Women Lead Pendidikan Seks
August 04, 2021

Selingkuh, Viral, dan Centang Biru: Bekal ‘Influencer’ Dadakan

Banyak orang tiba-tiba terkenal dan jadi influencer dadakan karena konflik yang melibatkannya. Namun, apakah ketenarannya akan bertahan lama?

by Selma Kirana Haryadi
Issues
influencer terkenal karena konflik
Share:

Mungkin banyak dari kita yang sudah familier dengan lantunan lagu-lagu Islam juga ayat suci Alquran dari kelompok musik Islami Sabyan. Suara merdu sang vokalis, Nissa (lebih dikenal dengan Nissa Sabyan) menjadi ciri khas paling kental dari kelompok musik tersebut. Setiap Ramadan, Lebaran, atau hari besar Islam lainnya tiba, banyak orang menjadikan musik-musik Sabyan pilihan utama untuk menjadi pengiring hari-hari suci tersebut. 

Percakapan seputar Sabyan di berbagai media dan media sosial mendadak berubah drastis sekitar Januari lalu. Itu berkat berhembusnya kabar miring soal perselingkuhan yang terjalin antara Nissa dan Ayus, keyboardis Sabyan. Intrik kian pelik begitu sosok istri Ayus, yang kemudian bercerai, bernama Ririe Fairus mulai muncul dalam wawancara di berbagai media televisi, terutama infotainment. 

Ramai-ramai warganet menghujat Nissa dan Ayus serta menyebut Nissa sebagai pelakor (perebut laki orang). Di sisi lain, warganet mengirimkan banyak pesan yang menunjukkan simpati juga kekaguman pada Ririe. Sosoknya disebut-sebut “sangat sabar” dan “istri idaman” karena konon tak mengumbar aib suaminya yang sudah selingkuh sejak bertahun-tahun lalu, juga pembawaannya yang lemah lembut.

Berbagai media dan infotainment nasional mulai mengangkat sosok Ririe, memberitakan dia lewat bingkai emotif nan sensasional sebagai sosok istri pasrah nan menderita yang suaminya berselingkuh. Akun Instagram Ririe pun diserbu ribuan warganet kepo. Pengikutnya bertambah drastis hingga kini hampir menginjak angka 580 ribu pengikut. Akun Ririe pun sudah mendapat centang biru (akun terverifikasi) kini, beriringan dengan sosoknya yang menerima permintaan endorse berbayar. 

Baca juga: Kasus Nissa dan Ayus: Mempertanyakan Kembali Pelabelan Pelakor 

Dulu ia banyak mengunggah foto bersama kedua buah hati, hingga poster-poster bertuliskan kutipan bijak mengenai cinta, kesedihan, dan kehidupan. Kini, laman Instagramnya juga dipenuhi dengan konten-konten endorse berbagai produk, dimulai dari merek hijab, kosmetik, perawatan wajah, fesyen, makanan, dan masih banyak lagi. 

Bukan hanya Ririe, sudah ada banyak “orang biasa” yang menjelma jadi bintang internet atau influencer berkat informasi atau konflik yang menyangkut dirinya viral di internet, lalu divalidasi media massa. Mungkin kamu masih ingat Shafa Harris yang melabrak Jennifer Dunn yang konon merupakan selingkuhan ayahnya. Shafa kemudian jadi terkenal, hingga kini aktif mempromosikan berbagai produk hasil endorse. Baru-baru ini, ada lagi Sinta Rizki, istri dari pramugara salah satu maskapai penerbangan yang jadi viral karena suaminya disebut-sebut berselingkuh dengan seorang pramugari.

Pola itu sudah berkali-kali berulang dan selalu serupa: ada skandal atau konflik, rombongan warganet kepo berusaha mengorek informasi pribadi hingga akun media sosial yang bersangkutan, yang bersangkutan bikin klarifikasi atau tanggapan lewat medsos atau wawancara pada wartawan atau infotainment, terkenal, dapat ratusan ribu pengikut, akun dapat centang biru, lalu jadi menerima endorse dan disebut-sebut sudah jadi influencer. 

Apa sebenarnya permasalahan yang menguak dan memperkuat kejadian-kejadian ini?

Viralitas dan Sensasionalisme yang Lekang oleh Waktu

Kita biasa menyederhanakan dengan menyebut orang-orang yang terkenal di internet, terutama media sosial, sebagai influencer atau selebgram. Associate professor bidang budaya dan kajian internet dari Curtin University, Australia, Crystal Abidin dalam bukunya yang berjudul Internet Celebrity: Understanding Fame Online (2018) secara lebih lengkap membahas fenomena orang-orang yang mendadak terkenal di internet. Untuk mereka yang terkenal akibat peristiwa yang kemudian viral seperti Ririe Fairus, misalnya, Abidin menamainya “eyewitness viral stars”, atau orang-orang yang terlahir dan jadi terkenal secara tidak sengaja karena menjadi saksi atau korban dari kasus yang dilaporkan dan banyak dibicarakan. Keterkenalan mereka juga tercipta berkat eksposur yang diberikan media massa dan infotainment lewat berita-berita yang mengadaptasi model humor, sensasi, serta clickbait. 

