Ajakan untuk berpikir positif terhadap sesama sering kita dengar, namun sepertinya ini tidak berlaku pada cara pandang kita ke kelompok yang secara ekonomi tidak mampu. Baik di percakapan sehari-hari maupun di sosial media, pandangan negatif ke kelompok miskin sering ditemui. Misalnya, mereka dianggap punya terlalu banyak anak dan tidak peduli dengan pendidikan. Kelompok miskin juga kerap dianggap memiliki kebiasaan yang lebih buruk dibandingkan dengan kelompok kaya.
Pemberian stigma ini tidak saja dilakukan oleh sesama warga, melainkan juga oleh pemerintah. Yang belum lama terjadi, terkait dengan pandemi COVID-19, pemerintah mengeluarkan pernyataan–yang kemudian mereka klarifikasi–bahwa orang miskin dianggap rentan menyebarkan virus.
Mengapa pandangan semacam ini muncul dan apa bahayanya?
Pandangan negatif di masyarakat tentang kemiskinan telah ada sejak lama. Dua setengah abad lalu, penulis Inggris, Arthur Young, mengatakan, “Semua orang, kecuali orang bodoh, tahu bahwa kelompok kelas bawah harus dibuat tetap miskin; jika tidak, mereka tidak akan bekerja keras”. Dalam pandangan ini, kemiskinan dianggap perlu sebagai konsekuensi untuk mereka yang dianggap malas.
Saat ini, meskipun mayoritas kita sepakat bahwa kemiskinan harus dihilangkan, pandangan negatif ke kelompok miskin belum sepenuhnya hilang. Bahkan sebagian orang menganggap ada sebagian kelompok miskin yang tidak berhak menerima bantuan pemerintah atau disebut undeserving poor.
Kelompok yang masuk label ini umumnya terdiri dari orang-orang usia produktif yang masih terjebak dalam kemiskinan. Orang yang percaya bahwa ada kelompok undeserving poor menganggap kemiskinan yang dialami orang-orang usia produktif sebagai kegagalan individu dan bukan karena terbatasnya kesempatan.
Temuan terkini soal kemiskinan dari perspektif psikologi kognitif bertolak belakang dengan pandangan tersebut. Studi yang dilakukan di India tahun 2013 menemukan bahwa petani tebu mengalami penurunan kemampuan kognitif yang signifikan ketika mereka miskin (sebelum masa panen), dibandingkan dengan ketika mereka punya uang (setelah masa panen). Penurunan kemampuan kognitif di masa sulit mengganggu mereka dalam pengambilan keputusan dan perencanaan kehidupan.
Hal yang mungkin sama terjadi pada kelompok menengah ketika sedang dalam kondisi terbatas, misalnya lapar dan belum gajian. Bedanya, berkurangnya kemampuan kognitif tersebut terjadi sementara pada kelompok menengah, tidak permanen seperti yang terjadi pada kelompok miskin.
Baca juga: Kesetaraan Gender dalam Akses Kerja Untuk Akhiri Kemiskinan Perempuan
Mengapa ada pandangan negatif?
Ada beberapa potensi penjelasan di balik ini. Pertama, narasi tentang kemiskinan umum dibuat oleh kelompok dominan yang tidak banyak berinteraksi secara langsung dengan kemiskinan. Keterbatasan ini berpotensi membuat mereka salah memahami kelompok miskin, dan menganggap kelompok miskin malas dan tidak memikirkan masa depan meskipun riset berkata sebaliknya.
Di bidang pendidikan, hasil studi di Pulau Jawa pada 2019 menunjukkan bahwa meskipun memiliki pendidikan formal yang lebih rendah dibandingkan kelompok mampu, orang tua kelompok miskin tetap peduli dengan masa depan dan pendidikan anaknya. Mereka juga ingin anak belajar di sekolah berkualitas baik.
Terkait dengan bantuan langsung tunai, evaluasi oleh SMERU Research Institute menunjukkan bahwa program itu efektif menurunkan kemiskinan dan tidak membuat kelompok miskin menjadi lebih malas.
Dalam hal reproduksi, studi yang dilakukan di Jakarta dan sekitarnya menunjukkan bahwa kelompok miskin tidak ingin memiliki lebih banyak anak dibandingkan kelompok mampu.
Dalam kasus-kasus keluarga miskin memiliki anak banyak, analisis yang dilakukan oleh Esther Duflo dan Abhijit Banerjee—keduanya penerima hadiah Nobel ekonomi dan profesor ekonomi di Massachusetts Institute of Technology, Amerika Serikat (AS)—menunjukkan bahwa kemiskinan rentan menyebabkan kelompok miskin punya banyak anak. Minimnya jaminan sosial dan terbatasnya akses ke layanan dasar meningkatkan kemungkinan pernikahan dini dan angka kelahiran, bukan sebaliknya.
Kedua, pandangan negatif ke kelompok ekonomi rentan bisa juga terjadi karena secara psikologis, kita memiliki kecenderungan untuk menghubungkan kegagalan orang lain dengan sifat mereka. Di sisi lain, kita cenderung menghubungkan kegagalan kita dengan faktor sistem atau faktor eksternal.
