“Diselingkuhi, ditinggalkan, dipermalukan karena tak cantik.”
“Arista”, 30, menyimpulkan babak kehidupannya yang ambyar setelah putus dari mantan kekasih. Meski sudah setahun berselang, ia masih mengamini, sah-sah saja pria itu mengkhianati relasi hanya karena fisik Arista yang menurutnya tak ideal. “Dulu saya memang gendut, enggak putih, enggak pintar pakai makeup, malu-maluin mungkin kalau diajak jalan,” katanya pada Magdalene, (10/8).
Sekarang keadaan berbalik 180 derajat. Imbas dari perpisahan itu, Arista yang dihinggapi perasaan insekyur, mulai terobsesi dengan obat pemutih, pelangsing. Algoritme Instagramnya pun kini dijejali dengan iklan kosmetik dan skincare yang rutin ia pakai. Buat Arista, menjadi cantik adalah balas dendam terbaik untuk lelaki yang mencampakkannya.
Sepintas keyakinan Arista terasa wajar—narasi yang sering kita lihat, bahkan kita konsumsi di media. Jika kamu ikut kelas-kelas romansa, salah satu materi yang diajarkan untuk mengembalikan kepercayaan diri yang babak belur adalah dengan mengerek semua potensi diri, termasuk menjadi lebih cantik. Masalahnya, cantik versi siapa?
Banyak yang tak tahu, standar cantik bukan pakem yang turun dari langit, melainkan terbentuk dari konstruksi sosial. Cantik dibuat oleh penguasa yang mengontrol perempuan, dan dikokohkan oleh media. Formula tersebut langgeng terlacak di sejarah kita.
Buktinya, kalau kamu iseng mencari definisi cantik di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), beberapa definisi cantik yang ditawarkan adalah “molek wajah perempuan” dan “menarik perhatian laki-laki”. Siapa penyusun KBBI? Ya betul, negara lewat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaannya.
Juni lalu, kami menyebar survei daring yang melibatkan 725 responden lintas generasi, lintas gender, yang tersebar di 29 provinsi dan 127 kabupaten/kota. Upaya ini kami lakukan untuk mendapat gambaran komprehensif—yang mungkin sempat luput ketika kita membicarakan standar kecantikan dan irisannya dengan teknologi.
Kami juga mengundang kembali sejumlah responden untuk ikut Focus Group Discussion (FGD) membahas temuan kami dalam survei tersebut.
Hasilnya, obrolan-obrolan menarik. Kebanyakan sepakat bahwa konsep cantik berarti memiliki kulit putih sudah aja sejak dulu, dan masih eksis di generasi hari ini. Dalam survei Magdalene ditemukan sebanyak 58 responden mendefinisikan cantik secara harfiah berarti memiliki kulit putih. Sementara, sebanyak 254 orang memilih kulit glowing sebagai perluasan makna kulit cerah.
Penggambaran semacam itu langgeng sejak penetrasi pertama kakek-nenek moyang kita terhadap teknologi komunikasi. Bahkan jika dirunut sejarah, cantik yang seragam itu sudah terbentuk sejak era kerajaan Jawa prakolonial.
Ayu Saraswati, penulis dan pengajar di Kajian Perempuan Universitas Hawaii dalam Putih: Warna Kulit, Ras, dan Kecantikan di Indonesia Transnasional (2017) membenarkannya. Sejak dulu, siapapun yang jadi penguasa, ajek mengampanyekan pesan soal standar kecantikan yang seragam, lewat produk-produk iklan kecantikan, lewat media-media komunikasi mereka yang paling sederhana.
Celaka dua belas, definisi dan standar cantik ini langgeng seiring teknologi yang juga terus berlari. Meski platform teknologi jauh lebih variatif, influencer memecah monopoli pendikte kecantikan, dan makin banyak orang terliterasi, standar cantik bisa jadi tak banyak bergeser.
Mitos-mitos cantik terutama awet karena media-media kita yang jumlahnya puluhan ribu menurut Dewan Pers itu, masih rutin membombardir dengan definisi basi dalam berita. Kata cantik dikomodifikasi, diutak-atik, agar kita percaya bahwa belum cantik namanya jika tak putih, langsing, keturunan campuran (blasteran), dan seterusnya.
Berita-berita seperti, “7 Seleb Cantik dengan Kulit Seputih Susu”, “Tidak Makan Nasi, 5 Artis Ini Tampak Langsing & Cantik Menawan”, “6 Artis Keturunan Swiss, Blasteran yang Cantik dan Ganteng”, “Ciri-Ciri Mayat Wanita Cantik Berkulit Putih Tanpa Busana di Ladang Jagung Ngawi”, dan lainnya pun menjadi santapan kita sehari-hari.
Judul-judul berita semacam itu semakin memperkuat persepsi kita bahwa cantik berarti harus memenuhi ekspektasi media. Jika tidak cantik, ini berarti masalah besar. Karena itulah tak heran Naomi Wolf dalam The Beauty Myth (2002) bilang, mitos cantik dibuat sebagai alat feminisasi perempuan, sehingga mereka terpenjara dalam ketidakpuasan terhadap tubuh, kebencian terhadap diri sendiri, dan kemuakan karena tak bisa memikat lelaki.
