Untuk menjalankan tugasnya sebagai pelaksana program imunisasi di Pulau Moor di Papua, perawat Yudith C.M. Raru harus menempuh perjalanan sampai lima jam dengan dua moda transportasi untuk mencapai pulau tersebut. Moor adalah pulau kecil di Teluk Cenderawasih di Kabupaten Nabire, yang jaraknya sekitar 1,5 jam penerbangan dari ibu kota provinsi, Jayapura.
Dari tempat tinggalnya di kota Nabire, Yudith menempuh satu jam perjalanan dengan mobil menuju pelabuhan Samabusa, lalu menggunakan speed boat atau kapal cepat selama tiga jam sampai ke Pulau Moor.
“Itu pun kalau tidak terjadi perubahan cuaca. Kalau ada gelombang, hujan, dan angin jarak tempuh bisa sampai 4-5 jam,” kata perempuan berusia 51 tahun tersebut kepada Magdalene, dalam wawancara lewat video (2/3).
Sebagai Kepala Puskesmas Pulau Moor, Yudith tidak pernah bosan mengingatkan pentingnya melakukan imunisasi, meski masih ada warga yang menghindar dari petugas kesehatan. Jika pihak puskesmas menjadwalkan waktu imunisasi yang diumumkan lewat gereja, masih ada saja warga yang enggan untuk datang.
Untuk mengatasi hal tersebut, Yudith mengatakan pentingnya pendekatan “lembut” lewat penyuluhan atau pendidikan, serta pembagian alat-alat higienis seperti sabun dan sikat gigi, atau bahan pokok seperti gula, agar warga mau mendengarkan. Yudith bersama petugas puskesmas lainnya juga mendatangi langsung rumah-rumah penduduk Pulau Moor, bahkan mendatangi mama-mama yang sedang berkebun jika mereka tidak mengikuti program imunisasi yang diselenggarakan.
“Sebagai anak asli Pulau Moor, saya ingin mengubah pandangan masyarakat, bahwa imunisasi adalah kebutuhan mendasar yang akan melindungi mereka dari penyakit hingga dewasa,” ujarnya.
Sejumlah warga akhirnya rutin melakukan imunisasi lanjutan bagi anak mereka, meski awalnya sempat ragu saat anak mengalami demam setelah imunisasi.
“Kami memberi mereka informasi bahwa itu hal yang normal, jika ada hal baru yang masuk ke dalam tubuh dan menimbulkan panas,” kata Yudith.
Baca juga: 32 Tahun Posyandu: Miskin Dana, Perspektif Gender, dan Regenerasi
Imunisasi Cegah Kematian dan Lindungi Masyarakat
Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), imunisasi mampu mencegah 2-3 juta kematian setiap tahunnya akibat penyakit seperti tetanus, difteri, dan campak. Selain itu, jika proses vaksinasi global meningkat, maka mampu mencegah 1,5 juta kematian lagi. Lebih jauh, imunisasi mampu memutus rantai penyakit dan malnutrisi, melindungi dari penyakit mematikan seperti polio dan meningitis, serta anak yang telah divaksin mampu melindungi masyarakat. Berbanding terbalik dengan anak tidak divaksin yang mampu menularkan kepada anak yang tidak divaksin lainnya.
Di Indonesia sendiri vaksin yang tergolong dalam imunisasi dasar, bagi anak usia 0 sampai sekolah dasar, adalah untuk melawan hepatitis B (HB), tuberkulosis dan polio (BCG & Polio), difteri, pertusis, tetanus (DPT), serta campak.
Upaya gencar Yudith untuk memastikan semua warga Pulau Moor divaksinasi adalah karena dua penyakit kronis, tuberkulosis dan kusta, masih endemis di tempat tersebut.
“Kami belum mampu memutuskan mata rantainya. Ketika kita memberi obat setiap hari juga harus memastikan mereka benar-benar meminumnya. Apalagi untuk anak muda, (kami menyampaikan) bahwa obat ini penting untuk kesehatan. Bantuan keluarga juga sangat mendukung (untuk tingkatkan kesadaran),” ujarnya, mengingatkan bahwa pengobatan tuberkulosis tidak boleh putus selama enam bulan.
