Sudah dua tahun aku hidup di lembaga pemasyarakatan ini, terputus dari hubungan dan aktivitas lamaku di luar sana. Hidup dalam dunia yang membutuhkan 10 menit untuk berkeliling, dengan manusia yang itu lagi itu lagi, dengan ritme rutinitas yang begitu-begitu saja.
Jam 6.30 pagi ada apel berhitung karena takut kami ada yang hilang.
Jam 7.30 pagi buka keong atau buka kamar, lalu beraktivitas. Aktivitas yang dilakukan bisa positif atau cuma ngerumpi ngomongin orang.
Jam 12.30 sampai 13.30 waktunya tutup keong atau tutup kamar. Bisa tidur siang atau tetap ngomongin orang.
Jam 17.00 tutup keong lagi sampai pagi.
Banyak sekali hal yang aku rindukan setelah sekian lama aku di sini. Percayakah kalian akan mesin waktu Doraemon? Kalau aku lebih percaya akan kekuatan lagu. Entah kenapa menurutku lagu dapat menarik kita ke kejadian masa lalu. Ada beberapa lagu yang dapat menarik aku ke dalam potongan-potongan kenangan masa lalu.
Ketika aku mendengar lagu “Let It Go” dari film Frozen, ingatanku kembali ke dalam apartemenku dengan semua mainan lego dan masak-masakan yang bertebaran di lantai ruangan TV, dengan anak-anakku yang sibuk bercerita ini itu, dan ketika mereka tertidur dalam pelukanku di dalam kamarku yang berjendela besar menghadap ke kolam renang dengan pemandangan kota Jakarta Selatan.
Saat aku mendengar lagu “Roar” dari Katy Perry, pikiranku melayang ke suasana ruangan kerjaku di lantai MZ dengan bunga anggrek putih di sudut meja, dan pemandangan menghadap ke bilik tim-ku yang sering tertangkap asyik menonton YouTube daripada menelepon nasabah. Dan aku rindu kepanikan di kantorku menghadapi target akhir bulan yang pada akhirnya selalu akan kami rayakan saat berhasil ataupun tidak berhasil dengan makan-makan dan menonton film di bioskop dekat kantor.
Baca juga: Surat dari Penjara: Wartel Media Komunikasi Tercanggih
Waktu aku mendengar lagu “Everglow” dari Coldplay, aku merindukan suasana kampus tempat training kantorku di daerah Puncak, Bogor. Dengan berpuluh kamar asrama, hamparan rerumputan hijau, sudut-sudut tempat merokok, kafetaria tempat makan siang semua peserta training, tutor training yang membosankan, cerita-cerita seram tentang kamar asrama, dan Mang Ujo yang rela menolongku membelikan rokok dari mini market yang cukup jauh dari asrama di saat persediaan rokokku habis.
Aku rindu training yang meskipun sering kali tidak aku mengerti isinya, tetapi selalu aku sambut dengan sukacita karena itu berarti hari libur di luar cuti dari semua pekerjaanku di kantor.
Ketika aku mendengar lagu “Closer” dari The Chainsmoker, aku membayangkan macet. Aku rindu merutuki diri sendiri karena terancam telat bertemu nasabah penolong target akhir bulan. Aku rindu memaki pengendara motor yang dengan seenaknya memotong jalanku. Aku rindu menatap frustrasi ke jalanan sambil memikirkan berjuta alasan yang harus kuberikan kepada mereka yang menungguku. Aku rindu polusi kota Jakarta.
Ketika aku mendengar lagu “Sugar” dari Maroon 5, ingatanku berkelana ke tempat gerobak kecil mie ayam kampung di daerah Setiabudi. Mie ayam yang lengket karena aku tidak suka pakai banyak kuah, tetapi lebih banyak pakai saus sambal dengan warna merah yang kemungkinan dari pewarna tekstil. Dengan sambal yang bukan dari cabai segar, dan ayam yang lebih banyak ayam-ayamannya dibandingkan daging betulan. Dengan mangkok beling bergambar ayam jago yang sudah gompal di beberapa sisinya dan sumpit kayu yang entah sudah digunakan berapa banyak mulut. Makan di pinggir jalan berdebu dengan Teh Botol yang aku letakan di pinggir kaki kursi, tanpa rasa takut terkena diare. Tapi sungguh itu lebih nikmat daripada mie ramen atau udon kenamaan di restoran.
Baca juga: Surat dari Penjara: Duniaku 1.200 Meter Persegi
Sungguh banyak sekali hal yang aku rindukan. Entah berapa juta lagu yang harus kujabarkan demi menarik kembali kenangan-kenangan saat itu. Aku rindu malam-malam keliling Taman Menteng sambil main Pokemon Go, rela dikerubuti nyamuk demi mendapatkan Pokemon baru dan bersorak gembira saat bisa mengalahkan Pokemon penguasa di wilayah tertentu.
Aku rindu menjawab pertanyaan random anak-anakku setiap malam ketika mereka mau tidur. Seperti pertanyaan si kakak laki-laki tentang adik perempuannya, “Kenapa penis Adek beda sama penis aku?”.
Aku rindu menonton TV tanpa diprotes belasan orang buat jangan ganti channel. Aku rindu menonton tontonan yang ceritanya bukan orang yang sudah mati ternyata masih hidup, sudah mati ternyata punya kembaran, jatuh dari pesawat tetapi masih hidup. Aku rindu menonton tontonan yang ceritanya tentang manusia betulan.
Yang jelas, aku sungguh rindu kebebasanku. Semoga aku bisa cepat kembali pulang dan semoga abang-abang tukang mie ayam di Setiabudi itu masih sehat walafiat.
Artikel ini merupakan hasil dari #Surat (Suara dari Balik Sekat), inisiatif kolektif dari Jurnal Perempuan, Konde.co, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), dan Magdalene.co untuk memberi pelatihan menulis dasar dan menyediakan sarana menulis bagi narapidana perempuan. #Surat yang ditampilkan telah mendapatkan persetujuan dari penulis.
Comments