Women Lead Pendidikan Seks
July 09, 2021

Siapkah TV Indonesia Migrasi ke Digital?

Pemerintah mengajak masyarakat bermigrasi ke televisi digital, tapi kesiapan infrastrukturnya masih penuh catatan.

by Aurelia Gracia, Reporter
Issues
Share:

Setelah digagas sejak era Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Tifatul Sembiring, digitalisasi TV akhirnya bakal terwujud di tangan penerusnya, Johnny G. Plate. Kementerian ini dalam waktu dekat menginisiasi migrasi siaran televisi analog ke digital, melalui program Analog Switch Off (ASO).

Program itu bakal dilakukan secara bertahap selama dua tahun, dimulai per 17 Agustus 2021 hingga 2 November 2022. Durasi yang terbilang singkat, mengingat negara maju di Eropa, seperti Italia bahkan butuh waktu empat tahun untuk bermigrasi ke digital. Sementara, jika dibandingkan dengan bentang alam Indonesia yang notabene lebih menantang karena merupakan negara kepulauan, gunung dan perbukitan, pemerintah merasa percaya diri (ambisius?) untuk ngebut.

Apakah kepercayaan diri pemerintah berbanding lurus dengan kesiapan infrastruktur yang tersedia? Mari kita lihat sama-sama.

Baca Juga: ‘Euphoria’ Serial Televisi Gen Z Paling Realistis?

Kesiapan Dana dan Infrastruktur

Sampai saat ini, bias kota-desa masih mewarnai diskursus digitalisasi TV. Kita yang bermukim di kota, relatif lebih mudah mengakses hiburan melalui smart TV, sedangkan di desa, masih banyak ditemui masyarakat yang menggunakan TV tabung. TV zaman dulu yang semakin jauh letaknya dari menara pemancar atau digoyang hujan dan petir, gambar auto-menyemut dan kemresek.

Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah memutuskan untuk mendistribusikan set top box (STB) kepada masyarakat tak mampu yang masih menonton televisi terestrial. Menurut Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Banten, Ade Bujhaeremi, pendistribusian STB akan dilakukan oleh Dinas Sosial dengan melakukan pendataan dengan cermat.

Mengutip dari Tempo.co, pemerintah akan mendistribusikan 6,7 juta STB, dengan kisaran harga Rp100 ribu secara gratis. Jutaan STB ini sedianya bakal dioper Kemenkominfo kepada 26,4 juta jiwa penduduk miskin yang terdata di Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2020.

Kendati STB sudah dijanjikan, tampaknya migrasi televisi analog ke digital lebih cocok diperuntukkan untuk masyarakat kota. Apalagi mengingat kondisi geografis Indonesia yang cukup menantang, naik turun, sehingga rentan menutup gelombang transmisi. Dalam konteks ini, televisi digital akan menerima sinyal yang kuat di area dengan permukaan tanah yang landai, sedangkan di dataran yang lebih tinggi maupun rendah dari pemancar, justru sinyal itu sama sekali tidak dapat diterima. Dengan tetap bertahan pada TV terestrial, setidaknya masyarakat masih bisa menyaksikan acara hiburan, seburuk apa pun kualitas gambar, suara, dan isi tayangannya.

Baca Juga: Kenapa Karakter Perempuan di Sinetron Indonesia Masih Belum Beragam?

Merespons itu, dalam diskusi daring berjudul “Tonggak ASO Tahap 1 di Pulau Jawa”, (7/7), Direktur Pengembangan Pita Lebar dan Ditjen PPI Kominfo, Marvels Situmorang menjelaskan, akan mengupayakan semaksimal mungkin agar pembagian STB ini bisa tepat sasaran dan dikawal hingga ke hilir. Tujuannya semata-mata agar warga khususnya di desa, bisa turut menikmati program ini tanpa ganjalan berarti.

Namun, pendapat ini dikritisi oleh Dominic & Messere (2012)dalam bukunya berjudul Broadcasting, cable, the internet, and beyond: An introduction to modern electronic mediamemaknai penyiaran digital sebagai penyediaan saluran yang lebih beragam jika dibandingkan analog. Pun, kualitas gambar hanya akan di situ-situ saja jika alat yang digunakan masih berupa TV tabung, sekali pun telah menggunakan STB.

