Selama lima tahun terakhir ini, saya merasa cenderung berasumsi dalam menganalisis individu yang baru saya kenal. Sebagai masyarakat yang berkelompok, menganalisis orang lain merupakan cara paling primitif untuk mengamankan diri (dan menandai wilayah). Karena alasan inilah, dalam budaya kita, orang tanpa permisi sering menanyakan agama, usia, asal kota, status pernikahan, ras, atau bahkan zodiak dan orientasi seksual orang lain.
Suatu kali saya bertemu dengan teman saya Wina di sebuah warung kopi. Saat mengobrol dengannya, seorang laki-laki masuk dan menyelak pembicaraan kami. Wina mengenalkan laki-laki itu sebagai temannya, Amir. Dari fisiknya, saya melihat Amir adalah seorang keturunan Arab berusia antara 25-28 tahun.
Kepala saya mengunduh referensi atau pengalaman saya tentang sosok seperti Amir, yakni para pria Muslim yang pernah saya kenal. Ini pun bentuk lain dari rasa curiga karena walaupun berwajah Arab, belum tentu Amir adalah seorang Muslim. Analisis pikiran yang saya lakukan di atas terjadi dalam hitungan detik dan otomatis dilakukan atas dasar penilaian visual.
Contoh yang saya berikan ini hampir pasti sering terjadi tanpa kita sadari ketika berinteraksi di ruang publik. Selain bahwa usaha saya menganalisis identitas Amir tidak berujung pada fakta, kejadian tersebut juga tidak memberi rasa adil kepada Amir dan tidak memberi Amir ruang untuk menjadi dirinya sendiri. Lebih dari itu, peristiwa tersebut juga menghabiskan energi dan inilah sebenarnya penyebab rasa panik dan waswas yang saya alami.
Setelah 10 hari berlatih dalam senyap dan mengasah kesadaran, pengetahuan dan rasa baru mulai muncul. Metode meditasi yang dilakukan di Blitar itu bernama Samatha, yang mengajarkan kita setia memegang satu objek dengan cara sederhana. Bahkan bisa dilakukan oleh pemula yang belum pernah melakukan meditasi. Metode ini mengajarkan pelakunya untuk mengenali kebiasaan berpikir yang melompat-lompat dan berasumsi, serta mencegah pikiran yang memprediksi kejadian yang belum terjadi. Dengan cara ini diharapkan emosi dan sensasi indra yang muncul adalah reaksi dari kejadian yang benar-benar terjadi saat ini, bukan rekaan.
Berikut saya akan membimbing meditasi Samatha, yang merupakan fondasi dari semua metode dan cara meditasi yang beragam.
Persiapan sebelum meditasi
Ada dua postur meditasi yang umum digunakan dan sederhana dilakukan. Contoh-contohnya dapat ditemukan di berbagai tutorial. Pilihan pertama adalah duduk bersila dalam sukhasana yaitu duduk di atas lantai dengan kedua lutut ditekuk dan disilangkan. Jika Anda pemula, gunakan bantal sebagai alas bokong, namun jangan menopang kaki. Menopang kaki boleh dilakukan dengan meletakkan balok yoga atau bantal empuk di bawah kedua lutut jika sendi pelana di atas pangkal paha masih kaku atau sakit. Biarkan tangan beristirahat di atas lutut atau di atas paha.
Postur kedua yang bisa dipilih adalah duduk di atas kursi. Telapak kaki menapak lantai. Lutut dibuka selebar tulang panggul. Cegah impitan di perut dengan cara menegakkan tulang punggung. Istirahatkan tangan di atas paha. Jangan bersandar di kursi.
Meditasi
Gunakan pengukur waktu dan pilihlah alarm atau beker untuk waktu 10, 20, atau 30 menit.
Dalam rentang waktu yang sudah dipilih, Anda hanya boleh melakukan tiga gerakan selama mata terpejam. Pertama adalah menegakkan tulang belakang (dengan cara membuka dada sedikit ke depan atau mengangkat rangkaian tulang rusuk). Kedua adalah menengadahkan dagu, agar leher belakang dan tulang belikat tidak lelah menyangga berat kepala. Gerakan ketiga yang boleh dilakukan adalah menelan ludah. Produksi saliva yang tiba-tiba banyak adalah hal yang sangat wajar.
