Dari sekian banyak isu yang mengundang pro-kontra, salah satu yang paling meletihkan buat disimak adalah soal menyusui bayi dan air susu ibu (ASI). Polemik terbaru muncul 30 Desember 2019 lalu, saat seorang ibu pemilik akun @MerryMP (sekarang akunnya sedang/sudah tak aktif) menulis di Twitter bahwa menyusui anak sampai dua tahun adalah hal yang aneh. Ia bahkan menambahkan kata “menjijikkan” saat mengomentari anak seorang selebriti yang minum ASI perahan untuk adik bayinya.
Begitu gagasannya memicu kemaraha warganet, ia mencuit, “Reply2 yang histeris menandakan masih banyak korban cuciotak patriarki. Cewek disuruh beranak & menyusui selama mungkin biar lupa berkarir. Dan mereka hepi2 aja. Suka2 lu sih kalo mau. Gue sih ogah.”
Sebagian warganet murka karena diasosiasikan dengan hal yang menjijikkan, juga dituding sebagai korban patriarki. Seolah-olah semua perempuan tidak punya agensi dan seratus persen tidak berdaya. Sejumlah ibu bekerja mencercanya, karema mereka merasa tidak bermasalah tetap menyusui anaknya hingga dua tahun.
Dokter bedah saraf Roslan Yusni Al Imam Hasan yang berpraktik di Rumah Sakit Mayapada Jakarta turut berkomentar. Dalam twitnya, pemilik akun @ryuhasan itu mengatakan bahwa ibu menyusui bisa mengalami penurunan fokus mental, menjadi loyo, dan tidak fokus berpikir. Ia memandang, ini jadi “harga yang murah” yang dibayar perempuan demi mendapat keuntungan ASI. Selain itu, dalam aktivitas menyusui, ada konsekuensi ibu mengalami kepanikan dan kecemasan.
Paparan Ryu tersebut segera mendapat balasan cibiran dari sebagian warganet laki-laki dan perempuan. Tidak sedikit juga laki-laki yang galak membalasnya karena merasa pemberian ASI adalah hal utama, dan mereka menegasikan segala kerugian yang Ryu sebutkan. Lalu ada juga perempuan yang mencuit bahwa ia rela dirinya jadi lemot akibat menyusui. Nyawa pun rela diberikan demi anaknya, si pengisap ASI, tulis warganet lain.
Apa yang dapat kita pelajari dari debat soal ASI?
Tulisan ini saya rangkai dari kacamata seorang ibu bocah yang masih menyusu. Sebagai orangtua baru, saya bak anak kota masuk rimba dengan perlengkapan sekadarnya. Kapan pun dan di mana pun saat menelusurinya, saya bisa tergelincir, terantuk, hanyut dalam sungai kekalutan luar biasa, atau berhadapan dengan duri-duri lidah warganet yang menghakimi tak henti-henti seperti yang baru-baru ini ramai di media sosial.
Dari pro-kontra seputar menyusui tadi, kita dapat memetik berbagai pesan alih-alih ikutan menghakimi, menjustifikasi, atau mengedepankan opini sendiri dengan menginjak perasaan orang lain.
Baca juga: Menjadi Ibu yang (Tidak) Sempurna
Pertama, urusan ASI dipandang sebagai hal biner, kalau tidak pro ya kontra. Padahal, perempuan senantiasa bertempat di antara keduanya. Mereka yang memihak salah satu akan dihujat yang lainnya dengan ragam argumen berdasarkan pengalaman, interpretasi agama, ataupun deretan jurnal ilmiah. Yang memilih opsi yang satu akan merasa diri paling unggul dan yang di luar itu memalukan, patut dikasihani, dan rendah.
Pada kenyataannya, ada perempuan yang berupaya memberi ASI namun menghadapi banyak kendala fisik dan psikologis. Ada yang stop memberi ASI memang atas keinginannya sendiri, ada yang memang tidak memiliki pilihan lain. Ada juga yang menyusui sampai tingkat lanjutan bukan secara sukarela, melainkan tuntutan keluarga dan narasi dominan soal ASI di masyarakat, terlepas dari kondisi apa pun yang sedang dialami si perempuan. Konteks adalah hal yang sering lepas dalam penghakiman seseorang atas orang lain. Baginya adalah kepercayaannya, dan yang tidak sejalan adalah kelompok yang sesat.
