Eti Mulyati, 55, yang bekerja sebagai pedagang keliling telah aktif mengikuti berbagai macam arisan dalam 30 tahun terakhir. Baginya, arisan tak sekadar kumpul-kumpul dan bersilaturahmi dengan teman, tapi arisan juga telah sering membantunya keluar dari masalah keuangan keluarga.
“Saya dan suami itu kan penghasilannya pas-pasan untuk kebutuhan sehari-hari. Ikut arisan itu semacam tabungan saya, supaya kalau mau beli lemari atau mesin cuci enggak nambahin beban suami, gitu,” ujar perempuan yang tinggal di Garut, Jawa Barat, itu kepada Magdalene.
Arisan dipilih Eti karena proses transaksinya yang mudah dan cepat serta berlandaskan pada pertemanan dan kepercayaan. Ia yang lulusan sekolah menengah pertama itu mengatakan tidak begitu paham proses menabung di bank, apalagi harus memakai anjungan tunai mandiri. Selain itu, Eti mengatakan agak keberatan dengan potongan bunga yang harus ditanggung setiap bulannya. Alhasil, arisan menjadi tempat yang aman baginya untuk menabung sedikit demi sedikit uang yang ia sisihkan setiap harinya.
“Namanya ibu-ibu di kampung, ya enggak ribet, kalau mau ikutan tinggal dicatet terus nanti ada yang mengurusi dan biasanya menagih ke rumah-rumah,” kata Eti.
Selain bergabung dalam arisan ibu-ibu di kampungnya, Eti yang setiap hari berjualan di pasar tradisional juga ikut arisan bersama para pedagang pasar. Arisan-arisan ini memiliki iuran dari Rp100 ribu sampai Rp500 ribu. Uang yang didapat ketika menang arisan pun beragam, namun yang paling besar sampai mencapai Rp50 juta.
Uang hasil menang arisan itu biasanya Eti gunakan untuk membeli barang rumah tangga, membantu biaya pendidikan kelima anaknya, sampai merenovasi rumah.
“Pernah juga uang arisan buat bayarin hutang bekas SPP atau uang kuliah anak-anak,” kata Eti.
Baca juga: 10 Tips Mengatur Anggaran Pribadi, Perbaiki Kondisi Keuangan
Seperti juga Eti, Maria Marjanah mengatakan terbantu oleh arisan dengan para tetangga di sekitar rumahnya, terutama untuk biaya pendidikan anak, termasuk membeli barang-barang penunjang sekolah seperti komputer.
“Dua puluh tahun lalu ikut arisan cuma Rp100 Ribu sebulan, sekarang sejuta sebulan. Arisan ini juga enggak ada potongan apa pun, kalau menangnya 16 juta, ya sudah dikasihnya segitu,” ujar Maria, yang tinggal di daerah Tangerang kepada Magdalene.
Maria mengatakan, arisan itu bukan hanya bersifat transaksional di antara para anggotanya, tapi juga soal membangun hubungan emosional dan sosial. Karena ada arisan, mereka selalu memiliki alasan untuk berkumpul, dan saling membantu jika ada yang menghadapi kesusahan.
“Tetangga sudah banyak yang pindah rumah atau tinggal di luar negeri tapi arisan tetap berjalan,” ujar perempuan berusia 53 tahun itu.
Arisan Tempat Aman untuk Perempuan Berdaya Secara Finansial
Sebagai kelompok sosial, ibu-ibu arisan kerap mendapat stigma negatif karena dianggap suka bergosip. Baru-baru ini ada video yang sempat viral di Tiktok, yang memperlihatkan ibu-ibu arisan sosialita dengan jumlah iuran yang fantastis. Namun bagi banyak perempuan yang berkeluarga, arisan merupakan salah satu tempat aman untuk berdaya tanpa ada keterlibatan suami.
Artikel jurnal yang ditulis oleh Achmad Baihaki dan Eva Malia dari Universitas Islam Madura bertajuk “Arisan dalam Perspektif Akuntansi” (2018), menunjukkan bahwa arisan adalah sarana informal untuk menabung yang menjangkau ibu rumah tangga di akar rumput masyarakat pulau itu.
Menabung dalam hal ini dapat diartikan sebagai usaha sadar untuk menyisihkan sebagian penghasilan secara sukarela. Masalahnya, kegiatan menabung hanya bisa dilakukan oleh masyarakat yang memiliki kelebihan penghasilan, sedangkan mereka yang berpenghasilan pas-pasan akan sulit untuk menabung sendiri. Karenanya, arisan yang bersifat mengikat membuat orang memiliki rasa kewajiban untuk menabung.
