Sekitar 12,4 juta penonton di Inggris duduk menonton wawancara Meghan Markle dan Oprah di ITV minggu lalu, termasuk saya beserta ibu dan kakak laki-laki saya. Sejak pindah kembali ke Inggris, saya jarang menonton televisi, tetapi wawancara ini sepertinya tidak bisa diabaikan, terutama mengingat internet (dan warganet Indonesia) sudah heboh menjelang acara itu.
Duduk layaknya orang Inggris, sekeluarga di sofa, secangkir teh di tangan (meskipun dengan Genmaicha, jadi tidak terlalu sesuai tradisi), kami menyaksikan acara itu dengan hampir tidak bersuara, padahal keluarga Al Rashid tidak biasanya menonton dalam diam.
Kami adalah penonton TV yang berisik, suka berkomentar keras, tertawa terbahak-bahak, atau favorit kami akhir-akhir ini adalah meniru kebodohan Boris Johnson dalam siaran pidatonya, dan langsung marah-marah terhadap kekonyolan kabinetnya serta kebijakan COVID-19 mereka. Tapi kali ini, selama wawancara tersebut, kami terdiam dan sangat serius.
Saya harus bilang dulu sebelumnya bahwa saya tidak punya perasaan apa pun terhadap Meghan Markle, terutama karena saya sejujurnya cukup apatis terhadap keluarga kerajaan secara umum, kecuali Putri Diana—dia adalah satu-satunya anggota kerajaan yang kami sukai dan menjadi ratu di hati kami.
Apa yang diungkapkan Meghan dalam wawancara ini, terutama yang berkaitan dengan masalah ras, saya rasa mengagetkan orang-orang yang belum pernah menghabiskan waktu di Inggris. Tapi buat kami warga non-kulit putih di sini, rasisme yang dikisahkan Meghan dalam wawancara itu tidak mengejutkan. Rasialisme struktural selalu ada di negeri ini.
Dan sebelum orang Indonesia yang membaca ini mengangkat alis mereka ke arah saya dan mengatakan, "Tapi, Hannah, kamu kelihatan putih, kamu MEMANG kulit putih", izinkan saya menjelaskan bahwa menjadi setengah kulit putih di Indonesia, dan setengah kulit putih di Inggris adalah dua hal yang sangat berbeda.
Baca juga: ‘The Crown’ dan Serangan terhadap Menantu Perempuan Keluarga Kerajaan Inggris
Hanya di Indonesia lah warna kulit putih saya selalu ditekankan oleh orang-orang. Tetapi di Inggris, saya selalu dianggap seseorang dari etnis minoritas. Saya suka dikira orang Palestina, Latina, Turki, Pakistan, setengah Asia, tapi percayalah, tidak pernah sebagai Kaukasia. Dan dengan nama keluarga seperti Al Rashid, cukup jelas di kotak mana saya ditempatkan, terutama pasca 9/11.
Superioritas Kulit Putih dan Rasisme yang Melekat
Reni Eddo-Lodge merangkum pengalaman orang Inggris tentang rasisme dengan baik dalam bukunya Why I'm No Longer Talking to White People about Race: “Tidak ke semua orang kulit putih, hanya sebagian besar yang menolak untuk menerima legitimasi rasisme struktural dan gejalanya. Saya tidak bisa lagi terlibat dalam diskoneksi emosional orang kulit putih ketika orang kulit berwarna mengartikulasikan pengalaman mereka. Anda bisa melihat mata mereka menutup dan mengeras. Seperti tetesan air yang dituangkan ke telinga mereka, menutupi saluran telinga mereka. Sepertinya mereka tidak lagi mendengarkan kita."
Jika ini bukan kutipan yang sempurna untuk merangkum reaksi Piers Morgan saat di-call out dalam acaranya sendiri menyusul tayangnya wawancara Oprah ini, maka saya tidak tahu kutipan mana lagi yang sesuai.
Akala, dalam bukunya Natives: Race and Class in the Ruins of Empire, mendedikasikan satu bab penuh untuk masalah penyangkalan ini dan 'A Very British Brand of Racism' (Merek Rasisme Khas Inggris) yang dia gambarkan sebagai “penyangkalan sopan, hiburan diam-diam, atau kemarahan terang-terangan yang seseorang berani lontarkan; pemikiran bahwa kebebasan terbaik bukanlah dari meritokrasi total, melainkan dari fakta bahwa kita juga—seperti banyak negara ‘kurang beradab’ di berbagai belahan dunia—memiliki sistem kasta.”
Baca juga: Menikahi Lelaki Kulit Putih dan Sejarah Hak Asuh Anak
Sebagai seseorang yang telah melalui sistem pendidikan Inggris, saya dapat mengonfirmasikan bahwa para siswa tidak pernah diajarkan tentang Imperium Britania atau keterlibatan Inggris dalam perdagangan budak, atau tentang Partisi, atau peristiwa sejarah lainnya di mana Inggris melukai orang lain melalui penerapan superioritas kulit putih dan rasisme yang melekat, fondasi di mana imperialisme mereka dibangun. Saya tidak diajari tentang hal-hal ini, dan saya tidak tahu apa arti rasisme sistemis, tetapi sebagai seorang anak kecil, saya tahu seperti apa wujudnya.