Baca juga: Pandemi Zaman Kolonial Hingga Kini, Kesehatan Ibu dan Anak Tetap Rentan
Imunisasi selama Masa Pandemi
Selama pandemi, data dari Global Vaccine Alliance menyebutkan terdapat 21 negara yang kekurangan stok vaksin karena pembatasan wilayah. Sementara di Indonesia terjadi kekurangan stok vaksin IPV dan polio. Sementara itu, survei Rapid Assessment: Impact of COVID-19 Pandemic On Immunization Services In Indonesia hasil kerja sama UNICEF dan Kementerian Kesehatan pada 20-29 April 2020, menyebutkan terhambatnya proses imunisasi juga disebabkan beberapa faktor lain seperti: tingginya risiko penularan virus COVID-19, jumlah personel kesehatan yang berdedikasi untuk vaksinasi masih terbatas, gangguan transportasi karena pembatasan jalan, hingga penutupan sekolah.
Namun, dalam webinar “Pekan Imunisasi Dunia” April lalu, WHO menyebutkan imunisasi global tetap belum maksimal jauh sebelum pandemi. Data WHO pada 2018 menunjukkan, masih terdapat 19,4 juta anak yang tidak menerima imunisasi rutin. Di antara angka tersebut 60 persen berasal dari 10 negara yang salah satunya Indonesia.
Sementara itu studi bertajuk Determinants of Immunisation Coverage of Children aged 12-59 Months in Indonesia: A Cross-sectional Study oleh dua peneliti dari Department of Primary Care and Public Health Sciences, King’s College London, menyebutkan Maluku dan Papua menjadi daerah yang cakupan imunisasinya belum maksimal. Hal tersebut disebabkan oleh faktor sosio-ekonomi masyarakat yang masih rendah.
Namun nun jauh di Pulau Moor, petugas kesehatan seperti perawat Yudith terus memastikan semua warga telah diimunisasi. Ia gigih dan rutin meyakinkan masyarakat tentang pentingnya vaksinasi, meluncurkan spanduk-spanduk kesehatan dengan ilustrasi menarik untuk mencuri perhatian, hingga melakukan pendekatan personal dengan warga.
“Berbeda dengan daerah lain, seperti Jakarta yang penduduk langsung datang sendiri. Untuk wilayah Papua kita harus datang dengan berbagai cara agar pelayanan ini diterima masyarakat dan memberikan yang terbaik untuk mereka,” ujarnya.
Di tengah pandemi ini, pihaknya juga giat mengingatkan kepada masyarakat betapa pentingnya menjaga protokol kesehatan seperti mengenakan masker dan menjaga jarak.
Baca juga: Sinergi Vaksin dan Herbal untuk Lawan COVID-19
Para petugas puskesmas Pulau Moor sendiri telah menerima vaksin COVID-19. Ia mengatakan sangat penting untuk daerah pelosok, seperti Pulau Moor menerima vaksin karena virus tidak pandang bulu di mana warga bermukim.
“Kami sebagai petugas kesehatan atau garda terdepan harus menerima vaksin dan siapa pun tidak boleh menolak untuk mendapat vaksin,” ujarnya.
Kekuatan Tenaga Kesehatan Perempuan
Datang dari keluarga petani, Yudith telah menjadi perawat sejak berusia 20 tahun, tepat setelah menyelesaikan pendidikan Sekolah Perawat Kesehatan (SPK). Ia lalu menjalankan mandatnya sebagai Kepala Puskesmas selama 13 tahun sejak ditunjuk langsung oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Nabire pada 2008.
Ia mengatakan sejak remaja telah memiliki keinginan untuk membantu masyarakat dalam pelayanan kesehatan.
“Kami di Papua membantu orang yang sama sekali tidak tersentuh dengan pelayanan kesehatan, seperti yang di daerah pelosok, terutama di Kabupaten Nabire,” ujarnya.
Saat pertama kali menduduki jabatannya Yudith adalah satu-satunya perempuan di antara lima petugas puskesmas saat itu. Seiring dengan waktu, jumlah petugas kesehatan perempuan di Pulau Moor juga semakin bertambah, sampai puskesmasnya memiliki jumlah petugas perempuan terbanyak dibandingkan puskesmas lain.
“Selain karena keinginan saya untuk berbakti kepada Pulau Moor, kepala dinas yang saat itu yang juga perempuan menginginkan kepala puskesmas sesama perempuan karena cara berpikir perempuan yang berbeda. Dengan seorang perempuan, pelayanan puskesmas menjadi lebih baik,” jelasnya.
Comments