Baca juga: Pelajaran dari Pandemi: Pentingnya Berinvestasi untuk Dana Darurat
“Dengan adanya arisan, maka seakan-akan masyarakat dengan penghasilan rendah pun memiliki kesempatan yang sama untuk melakukan kegiatan menabung, dan bahkan bisa menjadi sarana investasi untuk mendapatkan barang yang diinginkan,” tulis Achmad dan Eva.
Sifat arisan yang mengikat itu pula yang menjadi alasan Eti untuk ikut arisan meskipun jumlah uang yang harus disetorkan setiap harinya tidak sedikit. Menurutnya, secara psikologis, ia menjadi lebih semangat bekerja ketika ada suatu kewajiban yang mengikat dan harus dilunasi.
“Selama itu membantu saya secara ekonomi, jadi ya dijalankan aja,” ujarnya.
Artikel jurnal lain yang ditulis peneliti Nova Prasetyo Adi dari Universitas Negeri Yogyakarta, bertajuk “Solidaritas Sosial dalam Kelompok Arisan Ibu Rumah Tangga Di Desa Ciberung, Kecamatan Ajibarang Kabupaten Banyumas” (2018), menunjukkan bahwa arisan merupakan bentuk solidaritas sosial sesama perempuan, sehingga arisan biasanya populer di masyarakat yang mempunyai budaya komunal tinggi.
Selain itu, kegiatan arisan juga secara tidak langsung mengedukasi ibu-ibu di daerah yang belum pernah menjangkau pendidikan formal tentang sistem finansial rotasi simpan-pinjam yang memanfaatkan kedekatan sosial menjadi kegiatan ekonomi yang bernilai.
“Arisan ini mengajarkan para anggotanya untuk memahami makna kepercayaan dan gotong royong agar tidak saling menjatuhkan saat salah satu pihak kesusahan,” tulis Nova.
Nilai gotong royong yang sangat kuat juga membuat arisan tidak hanya terbatas pada transaksi uang saja. Ada yang berupa barang, hewan ternak, dan bahkan di Desa Sako, Banyuasin, Sumatera Selatan dikenal arisan mbangun atau arisan bahan bangunan, untuk membantu warganya yang ingin memiliki rumah.
Baca juga: ‘Perempuan Selalu Benar’ Sebuah Generalisasi Seksis
Arisan Tempat Sosialisasi yang Menjangkau Akar Rumput
Karena nilai solidaritas yang kuat dan bisa menjangkau kelompok perempuan di akar rumput, arisan juga dimanfaatkan pemerintah untuk menjadi sarana komunikasi dalam segi ekonomi dalam program kesejahteraan keluarga (PKK). Arisan PKK menjadi salah satu program andalan yang diikuti ibu-ibu rumah tangga di sejumlah daerah.
Penelitian bertajuk “Analisis Pemberdayaan Dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Di Desa Talang Rasau Kecamatan Lais Kabupaten Bengkulu Utara” (2018) yang dilakukan oleh Reni dkk, dari Universitas Prof Dr Hazairin SH, Bengkulu, membahas hal ini. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa arisan PKK tidak hanya membantu secara finansial tapi juga meringankan beban keluarga jika ada hajatan. Tak jarang saat pertemuan arisan juga disertai dengan kegiatan lain seperti musyawarah dan pengajian.
“Kegiatan tersebut terlaksana karena masyarakat khususnya ibu-ibu PKK menyadari bahwa kegiatan arisan PKK sangat banyak keuntungannya, baik dalam bidang sosial dan ekonomi,” menurut hasil penelitian tersebut.
Selain oleh PKK, kelompok ibu-ibu arisan juga sering menjadi agen yang diedukasi untuk menyosialisasikan masalah kesehatan. Hal tersebut terlihat dari artikel jurnal yang ditulis oleh Sarmalina, dkk yang bertajuk “Peningkatan Kapasitas Ibu-Ibu Arisan Sebagai Inisiator Gerakan Masyarakat Cerdas Menggunakan Obat (Gema Cermat)” (2019) dari Poltekkes Kemenkes Palembang, di mana mereka memilih ibu-ibu arisan sebagai agen untuk menyosialisasikan penggunaan obat yang benar demi kesehatan masyarakat yang masih awam dengan obat kimia.
“Karena ibu-ibu arisan adalah sekelompok ibu-ibu yang secara periodik bertemu dan memiliki potensi menjadi penggerak atau panutan bagi masyarakat di sekitarnya dalam berbagai hal. Kalau memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai, maka mereka dapat membantu keluarga, teman dan masyarakat menjadi lebih baik,” tulis artikel tersebut.
Comments