Baca juga: Di Internet, Perempuan ‘Influencer’ Tak Pernah Bisa Jadi Diri Sendiri

Para eyewitness viral star serta kebanyakan influencer (selebriti internet) pada umumnya ini tentu memiliki dan meraih motif ekonomi dari ketenarannya. Dapat titipan endorse, promosi, dan permintaan advertorial kemudian jadi turunan langsungnya. Menurut Abidin, mereka bisa mendapatkan uang dalam nilai yang cukup besar melalui beberapa cara, di antaranya adalah advertorial atau konten opini influencer terhadap sebuah merek/ produk yang merekrutnya. Bentuk yang paling banyak kita temukan adalah review produk, dimulai dari skin care, makanan, fesyen, dan sebagainya. Pada pertengahan 2010, rata-rata pendapatan influencer di Singapura per sponsor bisa mencapai 100.000 Dolar Singapura.

Cara kedua adalah "menyewakan" bagian tertentu dari platform media sosial mereka untuk iklan produk tertentu, entah berbentuk konten titipan yang sudah dibuat oleh perusahaan, atau konten buatan sang influencer sendiri. Misalnya, satu influencer memasang harga sekian untuk perusahaan menaruh iklan produk seukuran 0,5cm x 0,5cm selama tiga hari. Kalau contoh yang paling sering kita temui dari model ini adalah promosi lewat Instagram Story (Instastory). Biasanya, para influencer membagikan iklan produk atau acara milik sebuah perusahaan, dan tarifnya dihitung per satu story dan per-24 jam. Terdengar menjanjikan dan mengantarkan banyak keuntungan, bukan? 

Baca juga: Ria Ricis dan Perkara ‘Semua Demi Konten’

Akibatnya, kebanyakan anak muda memiliki cita-cita besar untuk bisa terkenal lewat internet untuk bisa sukses dan mendapatkan banyak uang dan nama yang besar secara instan. Mereka memilih keterkenalan/fame lebih penting daripada intelektualitas dan keamanan finansial. Suwan Juntiwasarakij dalam penelitian 'Framing emerging behaviors influenced by internet celebrity' (2018) berkata, “Citra bahwa kehidupan selebriti internet itu glamor dan mudah didapatkan membuat banyak audiens terlena dengan ide tersebut. Selebriti internet dilihat sebagai role model, padahal mereka memperkenalkan konsumerisme dan kesenangan semu.” 

Meski begitu, ternyata, ketenaran yang diboncengi viralitas di internet tak akan berumur panjang. Seiring waktu, nama mereka akan meredup, tergantikan dengan segelintir selebriti yang mengikuti pola keterkenalan mereka. Sumber pendapatan mereka kemudian akan berkurang hingga hilang sama sekali. Lalu, ketika cahaya sudah tak lagi menyinari mereka, para selebriti internet akan secara sengaja menciptakan kontroversi dan skandal berbalut sensasionalisme untuk mengembalikan perhatian massa pada mereka, ujar Abidin. Kultur ini juga dilanggengkan oleh media massa lewat representasi-representasi dangkalnya mengenai selebriti. Begitu nama para influencer meredup, media akan mereduksi wacana-wacana mengenai mereka ke dalam stereotip-stereotip yang dangkal dan ala kadarnya. Hal ini pada akhirnya malah membuat influencer tak memiliki banyak kekuatan untuk menentukan persepsi publik dan citra dirinya.

Hal itulah yang memperkuat argumentasi Abidin bahwa diskursus mengenai selebriti internet tak ubahnya selebriti tradisional (musisi, aktris, aktor di televisi). Mereka mengandalkan nilai-nilai konflik, seks, kedangkalan, dan sensasionalitas untuk menarik perhatian. Mereka dibuat berjarak dengan nilai-nilai yang cerdas. Hal tersebut dibahas Edwin Jurriens, pengajar Indonesian Studies dari University of Melbourne, Australia dalam tulisannya, ‘TV or Not TV, Spelling the Indonesian Media with Veven Sp. Wardhana’ (2016). 

Selma adalah penyuka waktu sendiri yang masih berharap konsepsi tentang normalitas sebagai hasil kedangkalan pemikiran manusia akan hilang dari muka bumi.