Dear Puput,
Bunda masih ingat kamu pulang ke rumah dengan mata sembab. Tak ada lagi yang mau berteman, katamu saat itu. Orang-orang menjauh, di setiap sudut sekolah pun hinaan dan perundungan jadi kawan. “Ih takut, ada anak HIV,” “Jangan temenan sama Puput,” dan seterusnya.
Tentu saja hati Bunda sakit. Dunia Bunda runtuh mendengar putri kesayangan Bunda diperlakukan begitu. Hari ini saat Bunda menulis surat untukmu, sisa-sisa luka itu masih menganga. Namun, Bunda harus tetap kuat menuliskannya. Sebab, ini tak cuma jadi puisi kangen Bunda untukmu tapi juga penguat untuk ibu-ibu lain yang punya masalah serupa.
Ananda Eka Putri Afriyanti, itulah namamu. Sebuah nama yang kami buat dengan luapan bahagia, doa, dan harapan. Bunda ingat sekali rasa syukur saat mendekapmu hari itu, 8 Januari 2002. Belakangan orang-orang memanggilmu Puput dan sesuai doa kami, kamu tumbuh jadi perempuan cantik, kuat, cerdas.
Puput, apakah kamu masih ingat? Dulu Bunda sampai kekeringan kata begitu tahu kamu lulus Sekolah Menengah Pertama (SMP) dengan nilai yang memuaskan. Bahkan, saat kamu diterima di Sekolah Menengah Atas (SMA) yang dikelola Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI AU), semakin berlipat-lipat kebanggaan Bunda.
Bagaimana tidak. Sekolah yang berjarak tidak jauh dari rumah kita itu punya predikat cukup baik dan dikenal menghasilkan lulusan-lulusan top. Tak masalah kalau pun aku harus merogoh kocek dalam demi kamu, si putri sulungku, selama kamu bahagia dan bertumbuh di sana.
Baca juga: Bagaimana Perempuan Indonesia dengan HIV/AIDS Berjuang dengan Stigma
Sebagaimana tahun ajaran baru, pekan itu ditandai dengan Masa Orientasi Siswa (MOS) serentak untuk siswa-siswa anyar. Tujuannya adalah untuk mengenalkan siswa dengan sekolah, guru dengan siswa, juga siswa dengan kakak-kakak angkatan.
“Bun, pokoknya Kakak bakal rajin belajar, dan tunjukkan ke Bunda kalau Kakak serius sekolahnya,” ucapmu penuh semangat.
Bunda tahu, kamu sudah tak sabar bertemu dengan teman-teman baru, guru-guru, dan belajar hal baru. Aku ingat berpesan padamu, “Kakak, Bunda percaya kamu akan selalu kasih yang terbaik buat Bunda.”
Kamu benar-benar membuktikan bisa sekolah dengan baik. Setiap hari, Bunda melihatmu tertawa ceria. Tak sekali pun kamu mengeluh pada Bunda. Namun ternyata, Bunda salah. Maafkan Bunda yang tak tahu, di balik senyumanmu, ada luka yang begitu hebat. Bunda tak tahu kamu sekuat itu, Puput, menyimpan kepedihan sendiri.
Sampai akhirnya sepucuk surat datang mengurai lukamu. Isinya undangan sekolah agar aku hadir dalam pertemuan dengan wali kelas dan kepala sekolah. Dituliskan juga bahwa pertemuan itu bakal membicarakan hal serius mengenai Puput. Sontak, perasaanku campur aduk saat itu.
“Ah, mungkin ini cuma soal Puput yang sering terlambat ke sekolah!” ucapku menenangkan diri.
Aku memang sengaja menutupi status penyakit Puput dengan harapan kamu tak dirundung. Aku tahu kita berdua kuat, kita berdua tak putus berobat demi tetap sehat, tapi masyarakat tak siap menjadi ruang aman, Put. Kamu menangis hari itu.
“Bunda, maafin aku. Puput enggak punya teman lagi. Semua teman Puput di sekolah maupun di media sosial nge-bully dan menjauh. Mereka sudah tahu soal penyakit Puput,” katamu seraya memelukku kencang.
Kamu bercerita, saat praktik olahraga lari di lapangan, seorang guru mengambil obat di dalam tasmu lalu memeriksanya di laboratorium. Itu memang obat antiretroviral (ARV), yang bisa membantu menurunkan risiko penularan dan membuatmu tetap kuat. Namun, penemuan obat itu tak bisa jadi alasan sekolah atau teman-teman untuk menjauhimu, Put.
“Bunda kenapa aku harus terlahir dengan HIV? Apa yang salah denganku,” katamu saat itu.
