Jika Anda bertanya apakah mencuri diperbolehkan, sebagian besar orang kemungkinan akan menjawab tidak.
Pendekatan absolutis bahwa “apapun alasannya, mencuri adalah salah” memiliki dasar filosofis dari pemikir abad ke-18, Immanuel Kant, yang menyatakan bahwa tidak ada pengecualian bagi aturan moral.
Akan tetapi, kenyataan kerap lebih kompleks dari apa yang dibayangkan Kant. Kita bisa coba membedakan antara pekerja miskin putus asa yang mencuri roti untuk memberi makan keluarganya, dengan pencuri yang mengambil uang seorang nenek untuk membiayai gaya hidup glamornya.
Dalam kondisi peningkatan biaya hidup seperti sekarang ini, misalnya, pekerja di supermarket sering pura-pura tidak melihat aksi pencurian yang dilakukan oleh pelanggan yang terlihat sedang kesulitan.
Kepala Inspektorat Polisi Inggris yang baru, Andy Cooke, juga sempat menyatakan bahwa petugas harus memiliki diskresi untuk menentukan apakah perlu menghukum mereka yang melakukan pencurian hanya untuk bisa makan.
Jika kita bisa memberikan pengecualian pada aturan moral, satu pertanyaan muncul: Apakah mencuri dari perusahaan besar dapat dibenarkan atau sebaiknya dimaafkan?
Tentunya, saya tidak mendukung pencurian dalam bentuk apa pun.
Akan tetapi, pertanyaan tersebut menjadi bentuk eksperimen pemikiran yang berat bagi para filsuf.
Persepsi masyarakat terhadap entitas bisnis, terutama perusahaan besar dan industri, telah berevolusi selama beberapa tahun ke belakang. Konsumen menempatkan perusahaan pada standar etika yang tinggi, dengan ekspektasi bahwa perusahaan mau bertanggung jawab terhadap perubahan iklim dan perilaku-perilaku yang tidak etis.
Karenanya, mungkin, mencuri dari perusahaan dianggap tidak masalah apabila perusahaan tersebut juga telah “mencuri” dari kita. Namun, di luar dari menipu konsumen secara langsung, anggapan bahwa perusahaan “mencuri” dari kita adalah ide yang kompleks.
Baca juga: Pandangan Negatif terhadap Kelompok Miskin Tak Hanya Salah, Tapi Juga Berbahaya
Melanggar kontrak sosial
Salah satu pencurian yang mungkin dilakukan oleh perusahaan dari masyarakat adalah dengan tidak memenuhi kondisi kontrak sosialnya.
Kontrak sosial, sebuah konsep yang diperkenalkan oleh filsuf seperti Thomas Hobbes dan Jean-Jacques Rousseau, merupakan kesepakatan tidak tertulis ketika individu atau organisasi menyerahkan sebagian kebebasannya demi mendapat manfaat yang lebih besar dari tatanan sosial.
Sebagai contoh, saya bersepakat dalam hati untuk tidak memukul orang demi bisa hidup di tengah masyarakat yang tidak mengizinkan orang lain untuk memukul saya.
Kontrak sosial lebih sering dipahami dalam konteks hubungan antara individu dengan negara. Akan tetapi, bisnis juga mendapat manfaat dari utilitas publik dan negara yang berfungsi dengan baik – seperti transportasi, pendidikan, dan proteksi legal.
Selama pandemi (dan krisis finansial global 2008 yang terjadi sebelumnya), negara melakukan intervensi untuk menyelamatkan sektor swasta melalui dukungan pendanaan, pinjaman dan skema-skema lainnya. Sebagai gantinya, sektor swasta diharapkan bersepakat pada kontrak sosial untuk menciptakan nilai sosial dan memberikan kontribusi positif bagi masyarakat.
Baca juga: ‘Our Mothers’ Land’: Bagaimana Perempuan Lawan Korporasi Perusak Alam
Standar versus Skandal
Dalam beberapa tahun terakhir, skandal-skandal yang melibatkan sektor swasta menunjukkan bahwa kontrak sosial tidak selalu dipenuhi. Contohnya terlihat dari maraknya krisis finansial, emisi mobil, penjualan obat nyeri opioid, penjualan data dan kejahatan lingkungan.
