Masih dalam kegelapan di pagi buta, seorang perempuan terbangun. Julie Roy namanya. Bunyi alarm begitu memekakkan telinga, hingga Julie harus ditampar kenyataan: ia harus menjalani hari yang sama lagi pagi ini. Tak perlu lama-lama mengumpulkan nyawa, ia langsung duduk merapikan rambut coklatnya dan bergegas membangunkan kedua anaknya, Chole dan Nolan.
Saat keduanya sudah bangun, dengan cekatan Julie langsung memandikan mereka dan membuatkan sarapan. Diiringi suara TV yang sedang memberitakan demo buruh, ia membalas ocehan Nolan seraya -menyiapkan sarapan buat dirinya sendiri--yang baru bisa ia santap nanti di perjalanan ke kantor.
Tak berselang lama, setelah anak-anaknya selesai sarapan dan memakai sepatu, Julie langsung menggandeng mereka berjalan cepat ke rumah Lusigny, seorang perempuan paruh baya yang akan mengawasi keduanya selama Julie bekerja. Berpamitan terakhir kali pada Chloe dan Nolan, Julie pun langsung melangkahkan kakinya begitu cepat ke stasiun kereta menuju Paris, tempat ia bekerja sebagai kepala pelayan di sebuah hotel bintang lima.
Bersama dengan ribuan commuter lainnya yang bernasib serupa, mengadu nasib di ibu kota, Julie berpacu dengan waktu dan berdesak-desakan. Ini telah jadi makanan sehari-harinya. Tinggal di sebuah desa yang jauh dari ibu kota untuk membesarkan dua anak, ia harus rela berangkat saat matahari belum terbit dengan segala kegilaan ini, setiap paginya.
Lalu, mogok besar-besaran sedang terjadi di Paris. Semua seluk kehidupan perlahan berhenti, terdampak.
Realitas tentang Julie, seorang ibu tunggal yang berusaha menyeimbangkan pekerjaan dan membesarkan dua anaknya dinarasikan dalam film garapan Eric Gravel, À Plein Temps (2021) atau dalam bahasa Inggris dikenal Full Time.
Sebagai film drama, pendekatan Gravel menyampaikan lika-liku pengalaman Julie boleh diacungi jempol. Film ini juga berhasil memboyong berbagai penghargaan. Salah satu yang bergengsi adalah Orizzonti Prize for Best Director di Venice Film Festival.
Lalu, apa yang bikin ceritanya jadi istimewa?
Baca juga: ‘Turning Red’, Ketika Narasi Perempuan Diproduksi Perempuan Sendiri
Full Time Ajak Penonton Mencicipi Pengalaman jadi Ibu Tunggal
Berbeda dengan film bergenre drama yang penuhi scoring melankolis mendayu-dayu, Full Time nampaknya lebih pas dikatakan sebagai film social thriller. Sejak menit awal film ini diputar, para penonton dibuat berdebar-debar. Penonton mengikuti setiap gerak-gerik Julie lewat zoom in—close up ke raut muka Julie, kegesitan kakinya, serta bidikan kamera over shoulder yang dibarengi scoring synth mencekam.
Melalui Full Time, Gravel menjebak penontonnya dalam pengalaman sehari-hari Julie, seorang ibu tunggal yang sedang dalam risiko kehilangan segala yang ia punya, selama 87 menit film diputar. Waktu yang cukup lama dan bisa berefek perasaan lelah yang melanda tubuh dan pikiran penontonnya.
Pengembangan karakter Julie yang disampaikan begitu intim oleh Gravel, mengundang kita untuk merasakan karakter Julie apa adanya. Kita tak pernah hanya memandangnya sebagai objek observasi semata. Tetapi, kita berada di sana bersamanya. Ia adalah subjek dalam film itu dan kita diajak mengikuti setiap gerak-gerik dan masalah yang ia temui. Seakan kita menjadi satu dengannya.
Kita merasakan kesibukan Julie, rasa frustrasinya, rasa hampa, sekaligus euphoria saat ia merasa senang. Pertentangan yang bergesek antara dua identitas perempuan—sebagai ibu, sekaligus buruh penopang nafkah keluarga—dipertontokan secara dekat.
