Women Lead Pendidikan Seks
October 24, 2022

Review ‘Pink Moon’: Saat Kematian Jadi Sebuah Pilihan

Apa yang kita lakukan saat orang yang kita sayang minta mati?

by Jasmine Floretta V.D., Reporter
Culture // Screen Raves
Share:

Malam itu mungkin jadi malam yang tak akan pernah dilupakan Iris (Julia Akkermans). Malam ketika kakak laki-lakinya Ivan (Eelco Smits), dan istrinya Elisabeth (Anniek Pheifer) berkunjung ke rumah ayah mereka, Jan (Johan Leysen) untuk menyantap malam bersama. Sekaligus membahas rencana ulang tahun ayah mereka ke-74.

Awalnya malam itu berjalan seperti biasanya. Mereka berempat terhanyut dalam momen yang begitu hangat lewat candaan dan gelak tawa. Namun, kehangatan ini tiba-tiba sirna saat Jan meminta kedua anaknya mendengarkan kata-kata yang akan ia sampaikan dengan raut wajah yang begitu serius.

Iris dan Evan pun langsung memasang telinga, memerhatikan ayahnya lamat-lamat sembari berpikir ada apa gerangan yang ingin ayah mereka sampaikan. Segala asumsi yang lewat dalam pikiran mereka membuat keheningan susana meja makan semakin mencekam, apalagi saat Jan menjatuhkan “bomnya”.

Sumber: IMDB

Baca Juga:   Review ‘She-Hulk: Attorney at Law’: Narasi Perempuan yang Menemukan Rumahnya

Dengan penuh keyakinan, Jan mengungkapkan pada kedua anaknya, ulang tahun ke-74 nanti adalah perayaan terakhirnya. Ya, ia putuskan untuk mati tepat di usia 74. Ia tak mau hidup lagi. Ia merasa telah menuntaskan hidup, dan mau Iris serta Ivan menghormati pilihannya.

Mendengar pernyataan itu, Ivan dan Elisabeth hanya bisa terdiam, namun perlahan menerima pilihan Jan. Beda dengan Iris. Ia langsung meledak. Ia marah dengan keputusan “bunuh diri” ayahnya. Iris tidak terima dan memilih untuk mengubah keputusan ayahnya.

Kisah bagaimana Iris berjuang untuk mengubah keputusan sang ayah lah yang berusaha direkam dalam Pink Moon. Disutradarai oleh Floor van der Meulen, sutradara perempuan asal Belanda, drama ini ingin berdiksusi tentang narasi menarik moralitas kita saat membicarakan kematian. Dibalut dalam sebuah premis sederhana namun mengunggah, film ini bisa jadi roller coaster emosi sekaligus bahan reflektif.

Kematian yang Jadi Pilihan dan Hak Individu

Kita semua tahu, secara esensi manusia diciptakan untuk bertahan hidup. Hampir di setiap saat kita diingatkan tentang hak hidup yang kita miliki. Hak hidup adalah bagian hak asasi manusia yang dalam struktur negara bahkan dijamin dalam payung hukum. Hak ini begitu kuat nilainya. Sampai-sampai jika ada seseorang yang secara sadar merenggut bisa terancam pula nyawanya.

Kekuatan nilai dari hak hidup pun membentuk pola pikir kita. Bahwasanya setiap manusia memang dilahiran untuk hidup sesuai dengan batasan takdir yang telah ditetapkan sang Maha Kuasa. Maka orang yang memutuskan untuk bunuh diri distigma. Orang yang putuskan bunuh diri karena penyakit mental atau keputusan individu sendiri dianggap hina. Tak lain karena mereka telah menginkari takdirnya sendiri dan telah membuang jauh-jauh nilai hak hidup yang begitu dijaga masyarakat.

Dengan kuatnya pandangan kita tentang hak hidup inilah, Pink Moon memberikan kita perspektif baru yang tak menghakimi tentang kematian atau bisa dibilang hak untuk mati (right to die). Hak untuk mati dieksplorasi begitu leluasa lewat perspektif Iris. Satu-satunya orang yang tak menginginkan ayahnya mengakhiri hidupnya. Iris berusaha sekuat tenaga mencegah dan mengubah keputusan ayahnya.

Mulanya ia coba mencari alasan keputusan sang ayah untuk mati dengan mencoba berbagai hal seorang diri. Ia pikir cara ini mungkin saja bisa membuat dirinya tahu apa yang sebenarnya Jan butuhkan untuk tetap hidup. Iris pun melakukan “petualangan”nya. Saat petualangannya membekali Iris dengan pertanyaan yang bisa ia tanyakan langsung pada Jan, Iris pun mengajak secara paksa Jan ke pegunungan salju terpencil.

Sumber: IMDB

Iris kemudian bertanya di sela-sela perjalanan mereka. Apakah Jan punya tempat yang ingin sekali dikunjungi? Makanan apa yang ingin Jan makan? Dan apakah Jan butuh pasangan seks berhubung istrinya telah lama tiada? Sayangnya, jawaban yang diharapkan Iris tak pernah keluar dari mulut Jan. Jan berkata ia tak butuh apa-apa lagi. Semua yang ia inginkan dan harapkan telah ia capai dan miliki. Ia sudah cukup menjalani hidup maka ini saatnya dia meninggalkan dunia.

