Dalam lima tahun terakhir, saya aktif membantu mendirikan serta mengembangkan Sekolah Kita Rumpin (SKR), sebuah lembaga pendidikan alternatif gratis berbasis pendidikan holistik yang berlokasi di satu daerah marginal, menjelang perbatasan Kabupaten Bogor dengan Kabupaten Tangerang. SKR awalnya menyasar anak-anak warga yang menjadi korban persengketaan tanah di sana, namun sekarang lebih fokus mengajarkan ilmu sosial setelah keadaan lingkungan sekitar semakin baik.
Tiap kali berkeliling kampung-kampung tempat domisili para murid, saya kerap mendengar cerita-cerita tentang pernikahan dini. Penyebabnya beragam: pacaran berduaan hingga tengah malam yang memicu gosip tetangga, malas bekerja selepas lulus sekolah, pemaksaan halus berkedok ketidakmampuan kondisi finansial keluarga, bahkan alasan absurd seperti “supaya enggak terjerat narkoba”. Opsi menikah otomatis menjadi semacam kelaziman sekaligus jalan keluar instan bagi anak-anak muda setempat yang enggan merantau, terlepas dari apakah mereka sudah benar-benar siap secara lahir batin untuk berkeluarga.
Di kampung-kampung itu, jarak usia yang berdekatan antara generasi orang tua dengan generasi anak adalah pemandangan umum. Dalam tahun-tahun permulaan sekolah, mata saya sering siwer melihat sepasang remaja dan balita yang tengah bermain di depan rumahnya. Saya mengira mereka berdua saudara kandung, namun ternyata relasi keduanya adalah bibi/paman dan keponakan. Lama-lama rasanya lucu juga membayangkan seorang bibi/paman menjadi teman sepermainan keponakannya.
Sebenarnya sudah cukup banyak contoh dampak negatif pernikahan dini yang dialami warga sekitar. Tingkat perceraian tinggi, lalu ada isu perselingkuhan, putus sekolah, serta segudang kerugian lain berkaitan dengan konflik internal keluarga. Sekali-kali ketika bertamu ke rumah orang tua murid, saya suka mengungkapkan isi kepala saya sambil menekankan dampak negatif di atas. Namun pendapat tersebut baru bisa saya bagikan dengan keluarga-keluarga tertentu. Selain karena obrolan demikian masih terhitung sensitif, tingkat pendidikan masyarakat setempat yang masih rendah membuat hanya segelintir warga yang mampu bersikap kritis.
Pernah suatu hari, seorang siswi memberanikan diri mengutarakan niatnya untuk menghindari perjodohan setelah lulus Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Ia lebih suka bekerja atau lanjut kuliah daripada menikah. Sontak hal ini membangkitkan harapan kami, terutama para pengajar. Sambil terus berupaya menanamkan daya pikir kritis lewat interaksi dan materi dalam kelas, kami mulai memikirkan bagaimana caranya menyebarkan kesadaran tentang bahaya pernikahan dini terhadap pola tumbuh kembang remaja serta potensi masa depan mereka.
Pelan-pelan, walau terasa lambat, murid-murid lain yang sepikiran dengan siswi senior tersebut mulai bermunculan. Pandangan beberapa orang kadang bak gayung bersambut dengan orang tuanya masing-masing. Namun tidak sedikit pula yang langsung mendapat pertentangan. Sebagian orang tua yang menolak pandangan anaknya itu akan balik bertanya secara halus, mengapa pengajar-pengajar SKR memberikan pelajaran yang seakan-akan menggugat kebiasaan turun-temurun di kampung mereka.
Selain obrolan yang menumbuhkan harapan, ada juga pengalaman yang menyakitkan. Akhir tahun lalu, misalnya, saya menerima kabar kalau salah satu siswi paling berbakat yang pernah dimiliki SKR hamil di luar nikah. Umurnya belum genap 16 tahun. Ia dipaksa menikah, lantas diboyong ibunya pindah ke desa lain. Hingga kini kami masih kesulitan mencari kabar tentang dirinya.
Berangkat dari pengalaman-pengalaman terkait pernikahan dini di atas, pada awal tahun ini SKR mengangkat tema besar khusus seputar gender. Materi tentang gender menyertakan pembahasan mengenai problematika pernikahan dini, dikombinasikan dengan pendalaman edukasi seksual yang sudah berjalan sejak 2015.
Kami ingin agar murid-murid yang menyimpan niat meneruskan studi setinggi mungkin dapat mewujudkan cita-citanya, tanpa terganjal oleh kondisi finansial keluarga (sambil tetap mendapat dukungan orang tua) atau norma sosial kampung yang belum menyadari betapa krusialnya peran pendidikan. Kami juga ingin supaya adik-adik yang mulai beranjak remaja lebih kritis memilih teman main atau nongkrong. Lebih dari itu, kami tentu ingin melihat mereka yang hendak mengeksplorasi seksualitasnya bisa melakukan hubungan intim secara sehat dan bertanggung jawab.
Kami tidak ingin menyaksikan opsi menikah sebagai konsekuensi sosial kembali dikedepankan masyarakat bila ketiga poin di atas gagal tercapai. Pernikahan dini mungkin sebuah tradisi, tapi ia jelas bukanlah solusi.
Comments