Satu minggu menjajaki tiga aplikasi kencan daring belum cukup buat saya. Saya masih mempertanyakan perspektif laki-laki di luar sana tentang feminis perempuan, apalagi feminis yang tampil radikal: Memasang swafoto mengenakan masker sambil memegang selembar kertas bertuliskan “tubuhku otoritasku”, lengkap dengan tiga tanda seru.
Dengan nama samaran yang sama, saya menulis bio sebagai berikut:
“A feminist, against toxic masculinity & sexual harassment. Sexually active, but I put consent for everything; sexual intercourse or any kind of touch. The future is female, let’s bring down the patriarchy!”
Awalnya saya menimbang-nimbang, laki-laki seperti apa yang “berani” mendekati perempuan dengan bio terang-terangan seperti itu? Namun mengingat tujuannya, melihat perbedaan apakah lebih sedikit lelaki yang ingin berinteraksi dengan saya, maka saya maju terus.
Dalam 24 jam pertama, jumlah laki-laki yang menyukai profil saya tak sebanyak di minggu pertama sebanyak 30 orang, kini hanya 2-4 orang, bahkan itu berlanjut per harinya selama seminggu.
Perubahan signifikan itu tak hanya dari jumlah swipe kanan di profil saya, tapi cara mereka menyapa, gaya berbicara, dan topik pembahasan.
Seorang pekerja media—profesi itu tertulis di bionya, sebut saja “Ikhsan”, mengomentari foto saya di OkCupid. “So?” tulisnya. Sepertinya itu bukan intro yang diharapkan oleh pengguna aplikasi kencan mana pun. Namun, berhubung tujuan saya di sana bukan mencari jodoh, tentu sebuah kata to the point itu akan menghemat basa-basi yang enggak diperlukan.
Ikhsan mengatakan, tanpa perlu melibatkan tanda di foto, tubuh setiap orang adalah milik mereka. “Lagipula, laki-laki punya hak untuk ngajak friends with benefit. Orang juga punya sopan santun dan sebagian dari mereka udah paham, tanpa lo harus membesar-besarkan,” ujarnya.
Belum lagi, ia menjelaskan kalau di aplikasi tersebut tersedia tombol block. “Jadi enggak usah diambil pusing kan?” Dia enggak salah, tapi bukan itu poinnya, Mas Ikhsan.
Ketika membahas perempuan pekerja, ia menilai perempuan sudah setara dengan laki-laki, baik dari gaji maupun kesempatan naik jabatan. Mungkin Ikhsan merefleksikan dari kantornya, baik jika kantornya melakukan hal tersebut, tapi semestinya ia bisa melihat dari sudut pandang lebih luas.
Saya berusaha meredam emosi. Dengan profesinya sebagai pekerja media, saya pikir pemikirannya lebih maju, ternyata sama aja, sekali misoginis tetap misoginis.
“Lo ada pendapat enggak, soal perempuan yang enggak setuju dipanggil orang lain berdasarkan nama suaminya?” Saya pikir sudah kecebur, lebih baik basah sekalian. Ikhsan pun menuturkan opininya kalau tidak ada permasalahan dari panggilan itu, bahkan ia menyebut, saya perlu membedakan apa yang cocok diterapkan di Barat dan Indonesia. Mansplaining detected!
Baca Juga: Banyak Lelaki di Aplikasi Kencan Anti-Feminis? Ini Pengalaman Saya
Padahal, di sini kita pun sering mendengar seorang istri dipanggil dengan nama suami. Enggak jarang dari mereka keberatan karena bukan dipandang berdasarkan pekerjaan yang dilakukan, melainkan sebagai pasangan hidup laki-laki, dan panggilan itu tidak seharusnya mendefinisikan diri perempuan.
Enggak lama dari obrolan tersebut, Ikhsan unmatch profil saya. Syukurlah, seluruh pembicaraan kami sudah saya screenshot. Mungkin ia merasa obrolan kami hanya berupa bersitegang.
Selanjutnya, saya menuju Tinder dan bertemu seseorang bernama “Ahmad.” Kami mengawali obrolan dengan bertukar informasi tentang pekerjaan—saya jawab sebagai copywriter produk makanan.