Hasilnya, perempuan semakin terasing dengan tubuhnya sendiri. Tubuh jadi tak otonom sepenuhnya lantaran dikonstruksi oleh pasar, sosial, budaya, dan ekonomi. Ia menjadi tubuh yang artifisial dan bukan milik pribadi, kata Anthony Synnott dalam Tubuh Sosial: Simbolisme, Diri, dan Masyarakat (2007). Ini bukan pepesan kosong.
Standar cantik harus langsing, misalnya, membuat sejumlah perempuan yang mengalami dismorfia tubuh, berlomba-lomba operasi plastik, atau melakukan diet ekstrim, tak bisa lepas dari filter kecantikan di media sosial, atau tak percaya diri saat wajah tak berbalut makeup. Mirip yang dirasakan oleh Arista di awal tulisan, 22 persen masyarakat Indonesia makin tak bahagia dengan tubuhnya, seperti tergambar dalam riset YouGov (2015).
Demi membedah standar kecantikan, obsesi kita, dan kaitannya dengan teknologi, Magdalene menerbitkan proyek jurnalisme data terbaru bertajuk Beauty and Technology Series (2022).
Editorial kami menyiapkan empat tulisan dan empat video in-depth, yang akan mengupas persoalan dismorfia tubuh yang dipopulerkan media sosial, standar kecantikan antargenerasi, pengaruh influencer dalam industri kecantikan, hingga cantik versi laki-laki.
Keempat video itu akan kami rilis berkala tiap minggu, dan bisa langsung disantap di media sosial (Youtube, Instagram) dan main site kami.
Semuanya berangkat dan diolah dari temuan Survei Magdalene Juni lalu, yang temuan kuncinya juga kami rangkumkan untukmu:
Baca juga: Bagaimana Standar Kecantikan Menghancurkan Perempuan?
1. Standar Cantik Beragam, tapi Putih dan Cerah Masih Tetap Besar
Cantik yang berarti putih atau berkulit cerah juga terlihat dari 188 responden, yang memutuskan memakai filter guna menaikkan warna atau tone kulit. Hal ini kemudian disusul dengan 126 responden yang mengedit foto terlebih dahulu sebelum mengunggahnya ke media sosial.
Definisi cantik putih ini membenarkan tesis peneliti Ayu Saraswati bahwa kulit putih masih langgeng dipandang sebagai norma kecantikan. Obsesi memiliki kulit putih membuat produk pemutih kulit menduduki tempat teratas dalam penjualan industri kosmetik di Indonesia.
Riset Compas.co.id, perusahaan teknologi yang fokus pada business intelligence tools pada 1-15 Agustus 2021 menyebutkan, 10 produk kecantikan paling laris dihuni oleh mayoritas produk pemutih. Di urutan pertama ada merek Scarlett Whitening (18,9 persen), dengan produk andalannya, Scarlett Whitening Brightly Ever After Serum (151.492 transaksi) dan Scarlett Whitening Acne Serum (80.106 transaksi). Di urutan berikutnya, ada Vitaline, Nivea, HB Whitening, SRI2, Dosting, Kedas Beauty, Bierlian, MS Glow, dan Vaseline.
Meski begitu, kita patut lega karena mayoritas responden yang mengisi survei Magdalene tak terpaku pada standar cantik kuno harus putih atau langsing. Sebanyak 605 responden meyakini, kepribadian yang baik (percaya diri, ramah, humoris, dsb.) adalah definisi cantik baru di era sekarang. Disusul dengan berpenampilan baik (525 responden).
Kenapa standar kecantikan bergeser? Jawabannya, karena zaman sekarang, banyak orang yang gencar menyerukan pesan kesetaraan, aktivisme sosial, representasi, dan inklusivitas. Kita tentu masih ingat bagaimana Victoria’s Secret yang puluhan tahun mendefinisikan kecantikan perempuan dengan bidadari langsing, seperti boneka barbie, lantas menggaet atlet, aktivis LGBTQ+, hingga model ukuran plus-size sebagai wajah barunya. Kita juga tahu merek seperti Nike, Gucci, Prada, dan Zara juga lebih sadar dengan inklusivitas, sehingga menciptakan pakaian gender fluid serta unisex.
Terlepas dari kesadaran menjadi inklusif yang barangkali diboncengi kepentingan bisnis, apa yang dilakukan mereka membuat pesan soal cantik beragam menjadi kian teramplifikasi dalam ruang-ruang percakapan kita.
Baca juga: Saya Feminis, Saya Menentang Narasi 'Semua Perempuan Cantik'
2. Ketidakpercayaan Diri dan Body Shaming Andil Ciptakan Dismorfia Tubuh
Mayoritas responden, sebanyak 401 orang dalam survei Magdalene mengaku tak percaya diri dengan fisik mereka. Lebih lanjut, sebanyak 92 persen perempuan yang menjadi responden kami pernah mengalami body shaming, sedangkan lelaki yang mengalami body shaming berjumlah 72 persen.