Setelah nyaman dan siap dalam postur pilihan, pejamkan mata.
Dalam 3 menit pertama, lepaskan ketegangan tubuh. Jika ada ketegangan di paha, biarkan paha rileks. Jika merasa ketegangan di bahu, biarkan bahu rileks. Jika ada ketegangan di perut, biarkan perut rileks.
Kemudian bernapaslah dan sadari keluar masuknya napas dengan cara berhitung urut. Ketika napas masuk hitunglah dalam hati satu, demikian juga saat napas keluar. Ketika napas masuk lagi hitung dalam hati sebagai dua, dan napas keluar hitunglah dua. Demikian seterusnya sampai lima masuk dan lima keluar napas. Selelah selesai dengan hitungan kelima, kembalikan hitungan ke nomor satu. Lakukan berulang-ulang hingga pengingat waktu berbunyi.
Jika karena lamunan atau gangguan dari luar hitungan menghilang, maka kembalilah pada hitungan nomor satu. Begitu pula jika hitungan melebihi hitungan kelima, kembalilah pada angka satu. Tidak perlu marah atau kecewa jika kehilangan hitungan. Tidak perlu menghukum diri. Rasa marah dan kecewa karena kehilangan hitungan akan menyebabkan leher tegang dan pusing kepala. Amati saja semua lamunan dan biarkan lamunan datang dan pergi. Ingatlah bahwa pencipta lamunan dan pikiran tersebut adalah diri Anda sendiri dan selalu mulai dari angka satu.
Berkomitmenlah pada tiga gerakan yang boleh dilakukan: menegakkan tulang belakang, menengadahkan dagu, dan menelan ludah.
Purnameditasi
Ketika pengingat waktu berbunyi, kedipkan mata perlahan sebanyak 3 kali dan kemudian bukalah mata.
Ketika membaca tip tentang diet, kawan saya yang merasa tidak baik-baik saja dengan tubuhnya langsung mengeluarkan sepatu dari lemarinya dan berlari mengelilingi lapangan sebanyak 10 putaran. Setelah kelelahan dan merasakan panas di tubuhnya, di kemudian hari, dia lupa dengan komitmennya berolahraga. Pola seperti ini sering saya perhatikan juga dalam kelas meditasi.
Untuk menjadikan meditasi (ataupun olahraga) lebih berkualitas, hal yang saya anjurkan justru melakukannya dalam waktu pendek namun sering. Contohnya, berkomitmen melakukan meditasi dalam waktu 10 menit selama tiga kali seminggu (daripada satu jam tapi kemudian tidak melakukannya lagi). Pengembangan rasa yang bisa dicapai dalam meditasi bukanlah mukjizat semalam dan tidak dapat dilimpahkan (ditransfer). Pada akhirnya, baik meditasi maupun olahraga yang benar akan mengubah kebiasaan dan pola perilaku, termasuk kebiasaan menilai orang lain.
Kebiasaan menilai orang adalah pantulan cermin dari bagaimana kita juga sering menilai diri sendiri. Setelah belajar metode meditasi Samatha ini, dalam kasus berkenalan dengan Amir, saya akan memahami pribadi Amir dari apa yang dia utarakan. Jika pada suatu kesempatan Amir mengatakan bahwa dirinya adalah Muslim, maka saya akan menafsirkan bahwa Amir adalah Muslim saja, sementara referensi lain tentang Muslim tidak perlu dihadirkan. Jika Amir bilang dia ingin minum teh dingin, maka berarti dia ingin minum teh dingin. Saya masih boleh merasakan, namun saya hanya merasakan sesuatu yang secara nyata hadir. Sehingga kita bisa tetap waras dalam suasana politik yang mengkambinghitamkan identitas kelompok minoritas.
Ajeng adalah Koordinator National Forum Aktivis pereMpuan Muda Indonesia (FAMM-I). Dia juga guru yoga dan penyuluh meditasi di Yoga Rescue Jimbaran. Sampai opini ini terbit, dia masih sibuk membangun ruang aman bagi perempuan dan menjadikannya sebagai proses pemulihan batin dan ruang politik.
Comments