Sekitar dua hari yang lalu The Sun, media asal Inggris, menerbitkan artikel tentang Sarah Williams, jurnalis berusia 40 tahun. Alih-alih membahas karier Williams, artikel hanya fokus pada payudaranya yang menjadi objek seksualisasi orang-orang di sekitarnya.
Williams mengatakan, setiap orang yang ia temui, orang asing hingga kawan, akan fokus pada ukuran dadanya bahkan langsung meneriakkan, “Wah teteknya gede!” dengan nada merendahkan. Ia mengatakan ukuran BH atau bra miliknya mencapai cup H.
“Bahkan ada orang yang memegangnya atau di sedang berjalan tiba-tiba ada orang berhenti dan memberikan komentar (tentang ukuran payudara)” ujarnya.
Lebih parahnya Williams menerima komentar melecehkan bernada slut shaming dan body shaming dari kolega di kantor, meskipun ia mengenakan pakaian yang tertutup. Empat atasan juga memanggil untuk mengkritik karena dia selalu tampil seksi. Insiden-insiden seperti itu pun terus menghantui Williams sampai sekarang.
“Penting untuk mengatakan kalau dada berukuran besar bukan untuk dilihat tidak senonoh, komentari, sentuh, atau tertawakan. Itu bagian dari tubuh saya, sama seperti hidung, telinga, atau perut,” tandasnya.
Baca juga: Antara Beha dan WFH: Bebaskan!
Berkaca dari pengalaman Williams, walaupun ada beberapa perempuan yang ingin memiliki ukuran dada besar untuk tampil menarik, hal itu tidak selamanya menjadi semacam ‘berkah’. Apalagi masyarakat cenderung terobsesi untuk melecehkan tubuh perempuan, terutama payudara karena diidentifikasi sebagai organ yang erotis setelah genital.
Sebagai seseorang dengan ukuran dada cukup besar, cup D, saya pernah mengalami beberapa pengalaman yang membuat risi di tubuh sendiri. Misalnya, saat duduk di bangku SMA orang-orang akan memberikan ‘tatapan yang tidak diundang’. Karenanya, saya kerap menggunakan jaket berukuran XXL untuk menutupi tubuh saya.
Hal yang saya alami tidak seekstrem Williams, tetapi saat masih remaja, ada satu perkataan dari teman perempuan yang masih sulit dilupakan. Di usia 16 tahun dengan emosi yang sering meledak-ledak tidak karuan, saya belum berdamai dengan memiliki payudara. Apalagi yang tampak lebih besar dari teman sebaya lainnya.
Saat itu saya memilih menggunakan BH yang ukurannya lebih kecil agar payudara saya bisa ‘tertekan’ dan tampak lebih kecil kemudian menutupinya dengan atau jaket tiga kali lebih besar. Namun, upaya itu sia-sia ketika ada teman yang menegur saya tentang hal itu.
“Ih, teteknya gede, iya kan?”
Meskipun ada teman yang mengatakan kalimat semacam itu tidak menyinggung karena diucapkan oleh sesama perempuan, tapi tetap saja menyinggung dan menyentil ketidaksukaan dengan ‘tetek yang gede’.
Baca juga: Biaya Hidup Serba Mahal yang Pusingkan Perempuan
Selang beberapa tahun sejak kejadian itu, teman sekelas, laki-laki maupun perempuan, di universitas memanggil saya Taboobs, gabungan nama dan kata payudara dalam bahasa Inggris, boobs. Tentu saja karena mereka melihat saya memiliki dada cukup besar. Mereka bilang itu panggilan sayang. Namun, seorang kawan protes dan mengatakan, “Kamu kok terima saja dipanggil seperti itu, menyinggung tahu.”
Saya mengaku tidak mengkritik nama panggilan itu karena sudah menerima kalau memang saya harus hidup dengan payudara besar, walaupun membenci pertumbuhannya sejak pubertas. Toh, secara finansial saya belum mampu membayar operasi pengecilan payudara.
Meski demikian, saya masih sering membungkuk untuk menimbulkan efek kalau dada saya kecil. Tentunya membentuk postur tubuh yang jelek belum lagi ada isu sakit punggung karena sengaja bungkuk dan berat dari payudara itu sendiri. Karenanya, timbul isu lain terkait body image dan rendahnya rasa percaya diri akibat menganggap tinggi badan dan ukuran payudara tidak proporsional. Rasanya, saya ingin menjadi perempuan di luar sana yang percaya diri dengan bentuk tubuh dan ukuran payudaranya.
Baca juga: Cantik itu Terima Kekurangan Tubuh dan Tonjolkan Bagian Tubuh Terbaik
Namun, hal yang paling saya tidak sukai ketika berolahraga, dada saya akan ikut bergerak dan membuat rutinitas, seperti berlari atau jumping jacks menjadi tidak nyaman. Kadang kala saya menggunakan baju kedodoran dan menarik bagian depannya saat berlari agar tidak menjadi perhatian orang lain.
Mungkin hal itu disebabkan karena saya tidak memakai bra dengan ukuran yang pas. Namun, mencari BH yang cocok dengan desain yang lucu dan berwarna agak lebih sulit karena hanya tersedia tiga warna pilihan cokelat, putih, dan hitam. Lupakan bra berwarna pastel dengan motif cantik hanya tersedia untuk ukuran kecil.
Selain itu, memakai bra juga akan menimbulkan bekas di pundak dan menimbulkan rasa sakit di dada setelah melepasnya, memakai sports bra pun terasa sesak. Belum lagi ketika memakai kemeja selalu ada shirt gaps atau kancing baju tidak berhasil menutup bagian dada sepenuhnya. Jika menemukan pakaian yang pas dan lucu juga kesempitan di dada, tetapi cocok di bagian badan lain.
Saya ingin seperti kakak saya dengan ukuran dada yang biasa saja dan cocok dengan tinggi badannya. Saat berusia 14 tahun dia tetap kelihatan seperti remaja saat menggunakan gaun, tidak seperti saya di usia yang sama kelihatan 10 tahun lebih tua karena dada yang kebesaran.
Saya kadang berpikir tentang selebritas AS yang sering identifikasi sebagai busty, seperti aktris Pamela Anderson atau rapper, Cardi B yang percaya diri dengan implan payudaranya. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan payudara kecil maupun besar, tetapi orang yang sering mengkritisi dan mengobjektifikasi tubuh perempuan masalahnya.
Clara Dao, misalnya, seorang influencer di Kanada yang sering dikritik ‘dada rata’ oleh warganet karena memiliki cup bra A. Namun, dia tetap mengadvokasi body positivity di akun media sosial pribadinya dan mengajak mencintai setiap ukuran payudara. Walaupun saya belum menyukai punya ‘tetek gede’ memang harus diakui payudara memiliki beragam bentuk serta ukuran berbeda-beda yang cantik, unik, sekaligus lebih dari sekadar lemak menempel di dada.
Ilustrasi oleh Karina Tungari
Comments