Sejak remaja hingga menginjak usia dewasa muda saya menemukan sulit untuk memaafkan diri sendiri. Entah mengutuk diri sendiri karena hal remeh temeh salah memanggil nama teman atau tidak sengaja menginjak kakinya. Atau kadang merasa kesal sendiri ketika tidak melakukan hal produktif dan memilih istirahat di akhir pekan. Alhasil, saya kerap berpikir itu alasannya kemampuan tidak pernah berkembang.
Sulit sekali rasanya untuk memaafkan diri sendiri bahkan jadi sering susah tidur karena terus memikirkannya. Ungkapan we are our own worst critic memang benar. Namun, saya terus belajar dan mencoba memahami kalau terlalu keras pada diri sampai sulit memaafkan diri sendiri tentu saja tidak baik.
Menurut psikolog Amanda Margia Wiranata, keseringan menyalahkan diri sendiri justru memudahkan kita untuk melakukan self sabotage, dalam kehidupan pribadi hingga profesional. Seseorang akan merasa tidak pantas menerima kebaikan orang lain dan sering meragukan kemampuannya. Ketika terjadi sebuah kesalahan, individu tidak bisa melihatnya secara objektif.
“Langsung merasa saya yang salah. Kalau saya tidak kompeten. Dan momen ketika kesalahan itu terjadi karena dia yang menyebabkannya. Terus merasa tidak kompeten dan tidak pantas dipercaya untuk melakukan sesuatu, ” ujar Amanda kepada Magdalene.
“Seseorang akan menggap dirinya rendah. Di ranah kerja, ketika ada promosi akan cenderung mengatakan orang lain saja deh yang mengambil posisi itu karena dia tidak kompeten,” imbuhnya.
Self-doubt atau keseringan meragukan diri sendiri itu, tambah Amanda, sangat destruktif dalam jangka panjang. Alih-alih mengembangkan diri dan belajar, terlalu sikap keras justru menahan diri sendiri menjadi lebih baik.
Tidak hanya itu, psikoterapis Beverly Engel mengatakan, dampak lain dari sulit memaafkan diri sendiri juga menjadi menelantarkan atau tidak mementingkan diri sendiri, menjadi perfeksionis, kerap melakukan hal-hal berbahaya, dan kerap merasa malu atau bersalah.
Baca juga: Perlukan Bersyukur Jika Hidup Masih Sama-sama Saja?
“Ketika kita merasa bersalah kita harus belajar kalau tidak apa-apa membuat kesalahan. Ketika kita merasa malu kita belajar kalau tidak apa-apa menjadi diri sendiri,” tulis Engel di Psychology Today.
Trauma Masa Kecil Penyebabnya
Amanda berujar, kesulitan memaafkan dan terlalu keras pada diri sendiri dipicu dari pengalaman masa kecil. Seseorang yang diasuh dengan cara destruktif, seperti disalahkan, dikritik berlebihan dan dipermalukan oleh orang tua, guru, maupun teman akan menjadi sosok yang meragukan diri sendiri.
“Anak kecil belum berpikir secara kompleks dan mempertimbangkan banyak hal, seperti ada orang yang marahnya meledak. Beda dengan orang dewasa yang tahu kalau ada orang yang meledak-ledak ketika marah. Anak kecil pun akan menganggap semua orang dewasa memang seperti itu,” ujarnya.
Pengaruh pola pengasuhan dalam membentuk pribadi seseorang memang sudah sering disorot dan dijadikan penelitian psikologis. Anak yang tumbuh di lingkungan positif dan mendukung masa perkembangannya akan menjadi orang dewasa yang berbeda dengan anak di lingkungan penuh kekerasan. Artikel ilmiah Effects of Positive and Negative Childhood Experiences on Adult Family Health (2021) yang diterbitkan BMC Public Health menuliskan hal tersebut.
Anak masa kecil buruk cenderung mengalami isu kesehatan mental, seperti gangguan kecemasan, depresi, dan sulit memproses emosi. Selain itu, juga berpengaruh dengan cara komunikasi dan membuat ikatan emosional dengan orang lain.Sedangkan, anak yang tumbuh lingkungan positif memiliki tingkat kesehatan emosional dan mental yang lebih baik. Mereka pun lebih mudah dalam membangun relasi, percaya diri, memiliki kemampuan berkomunikasi lebih baik, dan memiliki hidup yang lebih sehat.
