Saya punya akses pada internet sejak masih duduk di kelas 3 SMA, masa-masa ketika saya candu pada serial televisi. Layaknya penggemar yang haus konten, saya mengetikkan kata kunci di mesin pencari Google. Dari Google lah saya mengenal tumblr dan Twitter – dua situs mikroblog penyedia fan content yang cukup menyegarkan rasa haus saya. Dari keduanya, saya tahu eksistensi fandom, fan art, fan fiction, canon, pairing, ship, hingga alternate universe. Sejak saat itu, saya menyematkan gelar fangirl pada diri saya sendiri.
Menjadi bagian dari fandom adalah pelarian saya dari realitas yang menyesakkan. Apalagi di tengah pandemi saat ini, menjadi fangirl membantu saya untuk tetap waras.
Mulanya, saya merasa cukup puas menjadi penggemar pasif dengan hanya melakukan re-blogging maupun retweeting ketika menemukan hasil karya yang menarik. Bahkan, selama bertahun-tahun, setelah saya tidak lagi melanjutkan menonton serial televisi dan mulai beralih menjadi penggemar K-Pop, saya tetap nyaman dengan posisi saya sebagai penikmat pasif.
Semuanya berubah ketika saya mulai membuka diri dengan grup asal Korea Selatan Bangtansonyeondan – yang lebih dikenal sebagai BTS. Saya mengetahui keberadaan BTS sejak debut mereka di 2013, tapi mengabaikannya karena sedang menggemari kelompok lain. Ketika kelompok yang saya sukai akhirnya harus rehat karena para anggotanya mulai menunaikan wajib militer pada 2017, saya menjajaki berbagai kelompok idola Korea lain. BTS salah satunya.
Baca juga: Euforia BTS Meal: Salah Alamat Menghujat ARMY
Dari fandom K-pop yang saya ikuti, saya mendengar bahwa penggemar militan BTS atau ARMY memiliki reputasi yang buruk. Hal ini membuat saya enggan untuk mendengar musik BTS. Namun, itu tak bertahan lama, pesona dan popularitas RM, Jin, SUGA, J-Hope, Jimin, V, dan Jungkook menawan saya.
Berawal dari penasaran, saya menonton satu video musik BTS, lanjut ke video lainnya, hingga saya memahami mengapa relasi parasosial ARMY dengan BTS sangat kuat. Pasalnya, BTS membawakan pesan yang jujur, relevan dengan apa yang dirasakan kebanyakan, optimisme mengejar asa, hingga mencintai sesama dan diri sendiri.
Lagu-lagu BTS menemani pada titik terendah hidup saya. Pesan-pesan dari personil BTS memberikan kekuatan pada saya untuk terus bertahan. Bahkan, beberapa lagu BTS jadi bagian dari pemulihan kesehatan mental saya yang sempat terpuruk hingga harus mencari pertolongan profesional. Buat sebagian orang, mungkin ini terdengar berlebihan, tapi BTS benar-benar membuat saya tetap waras ketika itu.
Semakin jauh mendalami fandom BTS, saya semakin kagum pada dedikasi ARMY yang dengan inisiatif kolektif menciptakan ruang aman bagi sesama penggemar melalui ARMY Help Center (AHC). Organisasi ini bergerak di bidang kesehatan mental dengan menyediakan konten psikoedukasi yang menawarkan healing atau pemulihan melalui lirik lagu BTS yang memberikan semangat. Tak hanya itu, AHC juga membuka layanan peer support melalui direct message. Siapa saja, tidak hanya ARMY, dapat mengirimkan pesan untuk bercerita dan didengar oleh teman bicara yang terlatih.
Baca juga: BTSxARMY: Gelombang Protes Global Melawan Rasisme
Saya mengenal AHC setelah pulih dari burnout di tempat kerja. Buat saya, aktivisme ARMY yang rela menjadi ruang dengar bagi orang lain untuk membagikan keluh-kesahnya meninggalkan kesan yang mendalam. Ketika saya akhirnya memutuskan keluar dari pekerjaan untuk melanjutkan pendidikan pada program Magister Profesi Psikologi Klinis, saya kerap teringat akan keberadaan AHC.
Berbekal pengalaman positif ketika menggunakan layanan kesehatan mental dari seorang psikolog, juga ilmu yang saya terima selama menempuh pendidikan sebagai calon psikolog, saya mencoba bergabung sebagai relawan teman bicara di BTS AHC Indonesia. Saya ingin memberikan rasa nyaman yang saya rasakan ketika bercerita pada psikolog soal kesehatan mental.
Mendaftarkan diri sebagai relawan pada Maret 2021, saya dinyatakan lulus pelatihan awal Juli 2021. Dalam waktu sangat singkat, saya baru menjadi teman bicara bagi beberapa ARMY. Walaupun begitu, saya merasa beruntung karena latar belakang pendidikan saya sangat membantu proses ini. Saya memang hanya berperan sebagai ‘pendengar’ karena AHC tidak memiliki kewenangan untuk memberikan layanan psikologis yang hanya dapat diberikan oleh para tenaga kesehatan mental profesional seperti psikolog maupun psikiater. Namun, ada rasa haru ketika para teman bicara mengucapkan terima kasih lantara lega sudah didengarkan.
Baca juga: BTS ARMY: Perempuan Cuma Ingin Bebas Berekspresi
Bagi saya, menjadi bagian dari BTS AHC Indonesia adalah sebuah privilese seorang fangirl. Saya yang dulunya hanya penikmat pasif, kini menjadi bagian dalam suku digital bernama BTS ARMY yang terlibat dalam pergerakan sosial dengan tujuan-tujuan mulia. Menjadi BTS ARMY membuat saya merasa berdaya, tidak hanya itu, melalui AHC saya dapat membantu sesama ARMY menjadi lebih berdaya.
BTS adalah bagian dalam proses hidup saya hingga menjadi penggemar yang lebih berdaya. Saya sadar, akan tetap ada pihak yang memandang BTS dan para penggemarnya dengan sebelah mata karena berbagai stereotip yang melingkupinya. Namun, saya berharap, semoga pada akhirnya keberadaan BTS dan ARMY bisa diterima tanpa prasangka seperti yang disampaikan SUGA: “Jika kalian mendengarkan musik BTS dengan hati dan pikiran terbuka, kalian akan menyukainya. Kalian akan menyukai musik BTS jika mendengarkannya tanpa prasangka.”
Ilustrasi oleh Karina Tungari
Comments