Bagai tersambar petir. Aku cuma bisa membisu. Seluruh syaraf yang mestinya bisa digerakkan dengan mudah, terasa kaku. Aku diam. Ada air mata yang jatuh di pipiku. Berusaha kuat, aku bilang pada gurumu saat itu, “Iya Pak, saya dan anak positif HIV tapi memangnya ada yang salah ya dengan HIV?”
Baca juga: Saya Ibu dengan HIV, Mampu Lawan Stigma Masyarakat
Pertemuan itu tak menghasilkan solusi apapun. Puput pun bertambah murung. Bunda melihatmu semakin kehilangan semangat. Bunda masih ingat, saat ada pekerjaan kelompok, tidak ada satu pun murid yang bersedia memasukkanmu ke dalam grup mereka. Sampai-sampai kamu harus secara langsung meminta kepada guru, agar dibantu dicarikan kelompok.
Tak hanya itu, setiap hari Bunda harus mengantar jemput kamu, bahkan menungguimu di kantin berjam-jam, dan memastikan tak ada yang berani merundung. Bunda cuma mau Puput tahu, kamu tak sendirian.
Rupanya perjuangan ini belum selesai. Suatu hari sekolah memintaku menyerahkan dokumen rekam medismu. Kepala sekolah khawatir kalau kamu jatuh dan berdarah, itu akan membuat siswa lain tertular HIV. Aku emosi saat itu dan langsung memberanikan diri untuk membantah.
“Memangnya sekolah ini tidak pernah ada edukasi terkait HIV, Pak?”
“Lagipula tidak semudah itu meminta surat rekam medis ke pihak rumah sakit lalu menyerahkannya pada Bapak. Kalau Bapak cuma mau tahu pola penularan HIV, saya bisa menjelaskan dengan rinci,” kataku.
Masih dengan marah-marah, Bunda bertanya, memangnya belum pernah ada LSM yang datang ke sekolah untuk melakukan penyuluhan?
Kepala sekolahmu menggeleng, “Sudah pernah kok, Bu.”
“Kalau sudah pernah, harusnya seisi sekolah tak perlu takut dengan HIV,” tutupku dengan penuh emosi. Aku meninggalkan ruangan seketika. Kenapa sekolah yang selama ini kupikir mampu memberikan edukasi dan ruang aman, justru gagal melakukannya?
Aku yakin banyak orang seperti Puput di luar sana yang punya pengalaman serupa. Dalam Jurnal Plos bertajuk HIV-Related Discrimination among Grade Six Students in Nine Southern African Countries (2014) dijelaskan, sebanyak 1-2 anak dari sepuluh siswa memutuskan untuk menghindari anak yang memiliki HIV/AIDS. Bukankah ini tak adil untukmu, Put?
Padahal Bunda tahu, HIV/ AIDS tidak akan mudah ditularkan cuma karena kontak fisik, ngobrol bersama, bergantian memakai baju, makan bersama, dan sejenisnya. Human Immunodeficiency Virus (HIV) cuma dapat ditularkan lewat kontak cairan tubuh, seperti cairan vagina atau sperma saat melakukan aktivitas seksual, atau penggunaan jarum suntik secara bergantian.
Baca juga: Bagaimana Menjadi Positif HIV Membuka Mata Saya
Sekolah Harus Siap Jadi Ruang Aman
Dear Puput,
Bunda selalu bermimpi sekolah di manapun tempatnya bisa membuat orang-orang sepertimu, seperti kita merasa aman. Aman untuk belajar, bergaul, dan bersosialisasi. Sekolah seharusnya tak andil memberikan trauma pada siswa dengan HIV dan masalah kesehatan lainnya.
Guru dan kepala sekolah di sisi lain, juga harus mengedukasi dirinya tentang penyakit tersebut. Bukankah orang sudah harus adil sejak dalam pikiran, bukan? Lalu di mana adilnya jika kamu yang cuma berharap bisa belajar dengan baik, harus menghadapi aneka diskriminasi dan perundungan ini?
Menurutku, jika memang belum siap lepas dari stigma, penting juga buat sekolah menghormati keputusan orang tua dan siswa untuk merahasiakan penyakitnya atas nama keamanan dan kenyamanan bersama.
Pengalamanku denganmu sungguh jadi pelajaran berharga, Put. Kamu berhak bersekolah dan menerima perlakuan yang sama seperti anak lainnya. Kamu berhak merasa berharga dan diinginkan, tanpa takut dikucilkan.
Kini meski kamu tak ada di sisi Bunda, semangatmu untuk bertahan sekuat tenaga semoga tetap menyala-nyala di sini. Setidaknya ketika matahari di sini tak cukup hangat, semoga matahari di tempatmu jauh lebih cerah ya, Nak.
Ini adalah artikel pertama dari series tulisan pelatihan jurnalis komunitas IAC di Bali, Oktober 2022.
Comments