Ya, di satu sisi, untuk orang-orang yang mungkin menganggap bahwa tugas seorang ibu adalah fokus pada perkembangan anaknya, melihat ambisi Julie jelas tak masuk akal. Atau justru bahkan terkesan tak bertanggung jawab. Julie bekerja jauh di Paris, menitipkan anak-anaknya dalam asuhan tetangganya, tetapi masih tetap mempunyai tenaga untuk melamar di perusahaan lain demi melanjutkan mimpinya sebagai periset pasar.
Namun di sisi lain, apa yang dilakukan Julie terdengar masuk akal atau sebenarnya justru harus dilumrahkan. Jadi Ibu dan ingin mewujudkan mimpi, sekaligus tetap bekerja, harusnya bukan jalan terjal yang sering kali susah terjadi di waktu bersamaan. Penonton perempuan akan paham betapa sulitnya keadaan ini.
Sebagai pemegang gelar pascasarjana di bidang ekonomi dan sempat bekerja di perusahaan ritel besar sebagai periset pasar, Julie jelas ingin mengambil alih kontrol hidupnya setelah empat tahun membesarkan anak-anaknya.
Ia berkata, menjadi ibu rumah tangga sedari awal bukanlah pilihan atau mimpinya. Tapi apa daya, Julie layaknya jutaan perempuan lain di seluruh dunia, harus menemui berbagai kendala. Mulai dari pewawancara kerja yang memojokkannya karena jeda empat tahun dalam CV-nya, diancam akan memanggil dinas sosial karena telah “menelantarkan” anaknya karena dititipkan ke tetangga, dikeluarkan dari pekerjaannya karena kesulitan menyimbangkan tuntutan hidup, hingga disuruh merelakan ambisinya dengan melamar bekerja menjadi kasir di swalayan dekat rumahnya.
Beban dan masalah yang tak berujung bikin Julie frustrasi. Ia telah mengorbankan kesenangannya sendiri dan kini terpojokan dari segala arah. Penonton yang awalnya melihat Julie sebagai sosok kuat, tak pernah mengeluh, atau bahkan marah, juga harus melihat Julie ketika ia hancur.
Dalam satu adegan bernas, kamera memperlihatkan Julie yang sedang merias wajahnya. Dalam pikiran berkecamuk tentang masa depan yang tak jelas, ia mulai mengeluarkan air mata. Ia terus menangis dalam diam. Tanpa otot wajah yang mengungkapkan rasa marah, kecewa, atau menyerah, ia menepuk-nepuk tulang pipinya dengan bedak. Air mata tanpa ekspresi Julie ini menyiratkan pengalaman para ibu tunggal yang jarang dipotret adil, apalagi dibahas komprehensif. Pengalaman yang gaungnya sebenarnya nyaring, tapi tak segan didengar oleh masyarakat dan sistem yang opresif. Dari mereka yang dibiarkan berjuang sendirian dan dipojokkan berkali-kali karena tak mampu menjalani tuntutan peran sosialnya dengan baik.
Baca juga: ‘Maid’: Cerita Jatuh Bangun Ibu Lepas dari KDRT
Kritik Sosial tentang Kesejahteraan Pekerja
Full Time tak hanya hanya memberikan gambaran akurat tentang tantangan yang dihadapi ibu tunggal, Gravel selaku sutradara juga secara implisit menyampaikan kritik sosialnya melalui kegilaan yang dialami Julie sebagai commuter tiap harinya. Dalam hal ini, Gravel menggunakan kegilaan hari-hari Julie untuk memahami betapa rapuhnya seluruh sistem sosial-ekonomi kita.
Sistem sosial-ekonomi neoliberalisme selalu jadi penyangga utama sistem kapitalisme yang bikin kelas pekerja terpecah-pecah: disibukkan urusan bertahan hidup masing-masing. Sehingga tak punya tenaga lagi untuk mengkritisi sistem yang cuma menguntungkan segelintir orang di puncak kekuasaan. Orang-orang macam Julie ditekan sekencang-kencangnya, sampai tak bisa bersuara, tak bisa menangis, tak bisa minta tolong.
