Sebagai seorang ibu, Martina Yoh. Zeferina merasa proses belajar secara daring tidak efektif. Bukan hanya karena infrastruktur tidak merata di beberapa daerah timur Indonesia, tetapi kesiapan orang tua mendampingi proses belajar anak yang belum maksimal.
Martina mengatakan, orang tua kerap sulit membagi konsentrasi untuk bekerja dan mengawasi anak yang sedang sekolah. Oleh sebab itu, tak heran jika orang tua menekan anak jika mereka dinilai tak paham materi pembelajaran. Dalam skala yang ekstrem, bahkan orang tua akan melakukan kekerasan fisik kepada anak.
“Saya pernah ke pasar dan melihat salah satu pedagang mencubit anaknya yang berusia 9 tahun. Ia menghukum anak karena membuka halaman 19 dalam buku, sementara si guru meminta (halaman) 22. Saya bilang kepadanya, itu bukan salah anak karena si guru memegang buku khusus untuk guru. Ternyata, dia (ibu) juga tertekan bekerja sekaligus jaga anak,” ujarnya dalam webinar “Kesiapan Belajar Lewat Pertemuan di Tengah Pandemi COVID-19” oleh Yayasan Plan International Indonesia, (27/7).
Martiana melanjutkan, anak berhak menerima pendidikan secara maksimal dan bebas dari aksi kekerasan fisik maupun psikologis, tetapi di saat bersamaan ada orang tua yang masih enggan dengan sekolah tatap muka karena kasus COVID-19 yang terus meningkat. Martiana juga tidak ingin sekolah menjadi klaster baru tempat penyebaran virus Corona.
Baca juga: Masa ‘School from Home’ Ajarkan Prestasi Akademis Bukan Segalanya
Berkaca dari pertimbangan itu, imbuhnya, jika pemerintah ingin melakukan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) harus jelas pihak yang menjadi penanggung jawab untuk memastikan anak tidak tertular virus. Jika di ranah sekolah implementasi proses kesehatan sudah berjalan dengan baik, fasilitas memadai, dan diawasi Satuan Tugas (Satgas) COVID-19 di daerah, kesempatan terpapar virus masih bisa terjadi ketika anak pulang sekolah.
“Tidak ada yang mengontrol atau menjamin tidak tertular virus Corona. Anak berhak mendapatkan kenyamanan dalam sekolah juga kesehatan,” ujar Martiana yang juga pegawai negeri sipil untuk Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Nusa Tenggara Timur.
Tatap Muka Jika Guru Telah Divaksin
Menurut data Satgas Penanganan COVID-19 Nasional per 26 Juli 2021, anak usia sekolah yang terpapar COVID-19 mencapai 12,82 persen atau 400.320 orang. Dari tingkat sekolah, kasus terpapar banyak terjadi di rentang usia 7 hingga 12 tahun (tingkat SD) dengan 116.183 kasus, disusul SMA, 16 sampai 18 tahun, dengan 99,937 kasus, dan SMP, usia 13 hingga 15 tahun sebanyak 77,762 kasus. Jika diurutkan berdasarkan daerah Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Yogyakarta menjadi daerah yang memiliki kasus penyebaran COVID-19 usia anak sekolah paling banyak.
Berdasarkan instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 24, 25, dan 26 Tahun 2021, kegiatan pembelajaran dilakukan sesuai zona risiko COVID-19. Pada zona merah dan oranye pembelajaran dilakukan secara jarak jauh atau belajar dari rumah. Sementara itu, zona kuning dan hijau pembelajaran sesuai SKB 4 Menteri (Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi, Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Kesehatan) tentang PTM terbatas.
Menurut data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, 70 persen satuan pendidikan di zona kuning dan hijau telah melaksanakan PTM terbatas, seperti Kabupaten Pidie Jaya, Aceh, Kabupaten Pegunungan Bintang dan Nduga, Papua. Namun, saat PPKM diberlakukan, hanya dua persen satuan pendidikan secara nasional yang melakukan PTM terbatas.
Baca juga: Putus Sekolah karena COVID-19, Anak Perempuan Ambil Peran Orang Tua
Samto Prawiro, Direktur Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus, Kemendikbud Ristek mengatakan, sekolah siap menjalankan pembelajaran tatap muka jika semua guru di Indonesia telah divaksin.
Meskipun begitu, menurut data gabungan Kemendikbud Ristek dan Kemenkes, tenaga pendidik yang menerima vaksin dosis 1 mencapai 2,2 juta (39%) dan dosis 2 sebanyak 1,6 juta (30%) dari total 5,6 juta orang. Jumlah tersebut belum maksimal karena tidak memenuhi target selama bulan Juli semua guru di Indonesia harus mendapatkan vaksin penuh, kata Samto.
