Diantara karyanya yang terkenal adalah Workers and the State in New Order Indonesia (1997)—Buruh dan Negara di Masa Orde Baru; Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets —Mengorganisir Kembali Kekuasaan di Indonesia: Politik Oligarki di Era Pasar (karya bersama Richard Robison); Empire and Neoliberalism in Asia (2006)—Imperium dan Neoliberalisme di Asia, juga Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia: A South East Asia Perspective (2010)—Melokalkan Kekuasaan Pasca Otoritarian Indonesia: Perspektif Asia Tenggara. Karyanya, Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets menjadi bacaan pegangan klasik untuk mahasiswa yang belajar tentang Indonesia.
Hadiz menyelesaikan thesis PhD-nya dibawah bimbingan Richard Robinson di Universitas Murdoch Australia. Robinson adalah ahli ekonomi politik yang mengawali pendekatan ekonomi politik dalam memahami Orde Baru dan pasca Orde Baru di Indonesia akhir tahun 1970-an. Pernah mengajar di Universitas Nasional Singapura selama bertahun-tahun, Hadiz baru-baru ini juga mengajar di Universitas Murdoch. Di Indonesia, beberapa karyanya telah dipublikasi oleh majalah Prisma LP3ES.
Profesor humoris ini berbagi pandangannya tentang pemilihan presiden tahun ini, tentang para capres dan para pemilih, kepada Magdalene.
Magdalene: Bagaimana penilaian anda tentang Pemilihan Presiden Tahun ini? Apakah pemilu sekarang lebih menentukan masa depan Indonesia dibandingkan pemilu sebelumnya setelah era pasca pemerintahan Orde Baru?
Hadiz: Saya rasa pemilu tahun ini adalah kelanjutan dari pemilu sebelumnya dibanding perubahan besar. Paling bagusnya, pemilu tahun ini akan menunjukkan bahwa pola politik yang telah berlaku di Indonesia selama bertahun-tahun telah sangat diformalkan sehingga tidak ada gugatan atas legitimasinya.
Meski demikian, dari sudut pandang muatan pengambilan kekuasaan dalam proses pemilu ini, apa yang sudah kita saksikan adalah sebuah keberlanjutan. Akankah ini sangat menentukan bagi masa depan (Indonesia)? Saya rasa tidak akan lebih menentukan dibanding pemilu sebelumnya, karena pada dasarnya format pemilu tidak memberikan banyak kesempatan pada kekuatan alternatif untuk terlibat dalam pertarungan politik di Indonesia. Sehingga, jika dikatakan bahwa (pemilihan tahun ini) akan menentukan masa depan Indonesia, menurut saya, pada momen terbaiknya, hanya akan menunjukkan bahwa pemilu Indonesia untuk 10 tahun mendatang ya akan seperti ini saja.
Anda tampaknya mendukung orang-orang yang tidak menggunakan hak pilihnya tahun ini karena mereka juga beralasan yang sama.
Saya sebetulnya bisa bersimpati pada mereka yang tidak akan memilih, tapi saya tidak berharap sejumlah besar pemilih Indonesia akan melakukannya karena saya percaya sekalipun tak sempurnanya demokrasi di Indonesia, seberapapun ia membuat kita frustasi, masih sangat jauh lebih baik daripada kembali ke masa otoritarianisme.
Saya rasa tidak baik bagi semua orang di Indonesia, jika sebagian orang tetap ngotot untuk menentang proses pemilu ini dan hasilnya, atau menganggapnya tidak sah, karena hanya akan mengarah pada gagasan nostalgia untuk kembali ke masa lalu. Meski menurut saya pemilu tahun ini tidak akan sanggup membawa banyak perubahan, tetapi saya memilih agar tidak ada banyak perubahan ketimbang perubahan yang akan membawa Indonesia ke zaman Orde Baru.
Kedua pasangan capres memiliki kaitan sejarah dengan Orde baru. Di Indonesia saat ini, mengapa Orde Baru masih dianggap masalah?