Kedua, pertarungan gagasan yang sengit mendorong orang untuk sangat reaktif dan lebih mudah ngegas, tanpa ada rasa toleransi dan simpati. Kadang soal ASI sudah seperti mengomentari agama. Jangan-jangan besok-besok ada pasal soal penistaan kepercayaan pro ASI. Sampai di titik sepakat untuk tidak sepakat rasanya masih jauh sekali bagi masyarakat kita.
Ketiga, glorifikasi ibu masih kental terasa sekalipun pandangan-pandangan alternatif terkait menjadi perempuan sudah disebarkan di dunia digital. Ibu menjadi mulia karena pengorbanannya begitu besar bagi anak. Tak jarang pengorbanan yang diambilnya menggerogoti dirinya sendiri, secara fisik maupun mental, dan itu dirasa tidak apa-apa. Anak selalu dinomorsatukan, diri ibu sendiri nomor buncit.
Saya jadi ingat sewaktu berkesah soal letihnya mengurus anak sebulan setelah melahirkan kepada seseorang, balasnya hanya, “Ya memang begitu jadi ibu.” Yang saya tangkap, kamu harus telan bulat-bulat keletihan sebagai konsekuensimu memilih melahirkan, toh perempuan-perempuan lain juga begitu. Beban mental dan fisik seorang ibu, termasuk ketika menyusui, dinormalisasi.
Glorifikasi ibu masih kental terasa. Ibu menjadi mulia karena pengorbanannya begitu besar bagi anak. Tak jarang pengorbanan yang diambilnya menggerogoti dirinya sendiri, secara fisik maupun mental, dan itu dirasa tidak apa-apa.
Keempat, kerap kali orang memegang definisi tunggal atas sosok ibu yang baik atau ideal. Misalnya, ibu ya perempuan yang melahirkan lewat vagina, atau atau yang menyusui tidak peduli betapa pun susah dan sakitnya. Di luar itu, bukan ibu ideal.
Kontroversi pemberian ASI ini menunjukkan bahwa tubuh perempuan masih menjadi objek kontrol masyarakat. Tubuh tidak bebas dari penghakiman dan tuntutan untuk menjadi ini itu. Kalaupun tidak ada mata yang mengawasi dan mulut yang mendikte, dalam diri banyak perempuan sendiri sudah terbentuk mekanisme pengawasan yang berbuah pendisiplinan diri untuk menjadi sosok yang ideal di masyarakat. Bila seseorang melanggar pakem-pakem yang berlaku di masyarakat secara umum, dalam dirinya akan tumbuh rasa bersalah, malu, sehingga ia jadi memendam ekspresi dan kemauan diri.
Kelima, dan menurut saya paling krusial yang saya dapat dari debat soal ASI ini adalah bahwa pilihan kata berpengaruh besar. Kata “menjijikkan” dan “aneh” yang dipakai Merry, atau “penyembah ASI” yang dipakai Ryu bisa sangat menyinggung sebagian orang, terlepas mereka sengaja atau tidak untuk melakukan hal tersebut.
Benar, Merry mengatakan kalau ada orang yang pilihannya berbeda dengan dia ya terserah saja (suka-suka lu). Namun, begitu ucapan tersebut disambung dengan kalimat yang mengandung kata menjijikkan atau aneh/freak, rasanya ia tidak lagi menjadi orang yang fair. Rasanya ia menjadi superior atas orang yang berbeda pilihan. Sementara kata “penyembah ASI” boleh jadi dirasa menyinggung karena seolah-olah ada hal lain yang disembah selain sang Pencipta.
Dari sisi warganet, sangat gampang menemukan cuitan yang isinya makian gamblang seperti kata “bodoh” atau “norak”. Sementara yang membalas argumen dua orang tadi dengan bahasa yang sopan jumlahnya lebih sedikit. Satu di antaranya adalah cuitan @falla_adinda yang menyarankan Merry untuk memberi ruang diskusi dengan orang-orang yang tidak sepaham dengan Merry, alih-alih mengutuknya.
