Selasa kedua April ini jadi hari bersejarah bagi gerakan kesetaraan gender di Indonesia. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi Undang-Undang.
Kebijakan itu lahir dari perjuangan korban dan penyintas kekerasan seksual serta para pendukungnya menuntut negara memberikan perlindungan. Negara akhirnya mewadahi aspirasi itu lewat UU TPKS yang di dalamnya mengatur pencegahan, penanganan, dan perlindungan bagi para korban kekerasan seksual.
Capaian ini patut dirayakan sebagai pintu gerbang menciptakan ruang aman buat kita semua bebas dari tindak kekerasan seksual.
Adapun substansi tindak pidana yang diatur dalam UU TPKS adalah adanya sembilan bentuk kekerasan seksual, yaitu pelecehan seksual fisik, pelecehan seksual non fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, penyiksaan seksual, pemaksaan perkawinan, perbudakan seksual, kekerasan seksual dengan sarana elektronik, dan eksploitasi seksual.
UU TPKS juga mengatur pemidanaan (sanksi dan tindakan); hukum acara khusus yang menghadirkan terobosan hukum acara yang mengatasi hambatan keadilan bagi korban, mulai dari restitusi, dana bantuan korban, pelaporan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan.
Meski sudah disahkan, tapi ini bukan akhir melainkan langkah awal untuk menciptakan payung hukum yang berpihak pada korban. RUU TPKS masih menyisakan pekerjaan rumah.
Terutama karena pasal pemaksaan aborsi dan pemerkosaan yang tidak masuk dalam UU ini. Pemerkosaan justru diatur dalam pasal jembatan, yang nantinya akan diatur secara lebih detail di RKUHP. Padahal, kasus pemerkosaan dengan korban perempuan dan anak terus meningkat.
"Tindak pidana perkosaan tidak diatur dalam RUU TPKS. Hal itu menjadi pekerjaan rumah bagi DPR dan Pemerintah agar bisa memasukan tindak pidana perkosaan dalam RUU KUHP. Menjadi Pekerjaan Rumah juga bagi forum pengada layanan dan jaringan masyarakat sipil untuk mengawal RUU KUHP," kata perwakilan dari Forum Penyedia Layanan (FPL) Bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan, Mike Verawati, dalam keterangan resmi yang diterima Magdalene.
“Tugas kita kini adalah memastikan implementasi dari UU TPKS,” kata Ketua Komisi Nasional Anti-kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Andy Yentriyani, dalam instagram resmi Komnas Perempuan. Senada dengan Mike, Andy juga menegaskan Komnas Perempuan akan terus mengawal perumusan aturan turunan UU ini.
“Memastikan di dalam revisi KUHP akan memuat perbaikan tentang definisi perkosaan dan pemaksaan aborsi, serta menjalankan pemantauan sesuai dengan amanat UU ini,” tambahnya.
Sebagaimana proses implementasi aturan dan perundang-undangan lainnya, kemungkinan penyalahgunaan atau penyelewengan dalam pengaplikasian UU ini juga bisa saja terjadi. Misalnya, penyalahgunaan victim trust fund atau dana bantuan korban yang ditakutkan tidak tepat sasaran. Atau proses penyediaan pusat layanan terpadu yang lambat dan tidak merata diselenggarakan negara.
Namun, terlepas dari kemungkinan-kemungkinan tersebut dan kekurangan pasal pemerkosaan dan pemaksaan aborsi di dalamnya, UU TPKS menyediakan sejumlah terobosan legal yang sebelumnya tidak ada.
1. KBGO Masuk Aturan
Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) merupakan kasus yang sering terjadi, tapi tak punya payung hukum. Dalam UU TPKS, kasus ini diatur dalam pasal 14 ayat (1).
Tidak hanya mengatur tentang perekaman atau pengambilan gambar bermuatan seksual, pasal ini juga mencakup pentransmisian informasi/ dokumen elektronik di luar kehendak penerima, serta tindakan penguntitan dan pelacakan digital.
2. Pemaksaan Perkawinan Anak
Salah satu pasal penting yang ada di dalam UU TPKS adalah pasal 10 ayat (2) yang mengatur tentang pemaksaan perkawinan, baik itu perkawinan anak, pemaksaan perkawinan atas nama praktik budaya, dan pemaksaan perkawinan korban dengan pelaku pemerkosaan. Aturan ini diharapkan dapat mengurangi angka perkawinan anak yang tinggi di Indonesia.