Dalam analisis kami, ketidakpercayaan diri dan body shaming ini saling berkelindan satu sama lain. Semua dirangkai oleh benang merah bernama teknologi. Ketidakpercayaan diri muncul karena standar cantik yang terus menerus digaungkan media kerap kali mahal, tak masuk akal, sulit digapai, dan bikin sengsara. Dalam kondisi lebih gawat, ketidakpercayaan diri juga memicu body image disturbance, alias penyakit akibat kecemasan berlebih karena penampilan fisik dan citra tubuhnya. Sebagian dari mereka, menurut Deborah Rhode, profesor hukum Universitas Stanford dalam bukunya The Beauty Bias: The Injustice of Appearance in Life and Law (2010) mengubah fisik mereka melulu demi citra.
Sementara itu, body shaming juga bisa muncul karena semua orang mengamini bahwa menjadi berbeda adalah “dosa besar”. Tulisan Ruth C White Ph.D. bertajuk Body-Love, Body-Shaming, and Health di Psychology Today menunjukkan, kecenderungan untuk mempermalukan perempuan karena tidak memenuhi konstruksi cantik ideal juga andil memicu gangguan makan, dismorfia tubuh, dan kondisi kesehatan mental lainnya seperti kecemasan dan depresi.
Ini sejalan dengan keterangan psikolog klinis dewasa Syazka Narindra yang menyebutkan, dismorfia tubuh terjadi apabila seseorang terus menerus memfokuskan perhatiannya, pada anggota tubuh yang dianggap tidak sesuai. Dalam hal ini, filter kecantikan berperan saat seseorang terobsesi dengan standar kecantikan yang tak ideal: Kulit yang mulus, hidung dan bibir lebih besar atau kecil, pipi lebih tirus, melancipkan dagu, melebarkan rahang, hingga mata berbentuk fox eye seperti Bella Hadid.
Tak heran jika dalam survei yang dilakukan Magdalene pada Juni lalu, sebanyak 35,5 persen responden sesekali menggunakan filter kecantikan di aplikasi media sosial. Terlepas dari berbagai faktor penggunaannya, rasa tidak percaya diri merupakan salah satu alasan utama mereka. Ini menunjukkan, filter dilihat sebagai fitur untuk menyempurnakan penampilan.
Baca juga: Stop Nilai Diri dan Perempuan Lain dari Penampilan Fisik
3. Nyaris 100 Persen Orang Sepakat Cantik adalah Hak Lelaki
Menurut temuan kami, sebanyak 99,6 persen—atau 724 orang dari 727 menganggap wajar laki-laki yang memakai skin care. Sebanyak 73,7 persen atau 536 responden bahkan menganggap wajar laki-laki yang mengenakan makeup. Penerimaan itu makin baik setiap tahunnya.
Menurut analisis kami, itu tak bisa dilepaskan dari meningkatnya kesadaran perawatan tubuh dan wajah lelaki. Terlebih kini, banyak jenama kecantikan lelaki yang turut mempopulerkannya di media sosial masing-masing. Data Euromonitor International pada 2020 mencatat, kesadaran perawatan tubuh dan wajah laki-laki usia 18-25 tahun di Indonesia naik. Terlebih di kala pandemi saat lelaki juga turut menghabiskan waktu lebih banyak di rumah.
Kondisi ini didukung dengan makin masifnya merek perawatan tubuh yang mempopulerkan kecantikan yang genderless. Merek seperti seperti Avoskin, White Lab, Everwhite, dan NOFILTER, MS Glow Men, Kahf, dan Norm adalah beberapa contohnya. Lewat merek-merek tersebut, definisi cantik untuk lelaki diredefinisi, maskulinitas yang rapuh pun dilucuti. Mereka sepintas ingin menegaskan bahwa skincare and makeup has no gender.
Pada akhirnya, bicara soal cantik adalah bicara political correctness dan keadilan sosial. Tentu saja keadilan yang dimaksud bukan cuma keadilan buat rakyat good looking saja. Sebab, definisi good looking tak pernah seragam, kita bisa ciptakan sendiri jika mau.
___
Proyek jurnalistik ini didukung oleh Meedan, organisasi non-profit di bidang teknologi yang punya visi memperkuat literasi digital dan jurnalisme global.
Laporan pertama dari Beauty and Technology Series bisa kamu baca di sini:
Filter Dysmorphia: Buah Simalakama atau Kemajuan yang Perlu Diterima?
Penanggung jawab/Pemimpin Redaksi: Devi Asmarani
Redaktur Pelaksana: Purnama Ayu Rizky
Editor: Aulia Adam
Reporter/ Periset:
Aurelia Gracia, Jasmine Floretta, Vania Evan, Theresia Amadea
Desainer Grafis: Jeje Bahri
Juru Kamera dan Editor: Tommy Trdkr
Web Developer: Denny Wibisono
Media Sosial: Siti Parhani
SEO Specialist: Kevin Seftian
Community Outreach: Paul Emas
Community Outreach Assistant: Tenny Maria
Digital Media Assistant: Chika Ramadhea
Analis Data: Wan Ulfa Nur Zuhra (IDJN)
Comments