Di sisi lain, meski pemerintah telah punya bayangan rencana sedetail itu, pos pendanaan masih belum tergambar jelas. Ini termasuk gambaran tentang bagaimana berbagai stasiun televisi dapat secara adil memperoleh pendapatan dari kue iklan.

Digitalisasi Televisi Bukan Hanya Perkara Teknologi

Migrasi televisi analog ke digital digadang-gadang jadi tonggak kemajuan teknologi, mengingat masyarakat akan menerima siaran TV dengan kualitas lebih baik. Maksudnya, dari segi gambar, suara yang lebih jernih, dan dilengkapi sistem peringatan bencana. Selain itu, masyarakat juga diberikan iming-iming memiliki banyak pilihan tayangan, seperti pendidikan hingga teknologi, sebagaimana yang dikatakan oleh Tifatul dalam rapat kerja bersama Komisi I DPR pada 2012 lalu.

Jika dilihat dari aspek material, digitalisasi TV jelas adalah salah satu inovasi teknologi. Namun, ada masalah mendasar yang harus dibereskan oleh pemerintahan menyangkut dunia pertelevisian Tanah Air. Alih-alih repot memaksa digitalisasi berjalan, keberagaman tayangan itu harus diiringi dengan kualitas program yang bermutu dan relevan dengan seluruh lapisan masyarakat, bukan hanya mewakili penduduk Jakarta dan kota-kota besar di Pulau Jawa lainnya. Sebagai informasi, merujuk pada penelitian Hellena Souisa dari University of Melbourne di 2020, Jakarta merajai konten televisi dengan frekuensi sebesar 6.461.

Artinya, pemerintah perlu menggandeng media lokal dan komunitas untuk menyiarkan situasi dan aktivitas warga desa yang mencerminkan keseharian mereka, agar tayangan tidak berkesan urban-sentris. Mereka yang “memegang” industri televisi pun perlu mendefinisikan ulang tentang makna dari kesuksesan sebuah program, yang seharusnya tidak berdasarkan rating. Bagaimana pun, frekuensi adalah milik publik, sehingga seluruh masyarakat berhak direpresentasikan melalui televisi.

Baca Juga: Tak Melulu Nestapa: 5 FTV dengan Cerita Perempuan Berdaya

Pentingnya Sosialisasi ke Masyarakat

Ganjalan lainnya program digitalisasi TV adalah keterbatasan medium sosialisasi. Dalam mendukung program migrasi ini, Kepala Dinas Komunikasi Informatika Statistik dan Persandian, Eneng Nurcahyati berujar, sosialisasi telah dilakukan melalui media sosial hingga disebarkan melalui grup-grup WhatsApp.

Masalahnya, mengacu data Hootsuite pada awal 2021, terdapat 202,6 juta pengguna internet di Indonesia. Angka tersebut memang menunjukkan adanya penetrasi internet yang mencapai 73,7 persen dengan total penduduk berjumlah 274,9 juta jiwa. Namun, hingga 2020 Kemenkominfo mencatat masih terdapat 20 ribu desa di Indonesia yang belum mampu mengakses internet. Bagaimana dengan warga tersebut?

Jika ingin berhasil, pemerintah mesti memikirkan model sosialisasi yang bisa diterima oleh masyarakat secara menyeluruh, apabila akses internet dijadikan sarana utama. Strategi ini perlu diiringi dengan penyampaian lewat program di seluruh stasiun televisi dengan frekuensi sering supaya tersampaikan oleh banyak masyarakat.

Pemerintah pun dapat bekerja sama dengan tokoh masyarakat dan pemerintah desa dalam memberikan paparan yang jelas agar tak ada satu pun warga yang tidak menerima informasi migrasi ini, mengingat setiap warga memiliki aktivitasnya masing-masing dan tidak selalu menatap layar televisi untuk menerima informasi terkini.

Semoga saja inisiasi pemerintah untuk bermigrasi ke televisi digital benar-benar dapat diterapkan secara merata di Indonesia.

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.