“Feminisme itu berdiri bagi mereka yang kebebasannya direnggut dan pilihannya dibatasi. Ketika ada ibu gagal memberi ASI lalu ia menderita karena tekanan sosial, di situ seharusnya Anda berdiri. Ketika ada Ibu berusaha memberikan ASI dan kekurangan ruang, di situ seharusnya Anda,” cuit Falla.
Baca juga: Ibu Bekerja di Indonesia Butuh Subsidi Penitipan Anak
Kapitalisme dan privilese
Di sela-sela perdebatan di Twitter, ada akun-akun yang colongan menjual ASI booster. Saya melihatnya bak sedang ada pertandingan tinju, lalu ada yang jualan kacang. Ada saja yang jajal mencari untung. Narasi dominan soal ASI ini memang membuka ruang untuk komersialisasi, seperti halnya yang dilakukan industri susu formula. Dogma breast is best ditempeli pedagang suplemen pelancar ASI, nursing cover, pompa payudara. Sedangkan pemasaran penjual susu formula yang membawa-bawa benefit otak cerdas, anak lincah, dan sebagainya membuat industri ini tetap kokoh di Indonesia sekalipun penjualan produknya diregulasi.
Kembali pada pengalaman saya sendiri terkait menyusui, saya adalah ibu yang menyusui sekaligus memberi susu formula. Saya memandang, bisa menyusui adalah suatu privilese, anugerah kalau kata salah seorang warganet. Sebagai perempuan yang saban memerah ASI hanya bisa mencapai 50 ml, saya tahu betul susah dan sakitnya memberikan ASI. Pada awal menjadi ibu, tentu saya sempat stres mendapati hal ini, berpikir ASI tetap terbaik. Dan para ibu tahu, stres sejak awal, lalu memerah ASI dan keluar cuma sedikit sampai stres lagi adalah lingkaran setan.
Seiring waktu, saya terus mengusahakan memberi ASI kepada anak saya, tetapi saya tidak ngoyo. Saya kombinasikan pemenuhan nutrisinya dengan susu formula. Saya menerima diri saya yang tidak memberi ASI eksklusif, tak menghujaninya dengan rasa bersalah sedalam banjir di Jabodetabek kemarin.
Ketika saya bilang saya mengusahakan, itu mencakup mengonsumsi suplemen pelancar ASI, membeli pompa payudara, serta tentunya menyediakan waktu dan tenaga untuk menyusui langsung dan memompa. Tidak semua perempuan sanggup melakukan hal ini. Suplemen ASI ada yang seharga puluhan hingga ratusan ribu, demikian pompa payudara. Bahkan, ada yang sampai jutaan harganya.
Lalu, tidak semua orang bisa meluangkan waktu buat menyusui langsung atau memompa. Entah karena harus cepat kembali bekerja, entah karena di tempat kerja tidak ada tempat memompa. Ya kalau ASI berlimpah dan bisa distok di lemari es sih bukan perkara. Kalau situasinya adalah jumlah ASI yang minim dan mesti kembali bekerja, lain cerita.
Soal stres yang merubungi ibu, bagus kalau dia punya support system yang memadai sehingga membantu memperlancar keluarnya ASI. Kalau tidak? Kalau kasusnya seorang ibu tunggal tanpa dukungan cukup dari keluarga atau teman? Patut jugakah dihakimi kalau tidak menyusui?
Iya, saya sepakat ASI itu punya segudang keuntungan. Hal ini butuh diusahakan, bukan diharuskan atau dipercaya sebagai kebenaran mutlak, taken for granted. Situasi dan kehendak si ibu perlu diperhatikan. Mungkin seperti kewajiban naik haji bila mampu, menyusui pun dilakukan bila mampu. Tak perlu memaksakan atau menyangkal para ibu yang memang tidak mampu. Dan seperti pilihan iman, pilihan untuk menyusui diambil seyogyanya dengan kehendak bebas seseorang, bukan dipaksakan atau demi menyenangkan orang-orang terdekatnya.
Comments