“Ini masih sangat terbatas dan menyulitkan untuk mendorong kegiatan PTM. Memang ada perkembangan menggembirakan, tapi tidak sesuai dengan harapan bulan ini sudah seratus persen vaksin,” ujarnya.
Sementara itu, vaksinasi remaja untuk usia 12 hingga 17 tahun terdapat 767.350 (2%) yang telah menerima dosis satu dan 81 orang (0,0001%) untuk dosis dua dari total 26,7 juta orang.
Samto menuturkan, meskipun ada imbauan sekolah tatap muka untuk tahun ajaran baru Juli ini atau secara teknis kebutuhan PTM telah terpenuhi, fasilitas kebersihan memadai, ruang kelas yang bergilir, dan tidak menimbulkan kerumunan, orang tua tetap menjadi kunci apakah mengizinkan anak mengikuti atau tidak mengikuti proses PTM, kata Samto.
“Orang tua menjadi pintu terakhir. Kami tidak akan memaksakan PTM jika resiko kesehatannya besar dan lebih baik dilakukan dengan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ),” ujarnya.
Senada, Direktur Eksekutif Yayasan Plan International Indonesia Dini Widiastuti mengungkapkan, anak memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan yang terjamin dan terlindungi kesehatannya. Maka dari itu, perlu kerja sama yang terintegrasi antara pemerintah, sekolah, dan orang tua.
“Jika nanti sekolah sudah siap dibuka kembali dan orang tua telah memberikan consent, maka harus ada kerja sama dan koordinasi menyeluruh untuk menjalankannya,” ujarnya.
Baca juga: Setahun Tak Belajar Tatap Muka, Bagaimana Cara Tangani ‘Learning Loss’ Murid?
Guru dan Orang Tua Siap Bimbing Anak
Asisten Deputi Perlindungan Anak Kondisi Khusus Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Elvi Hendrani mengatakan, selama pandemi anak mudah marah, tidak peduli dengan sekolah, mengalami learning loss atau menurunnya kompetensi belajar siswa, dan meningkatnya merasa malas. Selain itu, anak juga mengalami gangguan psikososial, jika tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan depresi.
Maka dari itu, orang tua dan guru harus menciptakan sistem komunikasi intensif untuk menciptakan ruang proses belajar yang lancar dan maksimal. Jika dilakukan secara daring, cara memberikan materi kepada anak didik juga harus mengambil metode yang berbeda dengan yang tatap muka, yaitu tidak hanya memberikan instruksi membuka buku saja. Selain itu, bergerak sesuai assessment dan kebutuhan siswa.
“Guru harus memberikan motivasi pada peserta didik dan orang tua. Guru juga berinovasi memberikan pembelajaran yang menyenangkan, memberikan pemahaman pada orang tua untuk penanaman karakter, keterampilan hidup pada anak, dan memberikan solusi jika adalah masalah dengan peserta didik,” ujarnya.
Ia menyarankan, baik dalam proses pembelajaran daring, luring, atau gabungan keduanya, tenaga pendidik untuk memberikan paham disiplin bebas kekerasan pada orang tua. Pasalnya, orang tua yang mengalami rasa frustasi akibat tidak tahu cara memberikan ilmu kepada anak kemudian melakukan hukuman kekerasan fisik pada anak. Dengan demikian, komunikasi juga harus maksimal dengan orang tua tentang kondisi anak dan rumah.
“Pembinaan dilakukan bukan dengan hukuman, tapi pembinaan positif. Ini sesuatu yang harus tenaga didik tularkan pada orang tua. Dulu jika terjadi kasus kekerasan kita bisa langsung tahu, sementara saat ini sulit untuk mendeteksinya,” kata Elvi.
Elvi menambahkan, selama di rumah juga orang tua mengawal anak untuk mengetahui cara melaksanakan protokol kesehatan dengan benar, seperti menjaga jarak, melakukan olahraga menjemur, mencuci tangan, tidak berpelukan, hingga melepas dan bertukar masker.
Samto juga menambahkan, orang tua tidak perlu mendidik anak seperti guru karena harus menyadari kurikulum belajar yang dipakainya dulu berbeda dengan saat ini. Orang tua bertugas mendampingi dan memberikan fasilitas untuk anak.
“Orang tua harus tahu tanggung jawabnya berbeda dengan guru. Ia tidak harus mengajar seperti guru karena ia menjadi pendamping dan memastikan anak memang belajar. Selain itu, orang tua juga bisa menemani belajar dengan cara interaktif yang menyenangkan,” ujarnya.
Ilustrasi oleh Karina Tungari
Comments