Saya berangkat dengan sesama anggota grup whatsapp ITP, sebut saja ukhti Ica, perempuan berusia 24 tahun yang baru saya kenal beberapa hari setelah bergabung di grup tersebut. Karena takut salah kostum dan aneh sendiri, saya meminjam gamis dan jilbab panjang milik teman, dan membeli masker kain sebagai pengganti cadar.
Dalam poster yang diunggah di akun Instagram gerakan tersebut, ditulis bahwa akan ada tiga orang pembicara. Yang paling ditunggu-tunggu oleh teman-teman saya adalah “pasangan muda inspiratif” Natta Reza dan Wardah Maulina.
Ketika turun di Stasiun Juanda, Jakarta Pusat, saya disambut lautan perempuan berjilbab panjang, mulai dari yang sepanjang dada, punggung bawah, hingga selutut, dan sebagian dari mereka juga menggunakan cadar.
Sesampainya di Istiqlal, saya dan Ica duduk di barisan paling belakang karena yang di depan sudah terisi penuh. Saat itu acara sudah menghadirkan pembicara kedua, yakni Siti Hafidah, seorang ahli fiqh (yurisprudensi Islam). Pembicara sebelumnya adalah ustaz Deden Makhyaruddin. Materi yang disampaikan Siti adalah seputar remaja, pergaulan, dan Islam. Ia juga memberi ilustrasi tentang kehidupan yang sangat diatur di Kairo, tempat ia sempat menuntut ilmu.
“Kontrol sosial di Kairo itu sangat tinggi. Jadi waktu itu ada orang berdua-duaan di luar gedung apartemen. Ketika masyarakat melihat hal itu mereka langsung dilempari barang. Akhirnya mereka bubar,” ujarnya.
“Kalau ada yang ingin berdua-duaan, ijab kabul dulu. Laki-laki yang keren itu adalah laki-laki yang berani mengatakan sayang dan meminang anda,” tegas Siti.
Agar terhindar dari zina, ia berpesan bahwa seharusnya ada pembatas ruang pertemuan antara laki-laki dan perempuan. Ia juga tidak lupa mengingatkan pada jemaah perempuan untuk menjaga penampilannya supaya tidak terjadi fitnah.
Kajian-kajian rutin yang membahas hal-hal pergaulan remaja masa kini memang menjadi salah satu kegiatan yang sering diadakan gerakan Indonesia Tanpa Pacaran, dengan alasan memberi edukasi untuk memantapkan remaja “berhijrah” menjadi lebih baik, dan bahwa menikah muda lebih baik daripada berpacaran.
Selesai pembicara kedua berceramah, muncullah pembicara penutup yang paling ditunggu-tunggu. Barisan perempuan semakin memanjang penuh ke belakang, bahkan ditambah melebar ke samping. Banyak dari jemaah perempuan seumur saya (di awal 20-an) yang antusias menunggu pembicara ketiga ke depan. Mereka pun dengan senang hati maju dan merapat ke depan agar bisa melihat idolanya dengan jelas.
“Kak Natta, sekarang lagi sibuk apa?” tanya perempuan yang menjadi moderator diskusi itu.
“Enggak banyak, hanya sedang sibuk membahagiakan istri,” jawab laki-laki berumur 27 tahun itu, yang disambut seruan “Subhanallah” dari para ukhti.
Makin siang jemaah perempuan semakin banyak berdatangan. Ada yang mendengarkan dengan saksama, ada yang sibuk merekam sampai kartu memorinya penuh, ada yang sekali-kali memuji betapa salehnya si lelaki, dan beragam ekspresi lainnya yang biasa kita temukan di konser-konser musik. Saya melihat ke sekeliling, dan para wajah (atau mata bagi yang bercadar) perempuan ini memperlihatkan kekaguman mendalam.
Natta Reza dan Wardah Maulina dianggap inspiratif karena kisah mereka berhijrah dan membina rumah tangga di usia muda. Mereka dipuja-puji karena berani menikah hanya setelah tiga jam berkenalan atau istilahnya “taaruf”. Dari situ mereka kian terkenal dan memiliki banyak penggemar.