Caranya sopan dalam membalas chat, lama-lama asyik mengobrol, ia menceritakan pengalamannya dibohongi perempuan yang berjanji mengajarkan melakukan hubungan seksual, nyatanya ia hanya dimanfaatkan sebagai ojek pribadi.
Miris mendengar ceritanya, entah benar atau hanya pembuka untuk mengajak saya berhubungan seksual, karena setelahnya, Ahmad meminta diajarkan. Katanya malu sudah berusia 25, tapi belum pernah melakukan.
Beralih dari Tinder, saya bertemu “Donny” di Coffee Meets Bagel, laki-laki asal Turki campuran Mongolia yang menetap di Bogor. Sama seperti Ikhsan, ia terpincut dengan bio dan foto profil saya. Bedanya, Donny menanyakan alasan saya menuliskan sexual intercourse.
“Of course it will be done with your agreement. No one can force you. Sex is all about happiness and acceptance,” katanya menanggapi. “Both parties should appreciate each other and not be selfish to think about their own pleasure.”
Donny semakin menyanjung saat mengapresiasi saya sebagai feminis. Menurutnya, perempuan perlu menjadi feminis untuk membela gendernya dan memperjuangkan ketidakadilan.
Namun, “pesonanya” itu luntur setelah beberapa kali merayu agar pindah aplikasi dan mengajak bertemu, tentu keduanya saya tolak. Ia malah menanggapi tolakan saya dengan lelucon yang melibatkan unsur telanjang.
Baca Juga: 5 Tipe Cowok di Aplikasi Kencan yang Tampak Normal Tapi ‘Unmatchable’
Mungkin ia merasa saya mulai nyaman dan akan luluh dengannya, sehingga berani menggoda dengan lelucon pornografi. Enggak kuat membalas pesannya, saya meninggalkan Donny begitu saja. “Biarin deh sekali-kali ghosting, enggak bisa meladeni laki-laki kayak gini,” pikir saya, melihat Donny sebagai orang yang tidak berpotensi menerima kata ‘“tidak” dalam hal ini.
Saya hampir mengakhiri “permainan” di Coffee Meets Bagel, ketika “Nino” memulai obrolan tentang seks, lagi-lagi setelah membaca bio.
Ia menawarkan diri untuk menjadi sexual partner dan bertanya apakah ia termasuk dalam kriteria saya, setelah mengaku sudah lama tidak berhubungan seksual, dan tidak ingin melakukan dengan sembarang orang.
Tertarik dengan pembicaraannya, saya iseng bertanya apa yang dilakukan laki-laki terhadap naked pictures pasangannya. “Gue enggak simpan fotonya, cuma dilihat aja dan dihapus pas beres-beres folder,” akunya. Nino menuturkan, ia bukan tipe laki-laki yang menyebarkan foto itu ke teman-temannya, katanya enggak rela.
Baca Juga: Jenis-jenis Kebohongan di ‘Dating Apps’ dan Kenapa Orang Melakukannya
Seperti mengambil kesempatan dalam kesempitan, ia malah meminta foto tubuh saya. “Would you give it to me? I swear gue enggak nyebarin fotonya. Sneak peak dikit aja,” pintanya.
Kami meneruskan obrolan sampai keesokan harinya, Nino malah menyapa pagi-pagi dan menanyakan beberapa hal kasual. Namun, enggak lama kemudian ia bertanya, “By the way, kita jadi main, nih?”
Dari foto dan bio yang dicantumkan di minggu kedua, saya menyimpulkan laki-laki lebih terus terang menyampaikan niatnya berkelana di aplikasi kencan daring. Bukan menggeneralisasi, tapi mayoritas dari 40 laki-laki yang berinteraksi dengan saya, ujung-ujungnya pasti membahas seks dan mengajak melakukan, entah ada apa dengan cara mereka memenuhi kebutuhannya.
Penjelajahan saya di aplikasi kencan daring dinyatakan selesai. Saya bisa bernapas lega, setelah membuktikan banyak laki-laki—setidaknya yang ditemui—bersembunyi di balik karakter misogini, mengobjektifikasi perempuan, melontarkan kalimat seksis dan pornografi, serta mansplaining.
Comments