Ada beberapa persoalan terkait Orde Baru. Yang paling diketahui umum adalah Orde Barulah yang telah melembagakan praktik-praktik korupsi, yang menyebarkan kriminalitas di mana-mana dan membuatnya tampak seperti sebuah norma. Saya percaya itulah dosa terbesar Orde Baru. Banyak upaya memerangi korupsi sebetulnya berhadapan dengan kepentingan yang terkait dengan praktik korupsi terlembaga di masa Orde Baru.
Kedua, Orde Baru meninggalkan jejak pelanggaran hak asasi manusia yang benar-benar tidak sesuai dengan nilai-nilai demokrasi. Sejak demokrasi kita membuka pintu bagi kemunculan atau menguatnya pertanyaan atas hak asasi manusia, maka secara otomatis kita harus mundur kembali (melihat) ke Orde baru.
Ketiga, dosa Orde Baru yang lebih sulit diukur adalah melakukan “pembodohan” terhadap rakyat. Melalui pendidikan, media massa, ulama, apa saja, Orde Baru telah secara sistematis membiasakan rakyat Indonesia patuh, tidak berpikir kritis dan menganggap Indonesia tak bisa dibandingkan dengan masyarakat lain karena keunikannya.
Sebagai contoh, karena Pancasila dianggap produk unik budaya Indonesia, maka Indonesia tak bisa membandingkan demokrasinya, ekonomi dan nilai-nilainya dengan masyarakat lain. Saya rasa pemikiran seperti itu telah mematikan kreativitas generasi muda Indonesia karena kreativitas datang dari kemampuan memahami diri kita dengan cara membandingkannya dengan orang lain di luar diri kita. Hanya dengan cara ini kita bisa menciptakan gagasan baru yang sesuai kebutuhan kita demi perbaikan diri kita.
Jika pemilih kelas menengah perkotaan masih mengkonsumsi kampanye dangkal, saya pikir kesalahan mereka sendiri. Pemilih mestinya mencari rekam jejak para capres untuk melihat apakah program mereka masuk akal atau tidak.
Bagaimana anda menilai program dari kedua calon?
Tak ada yang istimewa dari visi dan misi atau program atau manifesto atau apapun sebutannya dari kedua capres. Keduanya memuat program yang sangat umum. Bagi saya, program mereka mengandung banyak pernyataan berkombinasi dengan beberapa harapan tanpa menunjukkan pada kita bagaimana para kandidat bisa membuatnya menjadi nyata. Jika X menjadi presiden, pemerintahnya akan mengurangi angka pengangguran menjadi nol. Tak ada satupun pertanyaan tentang bagaimana ia akan merealisasikannya. Jangan-jangan para pengangguran nanti dibunuh? Jika A menjadi presiden, ia akan menghilangkan kemiskinan. Bagaimana ia akan melakukannya? Jangan-jangan orang miskin diculik? Dalam rekam jejaknya kedua capres gagal meyakinkan saya bagaimana sebetulnya mereka akan bisa mencapai program mereka.
Namun, saya belum melihat adanya tantangan signifikan terhadap program mereka. Mungkin karena para pemilih tidak menuntut lebih atas pernyataan terbatas semacam itu, tidak cukup menantang mereka untuk menjelaskan lebih terkait program mereka. Saya belum pernah melihat pemilih menantang dengan signifikan seorang capres untuk menjelaskan apa yang ia lakukan pada Mei 1998.
Para kandidat tidak akan memberi lebih karena para pemilih tidak menuntut lebih. Mereka bisa lolos dengan gampangnya karena para pemilih terlalu gampang dibuat senang dengan apa yang dikatakan para capres sejauh ini. Kenapa pemilih tidak menuntut lebih? Apakah programnya masuk akal? Apakah program-program itu bisa terealisasi? Bagaimana para kandidat merealisasikannya? Mengapa para kandidat memilih melakukan hal ini ketimbang hal lain? Banyak sekali pertanyaan yang bisa diajukan para pemilih kepada para kandidat. Namun, mereka tidak melakukannya. Memang, kecenderungan ini adalah hasil pengaruh Orde Baru di Indonesia saat ini.