Natta mengisahkan bahwa ia dulunya anak band, dengan gaya hidup bebas dan kelam sebelum akhirnya berhijrah. Ada satu kegagalan dalam hidupnya yang menjadi titik balik untuk berhijrah, ujarnya.
“Hijrah itu gampang, yang sulit itu tetap konsisten dalam berhijrah,” tegasnya.
Sementara itu, Wardah menuturkan bahwa pada awalnya hanya dia seorang yang memakai cadar di jurusan Kriya Tekstil dan Mode, Universitas Telkom Bandung.
“Walau memang sulit, tapi dengan memakai cadar pun saya masih bisa melakukan kegiatan yang saya suka, mulai dari naik gunung dan lain sebagainya,” ujar Wardah yang kini memiliki merek busana Muslimah, Wardah Maulina Exclusive.
Hanya lewat pesan di Instagram, Natta kemudian memutuskan untuk melamar Wardah, padahal waktu itu ia bekerja sebagai pengamen yang tidak mempunyai penghasilan tetap, dan Wardah masih kuliah semester tiga.
“Saya datangi Wardah di Bandung untuk melamarnya, tapi dia malah marah-marah dan bilang kalau kamu serius, datangi ayah saya,” kenangnya.
Karena orang tua Wardah tinggal di Aceh, Natta hanya bisa menghubungi mereka lewat telepon saja, dan meminta izin kepada ayah Wardah untuk menikahi putrinya. Menikahlah mereka di Aceh pada Februari 2017 lalu.
Kehidupan finansial mereka setelah menikah agak sulit, menurut cerita mereka, karena pekerjaan Natta hanyalah pengamen. Wardah baru bisa makan saat Natta pulang ke rumah indekos mereka karena tidak ada uang. Namun karena terus bersabar dan terus berhijrah, mereka mengatakan akhirnya dapat menjadi pasangan muda inspiratif yang sukses. Hanya dalam hitungan bulan Natta dan Wardah menjadi pasangan selebriti idola remaja Muslim. Ditambah lagi, media juga ikut mempromosikan selebgram muda yang memutuskan untuk menikah muda itu.
Natta mengatakan bahwa menikah adalah hal yang paling menyenangkan, seperti yang mereka citrakan dalam foto dan video yang mereka unggah di akun Instagram masing-masing. Mereka sering melancong bersama, dan foto-foto romantis mereka membuat para pengikut menjadi baper.
Fenomena pasangan selebriti muda yang mempromosikan tentang hijrah dan nikah muda kian banyak bermunculan seiring dengan meningkatnya konservatisme di Indonesia, apalagi kajian-kajian seperti ini banyak menyasar kalangan sekolah menengah dan kuliah.
Hal ini sangat berisiko, menurut Lathiefah Widuri Retyaningtyas dari organisasi Jaringan Muda, karena pernikahan tidak sesederhana itu dan konsekuensinya sangat banyak bagi anak muda. Jika menikah muda menjadi hal lumrah pada usia yang seharusnya merupakan masa mengeksplorasi diri, hal ini akan berakibat negatif, apalagi terhadap perempuan, ujar Lathiefah.
“Belum lagi jika kita kaitkan dengan usia pernikahan. Jika di bawah 17 tahun tentu akan berdampak pada hak kesehatan reproduksi. Lalu hal ini juga akan mengakibatkan munculnya politik anti-kesetaraan, di mana moral perempuan dikontrol sedemikian rupa, dan bahwa perempuan baik-baik adalah perempuan yang menikah muda, dan sebaliknya,“ tambahnya.
Menurut Lathiefah, hal ini pun juga akan berdampak langsung pada kebebasan orang-orang muda khususnya perempuan.
“Bayangkan jika bayang-bayang menikah muda itu tidak mengejar-ngejar perempuan, tentu kita sudah banyak memiliki tokoh perempuan yang hebat,” tambahnya.
*Foto-foto dari akun instagram Wardah Maulina
Baca juga tentang cerita cinta berbumbu kekerasan di Wattpad.
Comments