Tangan-tangan mungil dua anak balita laki-laki terlihat menggapai-gapai gembok besi, sebelum kemudian menggoyang-goyangkan pintu berjeruji, berusaha untuk keluar. Di belakang mereka tampak seorang perempuan dewasa, yang hanya diam meski kedua bocah itu terus mengguncangkan pintu itu. Hanya petugas yang bisa membukanya, itu pun hanya pada jam-jam tertentu, tergantung izin dari atasannya.
Pintu itu ada di dalam kompleks sebuah penjara, dan kedua anak itu lahir dari para narapidana perempuan yang masih menjalani masa tahanannya. Adegan tersebut merupakan cuplikan dari Invisible Hopes, sebuah dokumenter dari sutradara Lamtiar Simorangkir yang menyoroti kondisi narapidana atau napi perempuan hamil dan terpaksa melahirkan serta membesarkan anak-anak mereka di balik jeruji besi.
Syuting di dua lokasi, yakni Lembaga Pemasyarakatan Pondok Bambu, Jakarta Timur, dan Rumah Tahanan Sukamiskin, Bandung, Lamtiar ingin memperlihatkan betapa mengenaskannya kondisi para napi dan anak-anak mereka, yang tidak mendapatkan hak-hak dasarnya.
“Banyak orang yang bahkan tidak mengetahui keberadaan perempuan narapidana yang hamil, dan anak-anak yang lahir dan dibesarkan di dalam penjara. Kami ingin menunjukkan bahwa mereka ada, dan jumlahnya banyak. Mereka butuh perhatian khusus,” kata Lamtiar dalam diskusi “Mothers Behind the Bars” di @America, Jakarta Selatan, akhir Desember lalu.
Sampai saat ini belum ada penelitian dan data yang komprehensif mengenai napi perempuan hamil, melahirkan, dan membesarkan anak di dalam penjara. Namun data dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS) pada 2014 menunjukkan ada 13.000 narapidana perempuan diperkirakan masuk penjara setiap tahunnya. Dari jumlah tersebut, setidaknya 2 persen dari mereka melahirkan dan membesarkan anak di dalam penjara.
Dalam waktu enam bulan syuting, Lamtiar menemukan sekitar 40 napi hamil, 15 anak yang dibesarkan di dalam penjara, 16 anak yang dilahirkan di dalam penjara, empat anak yang bebas bersama ibunya, dan tiga anak yang bebas tanpa ibunya yang tidak jelas ke mana, serta dua anak yang diambil Dinas Sosial.
“Ketiadaan data ini seakan-akan memperlihatkan bahwa keberadaan mereka tidak dianggap. Belum ada pihak yang memerhatikan hal ini. Kami ingin tahu kenapa data ini tidak ada dan kami ingin cari solusinya,” ujarnya.
Kondisi di dalam rutan dan lapas sangat tidak memadai untuk hamil, melahirkan dan membesarkan anak-anak. Rata-rata penjara di Indonesia memiliki kelebihan populasi, sehingga para napi beserta anak-anaknya tidur berdesak-desakan dalam satu sel bersama napi lain. Mereka tidak mendapatkan gizi yang cukup, terkadang hanya nasi dan tempe goreng, yang menurut seorang petugas yang ditampilkan di dalam dokumenter, “untuk memberikan efek jera.”
“Makanan jauh dari kebutuhan ibu hamil dan menyusui. ASI itu keluarnya hanya sebentar, paling lama tiga bulan, sesudah itu kering. Anak saya hanya minum ASI sebentar, setelah itu minum susu formula,” kata “Sandra”, 30, seorang mantan napi di lapas khusus perempuan di Pondok Bambu.
Ia masuk penjara saat ia hamil tiga bulan, akibat kasus penipuan yang dilakukannya bersama suaminya, yang juga dipenjara di tempat lain.
“Saya mempertahankan anak saya di dalam penjara, karena kalau setelah lahiran anak saya dibawa pergi, gimana ya. Anak saya adalah kekuatan saya. Meskipun sebenarnya saya kasihan, dia enggak bisa main kayak anak-anak lain,” kata Sandra, yang divonis dua tahun penjara.
