Februari tahun lalu, saya menjalani proses seminar proposal. Namun, Maret tahun ini, alih-alih lanjut menuju sidang skripsi, saya malah harus kembali mengulang proses seminar proposal. Bukan, bukan, karena saya tidak lulus.
Tahun lalu, ketika saya melakukan seminar, proposal penelitian saya bahkan terkesan dipuji setinggi langit. Dosen pembimbing dan penguji saya semuanya bertepuk tangan atas keberanian saya untuk mengangkat tema penelitian yang dianggap sulit.
Bersamaan dengan apresiasi tersebut, datang pula ekspektasi yang tingginya menurut saya pribadi sangat tidak wajar. Dosen saya meminta saya untuk mewawancarai pemimpin redaksi salah satu stasiun televisi swasta yang juga merupakan wartawan senior di Indonesia.
Lokasi saya ada di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, sementara calon narasumber saya berada di Jakarta. Saya adalah mahasiswa biasa yang kebetulan suka sekali dengan kajian komunikasi dan memperhatikan media, sementara calon narasumber saya adalah orang “penting” yang tidak mudah untuk dijangkau.
Permintaan tersebut saya kira tidak adil dan sangat memberatkan saya, apalagi jika membandingkan bagaimana mudahnya teman-teman satu angkatan saya dengan lancar meneruskan penelitian mereka. Ada yang jelas-jelas hanya copy-paste–dan ketahuan saat seminar proposal–lulus lebih dulu daripada saya. Ada yang menggunakan metode penelitian yang sama–analisis wacana kritis–tapi tidak harus mewawancarai subjek yang dia teliti, dan banyak lainnya. Rasa-rasanya jika harus membandingkan beban penelitian tersebut, saya cuma bisa menangis di pojokan.
Baca juga: Sialnya Lulus Kuliah Saat Pandemi, Nantikan Pekerjaan yang Tak Pasti
Pihak Kampus Kurang Mendukung
Kemudian pandemi COVID-19 melanda. Stuck berbulan-bulan menunggu balasan e-mail dari calon narasumber membuat saya lelah, stres, dan frustrasi. Konsultasi dengan dosen pembimbing secara daring berjalan dengan sangat lambat. Hari ini mengirim revisi misalnya, sebulan kemudian baru ditanggapi dan diberikan masukan terkait revisi proposal skripsi tersebut.
Konsultasi dengan Unit Penjamin Mutu Program Studi tidak menghasilkan solusi apa pun. “Cepat lulus, karena kalau kalian lama lulus akan berdampak pada akreditasi kampus,” katanya. Pertemuan dengan Kepala Program Studi juga tidak menghasilkan jalan keluar. “Kalau dosennya sulit dihubungi, ya itu juga salah kalian karena tidak rajin menghubungi. Jalan terakhir, minta tolong kepada Allah.”
Rasanya, apa pun faktor penyebabnya, yang salah selalu mahasiswanya. Kami bahkan diberikan format surat pengunduran diri. Katanya, “Jika memang ada masalah pribadi, keluar saja dulu dari kampus dan selesaikan masalahnya.”
Ini mendorong saya untuk melarikan diri dari kewajiban mengerjakan skripsi dengan menyibukkan diri saya dengan mengikuti berbagai webinar, akademi, kursus, dan sekolah online. Saya dilibatkan untuk membantu beberapa penelitian yang dilakukan oleh organisasi baik sebagai enumerator, penulis hasil wawancara, maupun dalam proses mengolah data.
Dari sini, rasa percaya diri saya mulai kembali. Bukan saya yang bodoh dalam penelitian. Entah apa yang salah, yang jelas bukan kesalahan saya 100 persen ketika penelitian saya tidak selesai-selesai, karena penelitian lain di mana saya terlibat dapat terselesaikan dengan baik.
Baca juga: Kuliah Online di Masa Pandemi Ternyata Lebih Menguras Energi
Skripsi dan Masalah Kesehatan Mental Mahasiswa
Saya juga mulai melakukan observasi kecil-kecilan. Banyak sekali ternyata kasus di mana pengerjaan skripsi menelan korban jiwa karena mendorong mahasiswanya untuk bunuh diri.
Dalam riset daring yang dilakukan Tirto dari Mei 2016 sampai Desember 2018, ada 20 kasus bunuh diri mahasiswa, yang diduga terkait dengan tekanan mengerjakan tugas dan skripsi. Juli 2020 lalu, ada juga seorang mahasiswa di Samarinda yang bunuh diri diduga karena skripsinya ditolak oleh dosen pembimbing.
Secara pribadi, saya juga mendengar senior saya yang bercerita mengenai status kesehatan mentalnya. Dia mengatakan dia telah didiagnosis mengidap gangguan bipolar. Dari ceritanya, pengerjaan skripsi juga menjadi salah satu faktor pendorong ia sampai pada titik terendah di hidupnya.
Terakhir saya bertemu dengannya, ia sudah lebih baik setelah menjalani terapi dan berencana ingin melela mengenai kondisi kesehatan mentalnya kepada publik suatu hari nanti ketika ia siap.
Efek Pandemi dalam Pengerjaan Skripsi
Hal-hal yang saya temukan selama observasi singkat itu terjadi sebelum pandemi COVID-19. Saat pandemi terjadi, saya menangkap ada hubungan antara tingkat stres mahasiswa yang mengerjakan skripsi dengan pandemi. Entahlah, yang saya tahu pasti akibat COVID-19 ini, ada saja mahasiswa yang seminarnya atau sidangnya harus diulang karena terkendala jaringan. Ada mahasiswa atau dosen yang terinfeksi COVID-19 sehingga ini sedikit banyak mempengaruhi proses penyelesaian skripsi mahasiswa.
Saya memilih untuk mendekatkan diri pada dunia psikologi, sebelum pikiran-pikiran negatif semakin merajalela. Saya mencoba untuk melakukan konsultasi ke psikolog secara daring, kemudian juga menjadi klien praktikum mahasiswa psikologi untuk membantu mengerjakan revisi proposal skripsi. Sampai akhirnya, saya memilih menemui psikolog profesional secara langsung sebelum memutuskan untuk mengganti judul skripsi dan memulai semuanya dari awal lagi.
Dengan demikian, saya juga menjadi satu-satunya mahasiswa di angkatan saya yang menjalani seminar proposal dua kali. Kabar ini tentu mengejutkan bagi sebagian besar mahasiswa yang ada di kampus. Pasalnya, beberapa dari mereka juga mengatakan, mereka mengganti judul penelitian, tapi tidak sampai melakukan seminar proposal kembali.
Saya tidak mau memikirkannya terlalu dalam. Mungkin memang saya yang istimewa, mungkin memang ini sudah jalan terbaiknya. Saya memilih berdamai dengan itu dan fokus pada tujuan utama saya—belajar dan berproses, termasuk dalam mengerjakan skripsi.
Setelah sampai pada titik ini, saya ingin benar-benar meminta maaf pada senior-senior saya yang dulunya saya remehkan karena skripsinya tidak selesai-selesai atau terus menerus saya sindir dengan pertanyaan, “Kayapa skripsi, Ka? Digawi lah sudah?” [bahasa Banjar: “gimana skripsi, Ka? Sudah dikerjakankah?”].
Saya betul-betul tidak tahu betapa proses setiap orang itu berbeda.
Ilustrasi oleh Karina Tungari
Comments