Semua tergambar dalam sistem ekonomi bebas, cara perempuan diterima masyarakat dan industri kerja, sampai aturan-aturan pemerintah yang memperumit warga kelas pekerja macam Julie untuk dapat hak-hak dasarnya.
Dengan sistem sosial ekonomi seperti ini, para buruh harus menanggung semua dampaknya. Mereka masuk dalam lingkaran setan persaingan ketat, dibayar murah, dan dituntut untuk bekerja dengan jam kerja panjang yang tak masuk akal.
Para buruh dalam hal ini mengacu kepada semua pekerja yang tak punya modal kapital, tak terkecuali pekerja kerah putih dan kerah biru. Maka ketika sistem ini mulai menggerogoti para buruh, sampai leher tercekik bukan lagi deskripsi yang tepat untuk menggambarkan pergulatan hidup-mati mereka, turun ke jalan adi pilihan. Bersatu untuk protes, jadi pilihan mutlak melawan sistem yang ada. Mogok kerja di mana-mana. Inilah yang terjadi pada dunia Julie.
Di saat buruh sudah muak dengan sistem yang ada, mereka memutuskan untuk mogok kerja demi mendapatkan hak-haknya. Upah layak dan jam kerja masuk akal jadi tuntutan utama. Semua sistem transportasi publik berangsur mati karena kekuatan buruh memang sebesar itu dalam menjalankan roda kapitalisme. Kereta dan bus antar kota tak beroperasi dan berdampak langsung pada produktivitas para buruh. Mereka terlambat berangkat kerja, kesulitan melakukan mobilisasi di dalam kota, bahkan tidak bisa pulang ke rumah dan terpaksa menyewa hotel murah untuk tidur.
Namun, ada satu hal yang menarik di sampaikan di Full Time. Berbeda dengan realitas yang masih kita temui misalnya, saat demo Undang-Undang Cipta Kerja, Julie dan pekerja kerah putih juga kerah biru tak memaki-maki atau marah pada para pendemo atau para pekerja stasiun dan bus yang memutuskan mogok kerja. Mereka tidak sinis ke sesame kelas pekerja.
Dalam satu adegan, saat ia menumpang mobil seseorang yang ia cegat di jalan, Julie bahkan mengatakan bagaimana ia ingin sekali ikut bergabung demo, tapi kewajibannya mencari nafkah untuk kedua anaknya tak bisa dikompromikan. Oleh karenanya, ia harus mengurungkan niat.
Sikap Julie ini nampaknya adalah sebuah sentilan bagi para penonton. Bahwasanya, mau senyaman apa pun pekerjaan kita, setinggi apa pun jabatan dan gaji kita, kita tetaplah buruh. Buruh yang tak punya modal kapital dan bergantung pada pemilik modal untuk mendapatkan gaji bulanan. Dengan demikian, apa yang dilakukan para pendemo dan pekerja yang mogok kerja sebenarnya adalah usaha untuk memperjuangkan hak kita juga.
Baca juga: Ulasan ‘Belle’: Perempuan yang Terluka, Patah, Bangkit
Mereka rela meninggalkan pekerjaannya, rela kehilangan pekerjaannya, demi memperjuangkan hak mereka sendiri dan hak sesama buruh.
Tak ayal, sikap Julie adalah cerminan dari rasa syukur. Bahwa ketika ia harus jungkir-balik menafkahi kedua anaknya, ada orang lain yang rela menggantikan tempatnya memperjuangkan hak-haknya. Lantas, tak etis rasanya, jika ia mengeluh, apalagi marah pada keadaannya sekarang.
Gravel benar-benar menunjukkan betapa pentingnya setiap bagian dari tubuh masyarakat bagi keberlangsungan sebuah peradaban manusia. Bukankah semua manusia harusnya hidup setara? Bukan dikontrol demi keuntungan segelintir mereka di puncak kekuasaan sana?
Comments