3. Pengakuan tentang Relasi Kuasa yang Timpang
UU TPKS juga mengatur tentang relasi kuasa dan kemungkinan korban berada di posisi rentan. Hal ini dijelaskan dengan merinci orang yang menyalahgunakan kedudukan, wewenang, kepercayaan, atau tindakan manipulatif lainnya sebagai pelaku di beberapa pasal.
Selain itu, UU ini juga menjelaskan di institusi mana saja kekerasan bisa terjadi. Seperti di lingkup keluarga, layanan publik, perusahaan/atasan, hingga oleh pejabat publik.
4. Penegak Hukum yang Berperspektif Korban
Salah satu tantangan dalam penanganan kasus kekerasan seksual adalah penegak hukum yang tidak punya atau tidak memakai perspektif korban. Di dalam UU TPKS, penyidik, penuntut umum, dan hakim yang menangani perkara TPKS harus punya integritas, kompetensi dan pernah mengikuti pelatihan penanganan perkara TPKS sebelumnya. Atau harus punya pengalaman menangani kasus TPKS. Artinya, pelatihan menangani kasus kekerasan seksual jadi salah satu poin wajib yang harus dilakukan penegak hukum.
5. Hak Penanganan, Hak Perlindungan, Hak Pemulihan buat Korban
Dalam pasal 67 ayat (1) dituliskan bahwa hak korban meliputi hak atas penanganan, hak atas perlindungan, dan hak atas pemulihan.
Hak penanganan meliputi hak mendapat dokumen hasil penanganan, hak pelayanan hukum, layanan kesehatan, psikologis, layanan atau fasilitas sesuai kebutuhan korban, hingga penghapusan konten bermuatan seksual untuk kasus KBGO.
Artinya, korban dapat didampingi oleh pendamping pada semua tingkat pemeriksaan, dirahasiakan identitasnya, perlindungan dari kehilangan pekerjaan, pendidikan, dan akses politik, serta perlindungan dari tuntutan pidana atau gugatan perdata atas pelaporan kasus.
Pendamping korban juga berhak mendapatkan perlindungan hukum selama mendampingi korban dan saksi dan tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana, maupun perdata atas pendampingan dan pelayanannya.
6. Pemulihan Korban, Restitusi, dan Victim Trust Fund
Salah satu terobosan baik lainnya adalah jaminan negara memberikan pemulihan dan restitusi pada korban. Dalam pasal 35 ayat (1) disebutkan bahwa jika harta kekayaan terpidana yang disita tidak mencukupi biaya restitusi, negara memberikan kompensasi melalui victim trust fund atau dana bantuan korban. Dalam pasal 70 ayat (1), hak pemulihan korban juga diatur lengkap, terdiri dari: rehabilitasi medis, mental dan sosial, pemberdayaan sosial, restitusi dan kompensasi.
7. Alat bukti yang Ditambah
Jika selama ini kasus kekerasan seksual selalu ditolak atau tidak ditangani karena masalah barang bukti. Dalam UU TPKS pasal 25 ayat (1) disebutkan bahwa keterangan saksi dan/atau korban cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah jika disertai dengan 1 alat bukti sah lainnya dan hakim memperoleh keyakinan bahwa benar telah terjadi tindak pidana kekerasan seksual.
Dalam Pasal 24 ayat (1), yang termasuk alat bukti adalah:
- alat bukti sebagaimana dimaksud dalam hukum acara pidana;
- alat bukti lain berupa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
- barang bukti yang digunakan untuk melakukan tindak pidana atau sebagai hasil TPKSl dan/atau benda atau barang yang berhubungan dengan tindak pidana tersebut.
(2) Termasuk alat bukti keterangan saksi yaitu hasil pemeriksaan terhadap Saksi dan/atau Korban pada tahap penyidikan melalui perekaman elektronik.
(3) Termasuk alat bukti surat yaitu:
- surat keterangan psikolog klinis dan/atau psikiater/dokter spesialis kedokteran jiwa;
- rekam medis;
- hasil pemeriksaan forensik; dan/atau
- hasil pemeriksaan rekening bank.
Comments