Rata-rata napi yang hamil melahirkan saat malam hari atau subuh, menurut Sandra, dan mereka harus berteriak-teriak memanggil penjaga, yang kemudian membawa mereka ke rumah sakit. Ia menanggung sendiri biaya melahirkan, ujarnya.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, mulai dari makanan, susu, sampai popok, Sandra mengatakan ia dan banyak napi lainnya bekerja sebagai korvey atau semacam asisten untuk melayani napi lain yang lebih berada. Setelah melahirkan, Sandra bekerja untuk mencuci pakaian napi-napi lain.
“Saat saya kerja, mau enggak mau titip anak ke orang (napi lain),” katanya.
Hal itu sempat membuatnya stres karena anaknya sempat mengalami kecelakaan, tertimpa dua buah kasur saat masih berusia 40 hari.
“Mukanya merah banget, saya stres banget. Akhirnya dibawa ke dokter. Untung tidak apa-apa,” kata Sandra, yang memakai topeng untuk menutupi identitasnya, saat berbicara dalam diskusi.
Lapas dan rutan sebenarnya memberikan bantuan bagi para narapidana hamil, yakni pemeriksaan kesehatan setiap tiga bulan, imunisasi, asuransi pemerintah BPJS, susu formula setiap dua atau tiga bulan sekali, fasilitas klinik, serta satu sel untuk para narapidana perempuan yang hamil dan membesarkan anak.
Selain itu, narapidana perempuan hamil dan membesarkan anak juga diberikan keringanan, namun hanya sekedar jam keluar sel yang lebih cepat dan kembali ke dalam sel lebih lama dibandingkan narapidana lain.
Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Budi Wahyuni mengatakan, pemeriksaan tiga bulan sekali untuk napi yang sedang hamil tidak cukup.
“Komnas Perempuan saat ini melakukan pemantauan perempuan dalam penjara dan serupa tahanan. Dalam kasus perempuan narapidana hamil, kami mendorong agar mereka memperoleh seluruh hak-haknya,” katanya.
“Namun sampai saat ini masih di takaran normatif saja, yaitu kesehatan. Belum mencakup hak-hak seperti mendapatkan gizi yang cukup, psikologis, dan sosial. Itu yang harus didorong.”
Hak anak terabaikan
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Pasal 20 Tahun 1999 Pasal 20 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Warga Binaan Pemasyarakatan, napi perempuan boleh membesarkan anaknya dalam lapas sampai anak berusia dua tahun.
Namun penjara jelas bukan tempat yang ideal untuk membesarkan anak. Tidak ada fasilitas bermain atau aktivitas lainnya untuk anak-anak ini, belum lagi atmosfernya yang tidak ramah anak.
“Teman bermain anak-anak ini adalah para narapidana. Bukannya merendahkan, tapi rata-rata kelakuannya tidak baik, seperti cara bicaranya yang kasar. Setiap hari itulah teman mereka,” ujar Lamtiar.
Anak-anak ini juga rentan mengalami kekerasan dari ibunya sendiri, yang mengalami stres dan melampiaskannya pada mereka.
Setelah berusia dua tahun, anak harus dilepaskan dari orang tuanya dan dikeluarkan dari penjara. Biasanya mereka diserahkan pada keluarga. Jika tidak ada keluarga yang menanggung, biasanya diserahkan pada panti asuhan atau Dinas Sosial. Di luar penjara, anak-anak ini kerap kali mendapatkan stigma dari masyarakat sebagai anak seorang narapidana.
“Kondisi psikologis anak ketika keluar penjara harus diperhatikan. Harus ada advokasi terkait hak anak-anak narapidana ini, serta support system yang baik ketika si anak keluar tanpa ibunya,” ujar Lamtiar.
Ia mengatakan bahwa film dokumenter Invisible Hopes sedang menunggu proses pascaproduksi, menunggu adanya dana untuk menyelesaikannya.
“Kita ingin ada kesadaran dari masyarakat. Dengan adanya film ini, kami ingin ada sebuah diskusi baru sehingga kita bisa membuat sebuah solusi yang lebih baik,” kata Lamtiar.
“Sampai saat ini belum ada perubahan dan regulasi khusus terkait isu ini. Kami ingin ada langkah berikutnya supaya ada solusi. Ini tidak sekedar saya bikin film, masuk festival, nama saya terkenal, tidak. Yang utama dan terpenting adalah advokasi hak mereka.”
Baca bagaimana perempuan korban kekerasan seksual sulit mencari keadilan hukum.
Comments