Dampak dari krisis keuangan 2008 mengungkap adanya ketidakseimbangan antara apa yang diberikan masyarakat kepada perusahaan dan apa yang diberikan perusahaan kepada masyarakat. Kesadaran akan adanya disparitas ini melahirkan tuntutan untuk perubahan lewat gerakan protes anti ketimpangan, Occupy yang merebak secara global. Warga menuntut perluasan pemahaman tentang apa saja yang termasuk “utang” bisnis perusahaan terhadap masyarakat di luar penyediaan barang, jasa, dan pekerjaan.
Pasca gerakan Occupy tersebut, konsumen menjadi sadar betapa kuatnya keputusan pembelian mereka dalam memengaruhi perusahaan untuk menjadi lebih baik. Tesla menjadi perusahaan otomotif pertama yang mencapai valuasi pasar melebihi US$1 triliun (Rp 16.415 triliun). Pertumbuhannya mendorong percepatan besar-besaran bagi perusahaan otomotif lain untuk segera mengembangkan mobil listrik.
Dunia korporasi pun tampaknya ikut menjawab tuntutan ini. Sekitar 5.000 perusahaan dengan lebih dari 400.000 pekerja kini terdaftar di gerakan B-Corps – program sertifikasi untuk “menggunakan bisnis sebagai kekuatan untuk kebaikan”.
Perusahaan seperti Unilever, Hermes Investment, dan NatWest berupaya menunjukkan bahwa operasi bisnis mereka memiliki tujuan sosial.
Para pembuat kebijakan juga memberikan tuntutan etis pada bisnis. Bagian dari Bank of England stress test – tes untuk mengukur ketahanan perbankan dalam menghadapi perubahan kondisi makro ekonomi – kini mengharuskan bank untuk menunjukkan bagaimana mereka memitigasi risiko perubahan iklim.
Namun, tanpa tekanan terus menerus dari konsumen dan pemerintah, terdapat risiko bahwa langkah-langkah yang ditempuh perusahaan ini hanyalah upaya pencucian etika. Contohnya, walaupun telah tersertifikasi B-Corp, perusahaan bir BrewDog dituduh menerapkan “budaya ketakutan” setelah sejumlah karyawannya menyatakan bahwa mereka mengalami perundungan dan diperlakukan layaknya benda. Pada 2021, bank di Inggris, NatWest, didakwa bersalah karena gagal menghentikan pencucian uang dan dianggap “mengecewakan seluruh masyarakat”.
Baca juga: Bagaimana Perusahaan Pakai COVID Sebagai Alat Pemasaran: Konsumen Harus Waspada
Pengecualian terhadap Aturan Etis
Dalam riset saya, saya berargumen bahwa kita harus melakukan lebih banyak untuk mengakui bahwa perusahaan hanya dapat beroperasi ketika masyarakat secara implisit memberikan mereka lisensi sosial.
Lisensi ini diberikan hanya dengan asumsi bahwa bisnis tersebut memberikan manfaat secara keseluruhan bagi masyarakat. Perusahaan yang gagal memenuhi risiko ini akan dicabut izin sosialnya.
Secara intuitif (dan berlawanan dengan Kant), aturan etis memiliki pengecualian – Anda dapat berbohong pada pembunuh yang bertanya pada Anda mengenai lokasi targetnya.
Mengingat pemahaman yang luas mengenai “utang” bisnis pada masyarakat yang menjadi konsumen mereka, para filsuf dapat berargumen bahwa mencuri dari korporasi yang melanggar kontrak sosial bukanlah perilaku yang selalu tidak bermoral. Hal ini terutama jika perusahaan tersebut melanggar kontrak sosial dengan mencuri masa depan kita, dengan gagal melakukan langkah mitigasi pada perubahan iklim atau merusak jaringan masyarakat.
Namun demikian, mengklarifikasi apa yang harus dilakukan bisnis untuk memenuhi kewajiban lisensi sosial mereka merupakan pendekatan yang jauh lebih baik. Daripada mencuri dari korporasi, kita harus menggunakan kekuatan kita sebagai konsumen, pekerja, pemegang saham, dan warga negara untuk mendorong sektor swasta untuk berperilaku etis.
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.
Ilustrasi oleh Karina Tungari
Comments