Pecah berkeping-keping. Kira-kira begitulah hidup Martha Weiss, seorang perempuan kelas menengah kulit putih, usai melahirkan bayinya.
Hal itu digambarkan secara detail dalam pembuka film Pieces of a Woman, nyaris tanpa putus selama 20 menit. Bagaimana kesakitannya sebagai calon ibu; kepanikan Sean Carson, pasangannya, yang datang dari kelas pekerja; serta Eva, bidan pengganti yang terus-menerus menguatkan Martha meski di bawah tekanan.
Akhir berkata lain. Bayi Martha tidak kunjung menangis, tapi kemudian sempat menangis dan dipeluk Martha, sebelum lalu membiru dan berhenti bersuara. Selamanya.
Film yang diputar di Neflix ini mengingatkan saya pada peristiwa setahun lalu. Saya melahirkan bayi yang sudah tidak bernyawa ketika usia kandungan saya 7 bulan. Sebelumnya, kehamilan saya didiagnosis preeklamsia, kondisi peningkatan tekanan darah disertai dengan adanya protein dalam urine, karena hipertensi dan diabetes yang saya miliki.
Usia saya sudah mencapai 42 tahun kala itu. Apa pun obat-obatan yang saya konsumsi tidak dapat menurunkan tekanan darah yang mencapai 170/100. Hingga suatu pagi berkata lain, detak jantung janin saya berhenti.
Saya tak percaya. Saya terkejut dan menangis meski tak ada air mata yang keluar. Saya berusaha tenang menelepon suami, adik, dan Ibu. Berusaha tenang ternyata menolong keadaan. Proses persalinan saya berjalan dengan baik, normal, dan tidak lewat operasi caesar, meski saya sedih sebab saya melahirkan bayi yang tidak bisa berada di dalam pelukan.
Luka dan Kebungkaman Ibu Setelah Persalinan
Seperti yang saya lalui, Martha (diperankan oleh aktris Inggris Vanessa Kirby) tak pernah membayangkan bahwa ia akan melalui masa kelam setelah persalinan. Martha dengan air susu yang masih merembes dan berulang kali melekatkan payudaranya dengan sekantong makanan beku. Atau ia yang masih menggunakan pembalut ketika cairan nifas mengalir dari vaginanya.
Baca juga: Film India ‘Begum Jaan’ Gambarkan Paradoks Batasan sebagai Kebebasan Perempuan
Hidup Martha yang awalnya diwarnai penantian baik, menjadi bencana. Kehilangan anak justru dianggap kesalahannya. Terutama, ketika ia memilih diam dan tidak ikut memperkarakan bidan Eva yang dituntut dengan kasus malapraktik dan tuduhan pelanggaran (misconduct allegation).
Motherhood experience bukan hanya soal pengalaman ketubuhan, tetapi juga pengalaman emosional. Kediamannya juga dianggap kesalahan oleh pasangannya, Sean (Shia LaBeouf), karena dianggap terlalu dingin menanggapi kehilangan sementara ia frustrasi (namun baik-baik saja ketika nama anaknya di nisan salah eja).
Momen ini memanggil memori saya, betapa saya ingin sekali menjadi ibu di saat-saat terakhir bersama dengan baik, meski hanya sekian jam. Saya cuma menyesal saya tidak bisa menghadiri prosesi penguburan bayi sebab saya masih diobservasi dokter. Tangis saya tak terbendung lagi, ketika saya mendengar bayi-bayi menangis di kamar persalinan, tapi tak satu tangis pun datang dari bayi saya.
Saya memahami bungkamnya Martha. Diam itu juga tentang menyimpan tragedi, juga tentang cara mencintai diri sendiri. Seperti saya memilih menelan bulat-bulat peristiwa ini seperti episode yang mau saya rahasiakan. Membicarakannya berulang-ulang itu cuma membuat saya tambah sedih. Tapi, orang-orang tidak lelahnya bertanya retoris “ada apa”, “kenapa”, “kok bisa”, “kok bisa-bisanya”, yang ditutup dengan jawaban mereka sendiri “ah pasti kamu begini, kamu begitu”.
Baca juga: 5 Dokumenter Layak Tonton Soal Ketubuhan Perempuan
Ibu Selalu Disalahkan
"Like my mother taught me. After my father went into the ghetto, my mother found a shack, an empty shack, that she went into and gave birth to me. Without any help at all. She stashed me under the floorboards when she had to go out and steal food. So she could make milk enough to keep me alive, but just alive. Not strong enough to cry, or we'd be caught. When she finally got me to a doctor, he advised her to just let me go. That I wasn't... I wasn't strong enough to survive. But when she absolutely insisted, he picked me up by my feet and held me up like a chicken and said, "If she tries to lift her head, then there's hope.”
