Saya dokter. Saya pasien. Saya dokter. Saya pasien kejiwaan.
Saya menuliskan artikel ini di atas kereta setelah perjalanan impulsif yang saya lakukan dari Temanggung-Yogyakarta-Jakarta-Semarang.
Lima bulan terakhir adalah bulan-bulan yang sangat berat untuk saya karena hubungan asmara saya semakin memburuk. Saya membiarkan rasa tidak percaya diri menggerogoti pikiran saya, menjadikan saya tergantung secara emosional kepada pasangan saya.
Dia mulai tidak tahan dengan gangguan mood yang saya miliki. Saya pribadi yang mudah meledak-ledak dan sulit. Saran dari psikiater dan teman-teman untuk mendekatkan diri dengan Tuhan saya tepis. Sudah lama saya tidak mendapatkan ketenangan dari beribadah. Saya kosong saat ini.
Saya menjadi mudah marah di rumah sakit, sampai wakil direktur tahu saya sedang menjalani terapi gangguan mood dan depresi minor dengan psikiater. Saya dilarang bekerja sampai psikiater memberikan surat keterangan sanggup bekerja.
Kemudian saya mulai histeris. Gagasan tidak berguna, menyakiti diri sendiri, percobaan bunuh diri, penyalahgunaan obat penenang sudah saya lakukan. Puncaknya adalah ketika pasangan saya yang biasanya selalu memberi dukungan tidak bisa dihubungi. Tidak membalas semua chat. Hilang. Saya histeris di kereta, kalut. Tidak bisa berpikir. Saya didiagnosis bipolar afek depresif.
Dia memang stressor terbesar saya. Dia mengajak putus, perlakuannya terhadap saya acuh tak acuh, tapi tetap melakukan hubungan seksual dengan saya, tetap memberikan perhatian, membuat saya selalu berharap nanti akan lewat masa afek depresif ini. Semua orang menyarankan untuk putus.
Saya sadar, dia stressor, dia etiologi (sebab penyakit), jadi dia harus dihilangkan. Dan dia sudah menghilangkan diri. Hubungan ini terlalu toksik untuk kami.
Bulan lalu saya dirawat di rumah sakit selama 19 hari. Dengan bantuan psikiater, perawat, dukungan keluarga dan sahabat, saya mulai bangkit dari keterpurukan mental saya.
Dari semua gangguan mental yang ada, pasien sering merasa dirinya tidak sakit dan bahkan tersinggung ketika orang sekitar menyampaikan bahwa dirinya mungkin perlu memeriksakan diri ke psikiater atau psikolog. Hal ini saya alami di awal-awal gangguan jiwa saya. Saya menyangkal semua kemungkinan itu. Penolakan tersebut membuat kualitas hidup dan hubungan antarpersonal penderita gangguan jiwa semakin menurun dan dapat menghasilkan gagasan bunuh diri sebagai jalan keluar termudah.
Gangguan jiwa adalah suatu fenomena gunung es, penderitaan tak kasat mata dan diagnosis awal mutlak diperlukan untuk menjaga kualitas hidup penderitanya karena sesungguhnya kami masih memiliki potensi besar dalam diri jika gangguan ini dapat dikelola sebaik mungkin.
Secara umum, penderita gangguan jiwa, terutama perempuan, sangat rentan mengalami kekerasan seksual, contohnya pada kasus-kasus pemerkosaan terhadap perempuan penderita skizofrenia dan retardasi mental. Satu hal yang menarik pada pasien bipolar adalah dalam fase mania, dorongan seksual meningkat tajam. Selama ini memang saya dikenal memiliki daya tarik seksual tinggi sehingga tidak jarang mendapatkan pelecehan seksual.
Ada sebuah lelucon tentang ini: "Bipolar: great in bed, but hard to live with". Hal ini harus diwaspadai karena dalam suasana hati yang sangat meningkat, kami tidak jarang dengan mudah menerima ajakan seksual tanpa kurang pertimbangan matang (reckless sex) sehingga risiko adanya kehamilan di luar nikah bagi perempuan, label "perempuan gampangan", sampai penyakit menular seksual mudah terjadi. Oleh karena itu, saya dengan tegas mengimbau dilakukannya hubungan seks yang aman dengan menggunakan alat kontrasepsi.
Setelah dua bulan menjalani terapi, saat ini saya memutuskan untuk lebih aktif berkegiatan dan mengedukasi masyarakat luas tentang gangguan jiwa lewat komunitas Bipolar Care Indonesia. Saya juga aktif di beberapa forum komunitas yang bergerak di bidang feminisme dan LGBTQ. Dengan mendapat dan mengakui label ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa) ataupun ODB (Orang Dengan Bipolar), saya menjadi lebih dapat menerima dan mencintai diri sendiri. Hal ini tidak menghalangi cita-cita saya untuk melanjutkan karir ke depan dan menyebarkan keawasan publik terhadap gangguan jiwa.
Gangguan jiwa bisa menimpa siapa saja, bahkan diri Anda sendiri yang sedang membaca tulisan ini. Bantulah kami mengurangi stigma terhadap penderita gangguan jiwa karena sesungguhnya stigma hanya diucapkan oleh orang-orang yang tingkat pengetahuannya rendah. Saya berharap stigma yang melekat pada ODGJ bisa perlahan berkurang bahkan menghilang.
Saya dokter, tapi saat ini saya pasien kejiwaan. Saya tidak malu dengan keadaan saya karena saya tahu sekarang bahwa saya sakit.
Versi ini merupakan pembaruan dari versi awal yang diunggah 21 Maret 2017, berdasarkan tambahan dari penulis.
Comments