Jawaban Jan tentu semakin membuat frustrasi. Bagaimana bisa sang ayah yang bahkan tak sakit sama sekali dan hidup enak dengan segala kekayaannya di usia tua justru memutuskan untuk akhiri hidup? Menurutnya Jan egois. Jan tidak memedulikan perasaan Iris lewat keputusannya ini.

Baca Juga:  4 Rekomendasi Film India yang Urai Patriarki dengan Gamblang

Sungguh Iris tak habis pikir, ia dibuat tak mengerti dengan jalan pikir ayahnya sendiri. Ia berusaha memahami Jan dengan bertanya balik, namun Jan hanya menjawab mau berapa kali pun Jan menjelaskan alasannya Iris tak akan mengerti. Karena memang Iris sedari awal tak mau memahami keadaanya. Tak mau memahami perasaannya. Tak mau menghargai keputusannya yang diambil seluruhnya secara sadar.

Irislah yang sebenarnya egois di sini. Iris bersikukuh mengubah keputusan Jan, padahal keputusan Jan untuk mengakhiri hidup bukan karena ia ingin lari dari kehidupannya. Iris adalah kita semua yang suka sekali memutuskan “nasib” sesuai dengan apa yang menurut kita baik bagi seseorang individu.

Sebaliknya Jan adalah suara dari individu yang kerap kali tak didengar dan dihargai keputusannya. Di balik ambiguitas moral, Jan adalah suara dari individu ingin menjaga hidup mereka di bawah kendali mereka sendiri sebelum semuanya terlambat. Mereka menghindari kematian yang menyakitkan di masa depan dan mereka tak mau jadi terlalu tua sampai merepotkan orang terkasihnya. Mereka tak mau kematian mendefinisikan sisa hidup dan eksistensi mereka di dunia. Maka mereka ingin mati lewat keputusan mereka sendiri dan melakukan selebrasi terakhir atas hidup yang telah Tuhan berikan pada mereka.

Selebrasi Kehidupan Lewat Hal-Hal Kecil

Peringatan: Kematian, bunuh diri, dan spoiler!

Jika kematian menjadi suatu pilihan, hidup tak lagi dilihat sebagai sesuatu yang diterima secara percuma.  Hidup justru jadi sebuah keistimewaan. Ia perlu dirayakan karena begitu berharga sampai setiap detiknya perlu dihabiskan dengan segala suka cita.

Disadari atau tidak, kita selama ini telah menyia-nyiakan keistimewaan ini. Kita anggap hidup kita penuh derita atau penuh dengan rutinitas membosankan yang tak bermakna. Begitu pula dengan orang-orang yang ada di sekitar kita. Makan makan bersama orang tua misalnya jadi rutinitas nan membosankan atau bahkan hanya jadi peluruh “kewajiban” sebagai anak saja. 

Baca Juga:  Ms. Marvel: Petualangan Superhero Baru MCU dari Pakistan

Anggapan ini ada karena kita terlalu sibuk dengan dunia kita sendiri. Kita lupa melakukan selebrasi atas kehidupan yang kita punya lewat segala fragmen yang kita punya di dunia. Selebrasi yang bisa dilakukan sebelum semuanya terlambat. Pesan ini yang berusaha disampaikan dalam Pink Moon.

Lewat Iris, Meulen memperlihatkan tentang manusia yang kerap lupa memaknai keistimewaan hidup. Sebagai orang dewasa, Iris sibuk dengan pekerjaannya dan kini ia begitu sibuk mengubah keputusan Jan. Kesibukannya membuat ia lupa ada momen-momen terakhir yang harusnya ia jaga dan lewati bersama ayahnya. Momen-momen yang menandai selebrasi kehidupan manusia lewat hal-hal terkecilnya.

Seperti yang penonton tau sebelumnya, sang ayah tak butuh apa-apa lagi. Ia sudah miliki semuanya dalam genggaman tangan. Ia butuh menikmati sisa hidupnya. Awalnya memang Iris tak bisa memahami gambaran besarnya. Sampai pada akhirnya dari membaca buku, tidur dalam ranjang yang sama seperti masa kecil dulu, minum coklat panas sambil memandangi hamparan gunung salju, hingga berdansa di ruang keluarga ia lakukan bersama sang ayah. 

Cara Iris melakukan hal-hal kecil bersama Jan disampaikan dengan apa adanya. Begitu sederhana tanpa ada scoring sama sekali. Ia disampaikan dalam keheningan suasana yang menyelimuti keduanya, tapi kehangatan bisa dirasakan oleh penonton lewat raut wajah Jan yang begitu damai dan sikap Iris yang perlahan menjadi lebih tenang. Semua ini disampaikan seakan Meulen ingin menyampaikan dengan tegas satu pesan penting,

Bahwasanya tak butuh hal besar nan megah untuk bisa melakukan selebrasi atas kehidupan yang telah Tuhan terima. Dan beruntungnya rutinitas duniawi sehari-hari tersedia bagi makhluk hidup untuk dinikmati dan syukuri keindahannya.

Pink Moon bukanlah sebuah film tentang ajakan bunuh diri. Pun, bukan film yang secara hitam putih gambarkan kompleksitas tapi juga kesederhanaan dari kematian dan kehidupan. Pink Moon hadir bawakan ambiguitas dalam pesan terselubungnya. Pesan yang jadi pemantik diskusi tentang pemaknaan kembali tentang apa arti pilihan dan selebrasi kehidupan dalam ujung jurang kematian.

*Magdalene menonton film Pink Moon dalam Jakarta Film Week 2022 beberapa waktu lalu.

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.