(Seperti yang diajarkan ibuku. Setelah ayahku pergi ke ghetto [istilah untuk kampung khusus untuk Yahudi yang dilakukan oleh Nazi], ibuku menemukan gubuk, gubuk kosong, dia masuk dan melahirkanku. Tanpa bantuan sama sekali. Dia menyembunyikanku di lantai ketika dia harus keluar dan mencuri makanan. Agar dia punya ASI yang cukup untuk membuatku hidup, tapi hanya tetap hidup. Tidak cukup kuat untuk menangis, kalau-kalau kita tertangkap. Saat dia membawaku ke dokter, si dokter menasihatinya untuk merelakan aku pergi. Karena aku tidak ... aku tidak cukup kuat untuk bertahan hidup. Tapi Ibu bersikeras, Ia mengangkatku di dekat kakiku dan mengangkatku seperti ayam dan berkata, "Jika dia mencoba angkat kepalanya, pasti ada harapan.") -- Ibu Martha, Elizabeth, kepada Martha
Tudingan yang menyalahkan ibu yang dianggap tidak menjaga kesehatan atau lalai menjaga bayi dalam kandungan itu selalu kejam. Mereka tidak tahu bagaimana mereka berjuang mempertahankan bayinya agar selalu sehat sampai melahirkan. Ibulah yang paling mudah untuk disalahkan. Mereka lupa bahwa kondisi ibu yang mengandung itu penting berada dalam lingkungan yang mendukung, bahagia dan jauh dari stres, pun setelah melahirkan, meski tanpa bayi.
“She (Martha) needs help. She doesn’t know what she’s doing. I mean, she’s just piling mistake upon mistake. That’s why it’s our job to show her what’s right.”
Dia butuh bantuan. Dia tidak tahu apa yang ia sedang lakukan. Maksudku, dia cuma menumpuk kesalahan demi kesalahan. Tugas kita untuk menunjukkan padanya apa yang benar. -- Elizabeth pada Sean
Baca juga: Komika Ali Wong Angkat Isu Tabu Perempuan
Karakter-karakter di Pieces of a Woman—Sean dan Elizabeth (Ellen Burstyn), ibu Martha, yang penyintas Holocaust—cuma mempertegas fakta bahwa kadang kala sistem pendukung hanyalah ilusi. Justru merekalah pihak-pihak yang paling mendesak Martha agar berlakon menghukum sang bidan atas pengalaman maternalnya, semata-mata agar Martha tidak salahkan.
Saya lalu bertanya, mengapa harus ada hitam-putih? Mengapa harus ada benar-salah? Dan mengapa orang berpikir seolah-olah di antara Martha dan sang bidan harus ada pihak yang rela dihukum sebagai pembunuh?
Kata mereka, Martha harus bersuara memperjuangkan keadilan.
Lift your head and fight for yourself, for God's sakes! Go out there and face that woman.
Demi Tuhan, angkat kepalamu dan berjuang untuk dirimu sendiri! Keluar sana dan hadapi perempuan itu. -- Elizabeth kepada Martha
Kontestasi “keadilan untuk siapa” ditutup dengan kebungkaman, sebab Martha berpihak pada hal yang tidak disukai masyarakat. Yang disukai masyarakat belum tentu menjawab kebenaran atau memenuhi keadilan. Suaminya yang terus meneror pertanyaan kenapa diam dan menyalahkan kebungkamannya, pun memperkosanya. Namun, Martha berani menolak dan tidak tinggal diam.
Laku resistensinya tidak hanya muncul di relasi kuasa. Ia berani mengungkapkan alasan ia bungkam di depan ibunya. Ibunya dan dia punya cara yang berbeda untuk melangkah ke depan. Ibunya memilih manut pada norma, Martha memilih kebenaran yang ia percayai.
Patah tumbuh, hilang berganti. Mungkin perasaan itulah yang dirasakan oleh Martha setelahnya. Menumbuhkan harapan baru, tidak perlu dipupuk dengan api kebencian dan menyalahkan perempuan lain yang tidak bersalah. Namun dengan kedamaian bahwa hidup akan berjalan seperti semula dengan menatap ke depan. Seperti yang saya percayai hingga hari ini.
Comments