Lalu, apa yang dapat menjadikan pemilih sadar di tengah kampanye pilpres yang sangat dimediasi ini?
Sangat sulit karena tidak ada institusi kuat yang memainkan peran itu dalam pendidikan politik kita. Oleh karena itu, individu atau pemilih harus mencari informasi sendiri dengan seksama untuk memahami kondisi politik sekarang.
Para pemilih harus mau mencari sendiri sumber data dan informasi. Ini sebetulnya lebih mudah dilakukan sekarang dibanding sebelumnya dengan kehadiran internet dan teknologi lainnya. Pemilih kelas menengah memiliki akses lebih dari cukup untuk mengakurasi sumber informasi. Misalnya, mereka bisa mencari berita utuh yang akurat tentang apa yang terjadi di Jakarta pada Mei 1998. Jika pemilih sekarang mendengar atau membaca kritik melawan salah satu capres, mereka bisa mengecek akurasi kritik tersebut. Cari berita tentang peristiwa-peristiwa penting itu atau kinerja para kandidat.
Pemilih kelas menengah, yang memahami bahasa Inggris, bisa mendapatkan informasi dari media berbahasa Inggris yang tersedia di Internet jika mereka khawatir publikasi dalam negeri cenderung bias. Poinnya adalah pemilih harus lebih aktif. Tidak ada alasan bagi para pemilih sekarang ini, khususnya kelas menengah, dibodohi oleh isu–isu kampanye yang disajikan.
Kampanye pemilu dewasa ini dicirikan oleh kefiguran. Apa yang salah dari berkeputusan memilih berdasarkan penampilan, gaya atau semacamnya?
Begini, pemilih kelas menengah tak beralasan jika (masih bisa) dibodohi oleh penampilan luar saja. Kemalasan dalam mencari informasi saja yang mungkin bisa membodohi mereka. Mungkin bisa beda cerita kalau mereka adalah pemilih miskin atau tinggal di pedesaan atau harus bekerja di sawah sepanjang hari.
Jika pemilih kelas menengah perkotaan ini masih saja mengkonsumsi kampanye murahan, saya bilang sih itu salah sendiri. Pemilih mestinya mencari rekam jejak para kandidat untuk melihat apakah program mereka masuk akal atau tidak. Bisakah kita percaya visi dan misi kandidat jika bertolak belakang dengan rekam jejaknya? Tentu saja, kita tak semestinya terobsesi pada masa lalu. Namun kita juga tak semestinya dibodohi olehnya. Rekam jejak para kandidat sangat penting bagi pemilih untuk menentukan apakah para kandidat dapat merealisasikan janjinya ataukah tidak.
Memalukan bila para pemilih tidak kritis. Namun, ini juga berkaitan dengan fakta bahwa mayoritas media di Indonesia sudah hanyut bersama sirkus kampanye pemilu. Ini juga berkaitan dengan fakta bahwa media dimiliki oleh mereka yang punya kepentingan politik dalam pemilu ini. Ini juga adalah bagian warisan Orde Baru untuk “membodohi” orang.
Apakah anda akan memilih?
Sayangnya, saya belum terdaftar.. (sambil tertawa). Ini bukan bercanda, saya tidak akan memilih, tetapi saya tidak akan mendorong orang lain untuk tidak memilih.
Tentang Muninggar Sri Saraswati
Muninggar adalah seorang supir, tukang masak, perawat, pengawal, dan pendakwah, juga teman bermain dan teman tidur anaknya Ariadne Hartanto. Di sela-sela itu ia juga seorang pengintai penuh waktu akun politisi di Twitter dan Facebook, yang menguji kewarasannya sampai titik batas sebagai syarat gelar PhD.
Diterjemahkan oleh Savitri dan diedit oleh Savana dari politikrakyat.com, dari artikel The Dumbing Down of Indonesian Voters: A Scholar’s View.
Comments