Misalnya, jika kita terlambat datang di suatu pertemuan penting, kita mudah menyalahkan macet atau sopir ojek yang salah memilih jalan. Jika hal yang sama terjadi pada orang lain, kita punya kecenderungan untuk menganggap mereka kurang disiplin.
Manusia, lepas dari latar belakang sosialnya, rentan membuat kesalahan. Sayangnya, masyarakat kerap tidak menoleransi ketika kelompok miskin menampilkan perilaku yang tidak sesuai dengan standar dominan yang dianggap benar.
Terakhir, di level institusi, pergeseran kewenangan negara ke individu atau rumah tangga rentan menguatkan pandangan negatif masyarakat ke kelompok miskin. Di Inggris, program pelibatan orang tua pada sekolah anak (yang menggeser tanggung jawab sekolah ke orang tua) rentan mengkambinghitamkan orang tua miskin atas rendahnya kemampuan akademis anaknya. Jika anak tidak kunjung bisa membaca, maka orang tua miskin yang dianggap tidak mengalokasikan cukup waktu untuk membimbing anak.
Di Indonesia, hal yang sama makin sering didengar, terutama di masa pandemi ketika pembelajaran digantungkan pada keterlibatan aktif orang tua. Tentu belajar dari rumah masih harus dilakukan untuk mencegah transmisi wabah di sekolah. Namun, sekolah perlu juga mempertimbangkan bahwa tidak semua orang tua punya sumber daya yang sama untuk mendukung anak secara akademis.
Mengapa berbahaya?
Pandangan negatif ke kelompok miskin berpotensi menghambat terjadinya inklusi sosial. Berkurangnya rasa menghargai diri pada kelompok miskin akibat stigma negatif juga cenderung membuat mereka membatasi diri dari kesempatan hidup dan bersosialisasi.
Stigma juga rentan memunculkan Golem effect, yaitu efek yang muncul ketika ekspektasi rendah disematkan pada suatu individu oleh orang lain maupun oleh diri mereka sendiri. Pandangan dan ekspektasi yang rendah ke kelompok miskin memengaruhi perlakuan anggota-anggota masyarakat terhadap kelompok tersebut.
Guru yang memandang anak-anak ekonomi kurang mampu tidak memiliki semangat belajar, bisa jadi memberikan tantangan belajar yang minimal yang kemudian memengaruhi performa belajar siswa miskin.
Stigma juga bisa menyebabkan kegagalan kebijakan. Dalam buku mereka, profesor ilmu perilaku Sendhil Mullainathan dan Eldar Shafir mengungkapkan, pelatihan kerap menjadi solusi umum untuk masalah kelompok marginal, misalnya kemiskinan dan pengangguran. Meskipun mungkin ada manfaatnya, solusi seperti ini tidak selalu efektif dan justru berpotensi menambah beban kognitif kelompok miskin.
Hal ini sama sekali tidak membantah bahwa pendidikan penting untuk semua kelompok, termasuk kelompok miskin. Namun, pelatihan saja untuk menyelesaikan problem kompleks cenderung mengabaikan akar masalah lain yang juga penting ditangani.
Baca juga: Mengapa Anak dari Keluarga Miskin Cenderung Tetap Miskin Saat Dewasa: Riset
Bagaimana selanjutnya?
Pandangan yang kurang akurat ke kelompok miskin bisa jadi juga disebabkan karena kurangnya representasi kelompok miskin dalam panggung publik. Pembicaraan tentang kemiskinan atau isu sosial relevan lainnya masih didominasi oleh kelompok menengah urban. Hal ini tidak mengherankan karena proses mobilitas sosial di Indonesia yang sangat menantang untuk kelompok miskin.
Semangat progresif untuk mendorong representasi kelompok marginal di isu-isu lain perlu dilakukan untuk isu kemiskinan.
Di isu gender, gerakan panel perempuan memberikan lebih banyak kesempatan kepada perempuan untuk menyampaikan perspektifnya dalam forum publik. Dalam isu disabilitas, telah ada dorongan untuk melibatkan penyandang disabilitas dalam pelaksanaan riset. Hal yang sama seharusnya juga dilakukan di isu kemiskinan atau isu-isu lain yang relevan dengan kelompok miskin. Namun, upaya mendorong representasi ini harus bergerak lebih dari sekadar tokenisme yang menghadirkan representasi secara simbolis saja.
Selanjutnya, media dan pekerja yang bekerja di isu kemiskinan perlu menggambarkan kelompok miskin dengan lebih baik, tanpa harus meromantisasi kesulitan mereka. Ini bisa dilakukan dengan memahami konteks tempat kelompok miskin hidup.
Manusia, lepas dari latar belakang sosialnya, rentan membuat kesalahan. Sayangnya, masyarakat kerap tidak menoleransi ketika kelompok miskin menampilkan perilaku yang tidak sesuai dengan standar dominan yang dianggap benar.
Mengutip sejarawan Belanda, Rutger Bregman, kemiskinan bukan karena karakter yang buruk, melainkan karena keterbatasan uang.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Comments