Berdasarkan hal itu pola pengasuhan anak yang sehat pun semakin didorong. Namun, belum semua orang dewasa memahami hal tersebut. Amanda pun mengatakan psikoedukasi agar orang dewasa paham pola pengasuhan yang merusak perkembangan anak harus terus diupayakan.
“Orang dewasa menganggap mempermalukan anak malah membuat mereka kapok, padahal malah merusak kepercayaan diri mereka. Orang tua jangan memarahi anak di tempat umum. Anak bisa diajak bicara baik-baik kok,” jelasnya.
Baca juga: Tidak Apa-apa Menjadi Biasa saja di Dunia Luar Biasa
Cara Memaafkan Diri Sendiri
Seiring dengan menghentikan pola pengasuhan yang buruk, orang dewasa yang terlalu keras pada dirinya juga harus belajar memaafkan diri sendiri. Biarkan versi dewasa kita merangkul dan ikut ‘menyembuhkan’ anak kecil yang ada dalam diri. Layaknya yang dikatakan Engel, memaafkan diri sendiri adalah langkah yang paling kuat dalam membebaskan diri dari rasa bersalah. Selain itu, memaafkan diri sendiri juga membuat seseorang menjadi lebih sehat secara emosional.
Baca juga: ‘Quarter Life Crisis’: Kita Semua Bingung, Lalu Bagaimana?
“Semakin kamu memaafkan diri, maka semakin bisa melihat diri secara jelas, yang baik dan buruknya. Kamu bisa memahami dan mengakui pernah melakukan kesalahan. Dan relasi dengan orang lain akan semakin baik,” ujarnya.
Untuk mulai memaafkan dan menerima diri sendiri, berikut beberapa langkah kecil yang bisa dilakukan:
- Menerima kalau manusia memiliki kesalahan dan kita bisa memperbaikinya. Kesalahan yang pernah dilakukan juga dilihat sebagai proses belajar untuk menjadi lebih baik. Selain itu, dengan menyadari pernah melakukan kesalahan seseorang menjadi lebih rendah hati.
“Jika seseorang merasa tidak pernah melakukan kesalahan justru berbahaya karena dia akan merasa sombong dan sulit merefleksikan dirinya,” kata Amanda.
Sementara Engel mengatakan, semua orang pasti pernah melakukan kesalahan, baik untuk diri sendiri dan orang lain maupun besar atau kecil. Karenanya, penting untuk melakukan refleksi diri dan mengakui kesalahan.
2. Biarkan diri untuk merasakan kekecewaan dan kesedihan. Amanda mengatakan, proses ini memang tidak nyaman, tapi membantu dalam menyalurkan dan menangkan emosi. Ketika merasakannya dapat dilakukan latihan deep breathing atau menuliskan kekecewaan pada diri sendiri. Selain itu, mengekspresikan diri dengan musik juga dapat menjadi caranya.
Jika belum menyadari, menerima, dan menyalurkan emosi yang dirasakan, maka belum sampai pada tahap memaafkan diri sendiri. Emosi adalah energi yang terus bergerak dan tidak bisa terus ditahan dan harus disalurkan.
3. Mulai memaafkan diri sendiri dan sadar kalau ini menjadi bagian dari hidup yang terus dijalani. Memahami kesalahan adalah cara menuju perubahan yang membuat seseorang lebih empati. Kesalahan yang pernah dilakukan menunjukkan kalau kita memang manusia dan mau bertumbuh dan belajar dari hal itu, kata Amanda.
Engel mengatakan, ketika memaafkan diri sendiri juga harus siap bertanggung jawab atas apa yang pernah dilakukan. Jangan sampai terus mengurung diri dalam rasa bersalah yang jsutru lebih berbahaya untuk semua orang. Saat melakukan itu, perasaan bersalah akan menjadi rasa bangga untuk diri sendiri.
Comments