Matius Arif Mirdjaja (tengah) bersama Andrew Chan (kiri) dan Myuran Sukumaran. (Foto milik Matius Arif Mirdjaja)
Pemberitahuan 72 jam jelang eksekusi mati telah diberikan kepada sembilan narapidana hukuman mati gelombang kedua, Sabtu, 25 April lalu. Permintaan pengampunan datang dari berbagai pihak kepada Presiden Joko Widodo, salah satunya dari Matius Arif Mirdjaja, seorang mantan perampok dan pengedar narkoba
Berbagi penjara dengan dua orang Australia yang menghadapi eksekusi, Matius mengatakan hidupnya telah diubah oleh Andrew Chan, salah satu terpidana hukuman mati.
Matius mengaku sudah keluar masuk penjara untuk kasus narkoba, perampokan dan “banyak lagi yang lainnya. “ Ia dibebaskan pada 2013 dan sejak itu aktif menjadi pendeta di berbagai negara di Asia Tenggara. Matius juga memberikan pelayanan kepada kawan-kawannya di lembaga pemasyarakatan.
Berikut wawancara dengan Matius Arif beberapa saat menjelang bertemu Andrew Chan di Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan, Minggu pagi, 26 April.
Bagaimana Anda pertama kali bertemu Andrew Chan?
Saya pertama kali bertemu Andrew tahun 2006, saat saya masih menjadi narapidana di Lapas Kerobokan karena kasus narkoba. Tapi saat itu tidak ada pembicaraan serius dengan Andrew. Kami baru benar-benar kenal itu tahun 2011, ketika saya ditahan karena kasus perampokan. Dia sudah jadi pemimpin gereja di lapas saat itu. Saya sering pertanyakan dan ledekin dia soal keimanannya. Tapi Andrew tidak pernah tersinggung, tidak pernah marah.
Dari seorang pengedar narkoba menjadi Pendeta, apa yang terjadi pada Anda di Lapas?
Andrew-lah yang membuat saya tobat. Di penjara saya berjuang melawan kecanduan heroin. Andrew berusaha mengajarkan agama kepada saya sebagai solusi. Namun itu tidak saya pedulikan. Pandangan saya mulai berubah ketika menyadari dia tidak hanya asal bicara. Andrew mempraktikkan apa yang dia sampaikan.
Misalnya, pernah suatu hari seorang tahanan akan dikeroyok gangster penjara. Tahanan ini punya masalah di luar penjara (dengan salah satu anggota gangster). Kami punya prinsip, masalah di luar selesaikan di luar, jangan dibawa-bawa ke dalam. Saat si tahanan akan dikeroyok, Andrew datang, menolong tahanan itu supaya tidak dipukul gangster. Dia selalu ada dan menyempatkan waktu untuk kami, membantu teman-temannya.
Andrew juga mengajarkan skill, mengajarkan memasak.Dia itu jago masak. Harapannya, agar orang-orang yang keluar dari penjara punya pekerjaan. Bayangkan saja orang-orang yang masuk penjara, keahliannya mencuri. Bagaimana jika mereka keluar nanti. Andrew mencoba mengubah paradigma itu. Tahanan yang telah bebas pun, disalurkan ke berbagai restoran. Penjara memfasilitasi inisiatif Andrew dan rekannya, Myuran Sukumaran ini.
Kami berdua sama-sama pernah menjadi pengedar narkoba. Setelah melihat langsung semua itu, saya jadi tersadar bahwa orang benar-benar bisa berubah. Itulah yang menginspirasi saya menjadi seperti sekarang.
Namun, betapa pun besarnya perubahan yang dilakukan narapidana pengedar narkoba, mereka tetap terancam hukuman mati. Bagaimana tanggapan Anda?
Hukuman mati itu merampas hak orang untuk bertobat. Problem utama kasus narkoba bukanlah soal bagaimana menghukum bandar seberat-beratnya, tetapi bagaimana kita memberantas korupsi keadilan. Di dalam sistem hukum yang belum bisa menjamin keadilan substansial, dasar moral untuk menerapkan hukuman mati tidak ada. Banyak kok bandar narkoba yang kaya, lalu membayar dan terlepas dari hukuman mati. Keadilan seakan bisa dibeli. Namun, Andrew dan Myuran tidak mau pakai cara itu.
Selama polisi masih bisa dibayar, selama hakim masih bisa dibayar, narkoba akan terus bisa diselundupkan. Pemerintah seharusnya memastikan tidak ada korupsi keadilan. Itu usaha preventif dibanding menghukum mati orang.
Apa yang ada di pikiran Anda, ketika mengetahui Andrew telah mendapatkan pemberitahuan 72 jam jelang eksekusi mati?
Saya marah karena ini sudah politik, bukan lagi penegakan hukum. Apa yang bisa dibanggakan dari eksekusi mati? Apalagi membunuh atas nama negara? Hidup mereka dipermainkan oleh negara untuk menutupi borok hukum yang lebih besar.
Sepuluh tahun lalu mereka melakukan kebodohan. Tetapi mereka telah berubah. Kita hanya akan membunuh pendeta, bukan bandar narkoba. Kita hanya akan membunuh seniman (Myuran Sukumaran), membunuh ibu rumah tangga (Mary Jane Fiesta Veloso). Kita akan dicatat dalam sejarah, kita akan dikenang sebagai sebuah bangsa yang kehilangan belas kasihan, kehilangan pengampunan, kehilangan kerendahan diri kita, kehilangan nilai kemanusiaan kita.
Kalau memang salah, penjarakan saja seumur hidup. Biarkan mereka hidup. Mereka mengaku salah kok. Mereka lebih bermanfaat di saat hidup, dibandingkan jika mereka harus mati. Kedua orang ini (Andew dan Myuran) telah melakukan perubahan yang berdampak positif pada hidup ratusan orang.
Kapan terakhir kali bertemu Andrew dan Myuran?
Tiga minggu lalu, mereka sudah di Nusakambangan. Di Kerobokan mereka bisa menyalurkan kegiatan. Andrew bisa mengajar dan khotbah. Myuran bisa melukis. Di sini tidak bisa. Myuran juga baru-baru ini saja dibolehkan melukis lagi. Di Nusakambangan tekanannya beda, emosinya beda. Sulit.
Nanti apa yang akan disampaikan kepada Andrew?
Lihat kondisi nanti seperti apa. Paling say hi. Dia tahu saya sakit, di rumah sakit. Ketika kemarin-kemarin saya tidak datang, yang datang teman kami. Dia tanya tentang saya terus, di mana saya. Dia peduli sekali, bahkan dalam situasi seperti ini. Tidak hanya pada saya, tetapi juga ke banyak teman yang pernah dibantunya. Ini tidak mudah bagi kami.
*Baca tulisan Rafki tentang ketertarikan rakyat Indonesia atas hukuman mati.
Rafki Hidayat adalah wartawan salah satu stasiun televisi swasta. Dia mencintai sains dan bercita-cita menjadi penulis dan pembuat film.
Comments