Bentuknya adalah seperti yang dialami sahabat saya dari Ghana, yang menjadi sasaran dan menghadapi perundungan sebagai satu-satunya gadis kulit hitam di sekolah swasta kami—bahkan oleh kepala sekolah kami sendiri.
Wujudnya juga seperti kakak laki-laki saya yang menggunakan nama Ivan, bukan nama aslinya Irfan, ketika berbicara dengan klien melalui telepon di kantor, karena nama etnis “tidak menghasilkan uang”. Dan hal itu berlanjut terhadap teman-teman berhijab yang tidak merasa aman pasca 9/11, atau seperti teman laki-laki Arab yang menghadapi profil rasial dan dilecehkan oleh polisi setiap minggu.
Atau seperti saya yang harus duduk di Uber selama 40 menit dengan sopir yang memulai perbincangan dengan “Anda dengar apa yang dilakukan muslim-muslim sialan ini di berita?” dan tidak sadar kalau saya pun Muslim, karena untungnya nama yang ada di pesanan Uber saya bukan Al Rashid, melainkan nama keluarga teman yang memesankan tumpangan untuk saya.
Sekolah di Inggris tidak pernah mengajarkan tentang Imperium Britania atau keterlibatan Inggris dalam perdagangan budak, atau peristiwa sejarah lainnya di mana Inggris melukai orang lain melalui penerapan superioritas kulit putih dan rasisme yang melekat.
Rasisme, Islamofobia, dan Sentimen Anti-Imigran
Media Inggris terus menyulut Islamofobia, rasisme, dan sentimen anti-imigran selama bertahun-tahun, terutama menjelang referendum untuk meninggalkan Uni Eropa, dengan tajuk utama yang berlebihan dan menyiratkan bahwa imigran adalah pemerkosa, penjahat, dan pembunuh, dan bahwa “invasi” warga asing ini akan menjadi kehancuran negara.
Ada peningkatan mencolok dalam diskriminasi dan pelecehan sejak Referendum Brexit, sebuah survei yang disorot dalam artikel The Guardian, yang menunjukkan bahwa 71 persen orang dari etnis minoritas dilaporkan telah menghadapi diskriminasi ras pada awal 2019, naik dari 58 persen pada Januari 2016 sebelum pemungutan suara Uni Eropa.
Politisi kami juga turut terlibat dalam memicu sentimen rasialis dan tidak mengacuhkan suara orang kulit berwarna yang menentangnya. Boris Johnson mengatakan perempuan Muslim yang mengenakan burqa terlihat seperti “kotak surat” dan “perampok bank”, dan telah menggunakan istilah yang sangat menghina, “piccannines”, untuk mendeskripsikan anak-anak kulit hitam dari negara persemakmuran.
Menteri Dalam Negeri Priti Patel mengatakan dalam sebuah wawancara bahwa dia merasa unjuk rasa Black Lives Matter tahun lalu “mengerikan” dan bahwa “dia tidak mendukung upaya untuk menulis ulang sejarah” sehubungan dengan patung pemilik budak yang diturunkan, atau sikap beberapa dewan dan pertimbangan mereka untuk mengubah patung dan nama jalan yang berkaitan dengan tokoh-tokoh yang diuntungkan dari perbudakan. Bendera Union Jack yang menjadi latar Patel berbicara, ditambah dengan kata-katanya sendiri, memberikan gambaran yang sangat kuat; salah satu penyangkal kekuatan dan rasisme Inggris yang tidak melihat adanya kesalahan dengan masa lalu kolonial negara itu.
Baca juga: ‘The Umbrella Academy 2’ dan Sejarah Kelam Rasialisme
Terlepas dari apakah kita penggemar Meghan Markle atau tidak, kita tidak dapat menyangkal kekuatan yang telah dia tunjukkan dalam menghadapi banyak fitnah ini, dan kita harus berterima kasih padanya karena dia telah berani berbicara. Wawancara ini mungkin mengejutkan kamu yang tinggal di luar Inggris, tetapi bagi kami yang dibesarkan di sini, satu-satunya hal yang mengejutkan adalah bahwa akhirnya seseorang dengan status sosial setinggi Meghan mengatakannya dengan lantang.
Bagi orang Indonesia yang membaca ini yang mungkin tidak mengerti konteks rasial di balik apa yang dia katakan dalam wawancara ini, dan bagi mereka yang memilih untuk terus meromantisasi keluarga kerajaan dan mempermalukan Meghan karena dia telah berbicara, saya merekomendasikan tiga buku luar biasa berikut sebagai panduan kamu mengenai masalah ras di Inggris:
Why I’m No Longer Talking to White People About Race oleh Reni Eddo-Lodge
Natives – Race and Class in the Ruins of Empire oleh Akala
Brit(ish) – On Race, Identity and Belonging oleh Afua Hirch
Selamat membaca!
Artikel ini diterjemahkan oleh Radhiyya Indra dari versi aslinya dalam bahasa Inggris.
Comments