Pernah ada di titik terendah kehidupan, merasa luar biasa lelah, dan kewalahan secara fisik dan mental, sampai-sampai tak tahu lagi harus melakukan apa? Itu saya beberapa waktu lalu, dan itulah salah satu trigger terbesar untuk melakukan hal yang belum pernah saya lakukan saat itu: Menemui psikolog. Harapannya, mengobrol dengan psikolog bisa bikin saya meluruskan benang-benang kusut di kepala, atau setidaknya merasa tenang karena mendapatkan validasi emosional. Tentu, apa yang saya lakukan tidak sepenuhnya benar karena baru mencari bantuan ketika sudah di ujung tanduk. Namun, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali, bukan?
Saya pun membuat janji temu dengan psikolog. Tak lama, jadwal konsultasi daring tiba. Bertegur sapa, basa-basi, lalu dimulailah konsultasi itu. Saya mulai menceritakan apa yang saya rasakan, latar belakang kehidupan, kondisi hidup, hal-hal apa saja yang mengganggu pikiran dan kesehatan mental saya. Salah satunya adalah mengenai kondisi keluarga yang tidak kondusif sampai melibatkan kekerasan fisik dan mental.
Alih-alih validasi, perasaan dimengerti dan didengarkan, apalagi saran dan masukan, saya malah mendapatkan masukan yang sama sekali tak saya butuhkan. Dia mengatakan, saya “harus menerima konsekuensi” karena “tidak melakukan apa-apa” dan “tidak cukup berusaha” memperbaiki kondisi keluarga dan kehidupan saya. Dia kemudian memberikan ceramah gratis soal bagaimana saya harus mengikuti segala perintah orang tua, selalu mengalah karena saya anak pertama, dan omong kosong lain yang ingin saya hapus dari kepala.
Mungkin karena mengeluarkan uang, atau karena sudah benar-benar buntu, saya jadi membangun ekspektasi bahwa ngobrol dengan psikolog akan membantu saya merasa lebih baik. Mungkin itu salah, tapi mungkin juga tidak. Bukankah itu tujuan orang menemui psikolog, terapis, life coach, atau apa pun namanya? Baik, kalau itu terlalu berlebihan untuk diharapkan, bisakah setidaknya tidak memberikan komentar buruk yang menghakimi dan menyudutkan?
Baca juga: Jodoh Enggak Cuma dalam Urusan Kencan, tapi Juga Konseling
Konsultasi Psikologi Bisa Membantu Sekaligus Memperburuk
Ternyata, bukan hanya saya dan satu-dua orang lain yang memiliki pengalaman buruk ini. Ada banyak orang di dunia yang mengalami konseling atau terapi buruk karena ditangani oleh orang-orang yang tidak melakukan praktik psikologinya secara tepat, ujar Glenys Parry, profesor dan peneliti psikologi dari University of Sheffield kepada The Guardian (2014). Mencari pertolongan dan mendapatkan konsultasi psikologi memang bisa membantu kita pulih dari kondisi kesehatan mental yang buruk bila ditangani dengan tepat. Namun, bila ditangani dengan buruk, alih-alih sembuh dan merasa lebih baik, kondisi psikis pasien dapat semakin memburuk bahkan depresi.
Tiga sampai tujuh hari setelah sesi konsultasi itu berakhir, saya baru bisa mencerna itu semua dan menyadari kalimat-kalimat itu benar-benar keluar dari mulut seorang psikolog. Setelah efek shock itu selesai, kondisi mental saya jadi lebih buruk daripada sebelumnya, persis seperti temuan Parry.
Ada perasaan baru yang linear dengan temuan tersebut, yaitu semakin buruknya dampak psikis dan emosional ketika respons buruk yang menyudutkan perasaan kita keluar dari mulut seorang pakar. Lebih buruk ketimbang jika itu dikatakan oleh orang biasa, seperti teman, netizen, dan keluarga. Rasanya seperti mendapatkan validasi bahwa apa yang saya rasakan dan lakukan memang betul-betul salah secara teori dan kacamata ahli.
Baca juga: ‘Plot Twist’ Kasus Dedy Susanto dan Tips Sebelum Terapi Psikologis
Padahal, saya percaya apa yang seseorang rasakan itu valid, dan spektrum emosi serta pemikiran manusia sangatlah kompleks. Sehingga, tak bisa disederhanakan dengan penilaian dangkal dan sebelah mata dari siapa pun.
Ada pula penelitian Joe Curran, dkk. berjudul “How Does Therapy Harm? A Model of Adverse Process Using Task Analysis in the Meta-Synthesis of Service Users' Experience” (2019) yang mengungkapkan, dua faktor utama yang membuat proses pemulihan psikologi gagal. Di antaranya, perilaku menyalahkan korban dan penyalahgunaan kekuatan, termasuk perilaku tidak membantu seperti over-control, kaku/ tegang, pelanggaran terhadap batasan psikologi pasien, dan kurangnya pengetahuan. Hal tersebut menyebabkan timbulnya perasaan dibungkam, tidak dihargai, dan tidak berdaya dalam diri pasien.
Perasaan disalahkan itulah yang paling dominan dalam diri saya. Bila ingin disalahkan dan dihakimi atas hal-hal yang ada di luar kuasa, saya akan mencari netizen, bukan pergi dan menemui psikolog.
Baca juga: Dukung dan Dengar Pasangan itu Baik, tapi Kita Bukan Terapisnya
Apa yang Bisa Dilakukan?
Saya selalu percaya akan pentingnya mencari bantuan psikologis, dan mengutuk pihak mana pun yang menganggap serta mempromosikan, mencari layanan psikologis aneh, tabu, atau tidak perlu. Saya juga yakin, pada dasarnya semua orang memiliki kebutuhan untuk menemui psikolog, namun tak semua sudah menyadari atau berani untuk mengakui hal itu, dan memiliki akses yang mumpuni.
Meski apes pada pengalaman ini, saya percaya, masih ada psikolog di luar sana yang telah berhasil dan akan terus memberikan konsultasi-konsultasi berkualitas yang sensitif dengan kondisi korban. Tidak memberikan ceramah gratis, apalagi menghakimi kondisi serta keputusan hidup orang lain. Saya juga tidak akan menjadikan ini pengalaman terakhir, dan akan mencoba kembali untuk berkonsultasi dengan psikolog baru setelah pulih dari pengalaman ini.
Pelajaran yang saya petik dari pengalaman ini adalah pentingnya calon pasien untuk mencari tahu latar belakang psikolog yang akan ditemuinya. Misalnya, lakukanlah cek latar belakang, seperti media sosial, pendidikan, dan sebagainya. Dengan begitu, kita bisa mendapatkan gambaran orang seperti apakah mereka, terlihat dari status atau konten-konten yang biasa mereka bagikan, atau komentar-komentar mereka terhadap isu dan peristiwa yang terjadi.
Kita juga bisa mencari tahu latar belakang psikolog dari riset-riset yang pernah mereka lakukan untuk mengetahui bidang keilmuwan atau isu yang secara spesifik menjadi fokus dan spesialisasi mereka. Dengan begitu, kita bisa mengetahui apakah itu sejalan dengan isu yang sedang kita hadapi. Misalnya, bila isu yang kamu hadapi atau rasakan berkaitan dengan gender dan seksualitas, kamu bisa secara spesifik memilih psikolog yang fokus membahas atau meneliti isu-isu tersebut. Ketimbang membeli kucing di dalam karung, lalu menyesal setelahnya.
Comments