Dua tahun lebih bersama memang indah. Paras yang menawan tak jarang membuat hati luluh juga. Tapi kerasnya tamparan lebih menyakitkan. Hingga kini tak pernah bisa dilupakan. Awal bertemu sangat lah manis. Janji-janji saling menyayangi, saling menjaga dan menyusun masa depan juga tak kalah menarik. Satu tahun pertama begitu memesona. Hidupku terasa sempurna. Seperti menyusun puzzle yang telah jelas di mana letaknya.
Hingga pertama kali aku temukan dia terlihat berbeda. Duduk di sudut kamarnya, asyik bermain dengan barang kesayangannya: Narkoba. Dia sungguh berubah. Bukan lagi cintaku yang penuh kasih. Segala harapanku bersamanya tidak lagi nyata. Yang tertinggal hanya lah hidupku yang mendadak gelap, kelam, penuh tekanan, penuh kekhawatiran.
“Kita tidak lebih baik bersama,” ucapku.
Plak!
“Sekali lagi kamu coba pergi dari aku, tidak ada ampun buat kamu. Terima saja aku apa adanya,” bentak Riki.
Begitulah saat pertama tamparan itu mendarat. Aku yang tidak lagi percaya akan hubunganku dengannya mencoba menjauh. Tapi yang aku dapat justru ancaman dan kekerasan. Aku, yang kala itu, sangat mencintainya menganggap diriku terlalu egois. Tidak memikirkan dia yang sedang dalam jeratan narkoba. Aku, yang berlagak menjadi pahlawan, memutuskan untuk terus bersama, dengan tujuan membawanya kembali menjadi dia yang dulu. Dia yang penuh kasih.
Belum satu bulan berlalu, lagi-lagi aku mengalami kekerasan.
Brak!
Dia mendorongku hingga jatuh dengan muka menghadap lantai.
“Sekali lagi kamu berhubungan dengan Ari, lebih sakit dari ini yang kamu rasakan,” ancamnya penuh amarah.
Ari adalah teman baikku. Tidak ada apa-apa antara aku dan Ari, tapi kecemburuannya menjadi luar biasa meskipun dia mengenal Ari sejak pertama kami bertemu. Dirinya, bahkan hidupnya, benar-benar telah habis direnggut narkoba. Segala cara aku lakukan untuk meyakinkan dia bahwa narkoba bukanlah penyelesaian segala masalahnya. Namun yang aku dapat hanya kekerasan yang semakin menjadi-jadi dan dengan alasan yang semakin tak masuk akal.
Tamparan, pukulan, tendangan, semuanya aku rasakan. Bahkan di depan teman-temanku, rasa sakit itu aku alami. Tidak ada yang berani melerai, bahkan untuk sekedar memberi nasihat pun tidak ada. Mereka semua menutup mata, membungkam mulut dan mengikat tangan mereka terhadap kejadian tersebut. Mereka penuh ketakutan.
Aku? Tidak banyak bicara juga. Tidak sepatah kata pun aku mengadu. Aku seperti seseorang yang hanya bisa pasrah.
“Ini pilihanku. Harus aku jalani. Aku tahu dia akan berubah menjadi dia yang dulu penuh kasih,” ucapku yakin dalam hati.
Aku selalu meyakinkan diri untuk menjadi perempuan yang sabar dalam menghadapi cobaan apapun, terutama memperjuangkan cintaku. Namun ternyata, aku tidak sesabar yang aku bayangkan. Bahkan sesungguhnya aku tidak harus menjadi sabar untuk menghadapinya. Aku hanya harus menjadi kuat. Kuat pendirian.
“Berdiri kamu,” perintahnya padaku yang sedang duduk bersila di lantai menikmati makananku.
“Nanti. Aku selesaikan dulu makananku,” ucapku lemah.
Dengan rasa kesal karena penolakanku, dia menginjak makanan yang sedang aku nikmati dan memaksaku berdiri menghadapinya. Ini sudah melewati batasanku. Bukan lagi sabar yang aku rawat sejak setahun lalu yang ada dalam diriku, tapi kemarahan yang sungguh luar biasa. Kemarahan yang juga sejak setahun lalu aku pendam.
Aku hindari tamparannya dan aku lawan pukulannya semampuku. Apa yang aku lakukan semakin membuatnya marah tidak terkendali. Sampai akhirnya dia menodongkan pistol ke arah mukaku.
Tidak, ini bukan imajinasiku. Ini kenyataan terpahit yang telah aku alami ketika umurku baru 19 tahun. Ketika aku sedang berusaha mendapatkan cinta yang indah seperti yang ada di drama Korea. Ketika aku sedang berusaha belajar sekeras mungkin untuk memantapkan masa depanku. Tapi, inilah kenyataan hidup yang aku dapat.
Aku terdiam. Tidak menyangka bahwa orang yang aku cinta bisa setega itu memperlakukan aku. Tidak habis pikir bahwa dia yang sangat aku cinta benar-benar telah hilang direnggut narkoba. Tidak menyangka bahwa kekasihku telah berubah menjadi seorang monster yang sangat mengerikan karena narkoba. Aku hanya pasrah, tidak tahu apa yang akan terjadi.
“Mungkin ini akhir hidupku,” pikirku.
Teman-temannya yang semula diam saja mulai beranjak mendekati. Menenangkan dia, hingga akhirnya pistol tersebut dapat direbut oleh teman-temannya. Aku terselamatkan.
“Tidak ada lagi kesempatan,” ucapku pelan.
Aku beranjak pergi tanpa kata-kata lain. Hidupku jelas lebih berharga dari semua yang aku alami ini. Memutuskan pergi darinya adalah langkah terbesar dalam hidupku. Langkah yang dulunya aku rasa sangat berat. Langkah yang dulunya sangat mustahil untuk aku ambil.
Langkah itu membawaku ke dalam kebahagiaan yang sebenarnya. Langkah itu membawaku menemukan cinta yang indah seperti di drama-drama Korea. Langkah itu juga membawaku menemukan masa depanku yang sesungguhnya. Bukan karena aku egois. Bukan karena aku tidak memikirkannya. Tapi kita, perempuan, berhak untuk memilih dan mendapatkan yang terbaik. Jangan takut mengambil langkah. Berani!
Kikky Amalia adalah makeup artist yang cinta membaca, menulis, traveling dan yoga.
Comments