa saya tidak ingin berkencan dengannya karena saya pilih-pilih, atau sok jual mahal. Padahal, itu hanya karena saya tidak merasakan hal yang sama tentang dia. Setelah obrolan yang mengejutkan itu, saya berharap kami akan tetap berteman, tetapi tidak. Dia mulai bertingkah aneh dan menunjukkan bahwa dia tidak ada keinginan untuk tetap berhubungan dengan saya. Jadi, ya, saya pikir itu adalah titik hubungan kami berakhir.
Keyakinan bahwa perempuan tidak boleh lebih pintar dan lebih besar dari pasangan laki-laki, dan bahwa perempuan harus menjadi biasa-biasa saja jika ingin menemukan pasangan, adalah tidak adil dan kejam.
Saya tidak sepenuhnya menyalahkan dia atas asumsinya karena saya telah menampilkan diri saya sebagai perempuan yang mandiri, muda, dan cerdas. Saya menunjukkan betapa bersemangatnya saya tentang sesuatu, saya bekerja keras, saya memiliki prinsip yang tidak akan saya tukar dengan apa pun. Saya berani dan saya seorang feminis.
Sebagian laki-laki akan menganggap saya menarik karena kemandirian dan ketekunan saya; yang lain, bagaimanapun, akan menganggap saya menakutkan dan khawatir akan dikalahkan oleh saya. Kemampuan bahasa Inggris saya, dan buku-buku tebal yang saya baca, hal-hal ini cukup untuk membuat beberapa laki-laki pergi.
Laki-laki Terintimidasi Perempuan Pintar
Dan bukan hanya laki-laki. Teman baik perempuan saya juga mengingatkan saya untuk memikirkan pernikahan, tidak terlalu ambisius dan tidak terlalu pintar. Dia mengatakan bahwa saya adalah seorang yang perfeksionis dan, sekali lagi, pilih-pilih dalam hal mencari pacar. Seperti ibu saya, dia memperingatkan saya bahwa laki-laki akan terlalu terintimidasi untuk mendekati saya.
Keyakinan bahwa perempuan tidak boleh lebih pintar dan lebih besar dari laki-laki jika mereka menginginkan pasangan adalah tidak adil. Kepercayaan bahwa untuk menemukan pasangan dan menikah, perempuan harus menjadi biasa-biasa saja, jelas suatu hal yang kejam. Itu harus diubah.
Baca juga: Benarkah Perempuan Berpendidikan Lebih Tinggi Selalu Susah Menikah?
Budaya Indonesia telah lama memprioritaskan laki-laki dalam pendidikan dan karier, memperkuat keyakinan bahwa laki-laki adalah orang yang harus lebih pintar, lebih besar, dan mendominasi. Laki-laki sama dengan kuat dan perempuan sama dengan lemah. Laki-laki ditakdirkan untuk mempunyai segala kehebatan, sementara perempuan ditakdirkan untuk hal biasa-biasa saja.
Kita perlu mengubah cara berpikir kita tentang perempuan dalam kaitannya dengan cara mereka menemukan pasangan. Janganlah kita melanggengkan sebuah keyakinan yang keliru bahwa perempuan baik-baik saja dengan pendidikan rendah atau ditakdirkan hanya punya satu pilihan: Menjadi ibu rumah tangga. Perempuan bisa dan boleh menjadi lebih dari itu. Jangan mengecilkan hati mereka yang bertujuan tinggi untuk diri mereka sendiri dan jangan menghakimi mereka yang bersemangat dan mandiri. Mari dukung mereka dan beri tahu orang-orang bahwa laki-laki dan perempuan bisa menjadi orang yang hebat bersama tanpa perlu merasa terintimidasi oleh satu sama lain.
Dan terakhir, bagi kamu yang memiliki pengalaman serupa dengan saya, anggap saja jika seorang laki-laki benar-benar mencintai kita, dia seharusnya tidak merasa kita terlalu berlebihan, dia tidak boleh merasa terintimidasi atau takut atau dikecilkan oleh apa pun itu dalam diri kita. Sebaliknya, dia harus mendukung dan bangga pada kita.
Artikel ini diterjemahkan oleh Jasmine Floretta V.D. dari versi aslinya dalam bahasa Inggris.
Comments