Setiap perempuan yang hamil pasti mengharapkan persalinan tanpa komplikasi dengan kontraksi yang dapat dikendalikan. Harapannya, hanya dengan beberapa kali dorongan saja si bayi cantik akan lahir ke dunia. Tetapi faktanya, keberhasilan persalinan seperti yang diharapkan tidak selalu terjadi. Dalam banyak kasus, bayi-bayi cantik ini perlu dilahirkan melalui operasi Caesar.
Operasi Caesar harus dilakukan jika dokter menyatakan bahwa persalinan melalui vagina akan berisiko bagi ibu. Misalnya saja karena bayi dalam posisi sungsang atau melintang dalam rahim, meskipun dalam beberapa kondisi bayi dapat diputar sebelum persalinan dimulai atau dilahirkan melalui vagina dengan teknik khusus. Tidak semua operasi Caesar direncanakan sebelum persalinan, banyak kasus operasi Caesar tidak terduga yang harus segera dilakukan ketika komplikasi timbul pada si ibu dan/atau bayi selama proses persalinan.
Namun di Indonesia, penghakiman atas perempuan yang melahirkan bayi lewat Caesar seakan-akan tidak ada ujungnya. Setelah bersusah payah secara mental dan fisik serta menghabiskan banyak energi mempertaruhkan nyawa dalam membawa calon kehidupan, perempuan masih harus menerima cacian dan makian mulai dari orang-orang terdekat hingga orang asing, hanya karena tidak bisa dan/atau tidak memilih untuk melewati persalinan vaginal.
Masyarakat membentuk konstruksi sosial yang menyebabkan munculnya level dalam persalinan. Masyarakat umumnya menggunakan terminologi “normal” untuk menggambarkan persalinan melalui vagina. Hanya dengan pemberian label ini saja, persalinan yang tidak melalui vagina akan dianggap tidak normal. Label ini mengakibatkan munculnya stigma bahwa yang “tidak normal” berarti tidak benar-benar menjadi ibu.
Masih banyak masyarakat yang beranggapan bahwa keberhasilan perempuan hanya diukur sebatas vagina. Mereka yang masih berpegang teguh pada prinsip bahwa perempuan yang berkualifikasi menjadi ibu hanyalah perempuan yang bersalin melalui vagina saja, adalah orang-orang yang memandang perempuan sebagai barang yang mutunya mereka nilai berdasarkan standar mereka, dalam hal ini vagina.
Ini merupakan penilaian yang mengandung racun karena semakin dibiarkan penilaian berdasarkan vagina ini, semakin masyarakat menormalisasi penilaian tersebut. Perdebatan di dunia maya ataupun nyata mengenai hal ini terus berlangsung. Mereka lupa, bahwa cara apa saja yang digunakan dalam persalinan, itu bukan merupakan tujuan utama yang hendak dicapai. Tidak peduli metode persalinan apa yang digunakan, yang sering terabaikan namun menjadi goal persalinan adalah keamanan perempuan dalam melahirkan bayi yang sehat.
Bukan olimpiade rasa sakit
Sebuah postingan oleh akun Instagram @haloibu.id memperlihatkan pengakuan seorang ibu yang usai bersalin secara Caesar yang menerima perlakuan tidak menyenangkan pascamelahirkan. Stigma masyarakat mengenai cara persalinan Caesar dan cara pandang mereka akan perempuan yang melahirkan secara Caesar ini harus segera dibenahi.
Semua orang tahu bahwa melahirkan melalui vagina itu sangat sakit, sementara saat operasi Caesar berlangsung, si perempuan tidak akan merasakan apa pun. Sebagian besar perempuan sadar namun mati rasa mulai dari pinggang ke bawah dengan penggunaan anestesi epidural dan/atau blok tulang belakang selama operasi.
Terkadang perempuan yang membutuhkan operasi Caesar darurat mungkin memerlukan anestesi umum, jadi dia akan tertidur selama persalinan dan tidak akan mengingat apa pun atau merasakan rasa sakit. Inilah permulaan orang-orang gencar melakukan glorifikasi persalinan vaginal, menganggap remeh perempuan yang bersalin dengan operasi Caesar. Mereka menganggap remeh apa yang tidak mereka ketahui. Hal ini sangat tipikal.
Hanya karena rasa sakit selama proses bersalin tidak terasa, bukan berarti melahirkan dengan operasi Caesar itu bebas sakit sama sekali. Rasa sakit muncul pascaoperasi yaitu pada saat pemulihan. Ketidaknyamanan yang dirasakan akan berlangsung sedikit lebih lama daripada mereka yang bersalin melalui vagina. Reaksi atas anestesi yang telah diberikan adalah rasa gatal pada perut serta sakit di sekitar sayatan, serta pegal-pegal. Tidak menutup kemungkinan bahwa perempuan tersebut akan merasa pusing, bingung, takut, khawatir, atau sedih.
Stres dan trauma setelah operasi Caesar juga tidak dapat dihindari. Perempuan berisiko tinggi mengalami stres pascaoperasi jika tidak mendapat lingkungan yang mendukung selama dan setelah kelahiran. Itulah mengapa pemulihan pascaoperasi harus sangat diperhatikan, bukannya ditekan oleh keadaan dan lingkungan yang tidak suportif.
Baca juga: Ibu Bekerja di Indonesia Butuh Subsidi Penitipan Anak
Banyak perempuan merasa nyaman dengan persalinan melalui operasi Caesar, namun yang lain mungkin merasa bersalah atau bahkan kecewa karena tidak melahirkan melalui vagina. Bagi mereka yang tertekan dengan persalinan Caesar, keadaan yang tidak kondusif dan suportif akan memperburuk keadaan fisik dan mental mereka pascapersalinan.
Operasi Caesar juga dapat meningkatkan risiko depresi pascamelahirkan. Jika perempuan mengalami depresi selama kehamilan, risiko depresi pascamelahirkan akan lebih tinggi lagi. Adalah wajar untuk merasa sedih atau menangis setelah melahirkan. Ini terjadi akibat perubahan kadar hormon yang fenomenanya disebut sebagai baby blues. Tetapi tidak wajar jika perasaan sedih tersebut berlangsung dalam waktu yang cukup lama atau bahkan bertambah parah sampai ada keinginan untuk menyakiti diri sendiri atau sang bayi, misalnya.
Untuk itu, pembagian tingkat kelayakan menjadi ibu berdasarkan metode persalinan harus dihilangkan. Setiap perempuan yang hamil dan tidak dapat melakukan proses persalinan melalui vagina harus tahu bahwa menggunakan metode operasi Caesar tidak akan membuat bayi mereka menjadi kurang istimewa atau mereka tidak hebat dan tidak menjadi ibu yang sempurna. Apa pun metode yang digunakan dalam persalinan, fokuslah pada tujuan utama, yaitu melahirkan bayi yang sehat dengan risiko seminimal mungkin agar perempuan yang sedang hamil sehat sebelum, selama dan setelah melalui proses persalinan. Kalian hebat!
Ilustrasi oleh Karina Tungari
Comments